Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Razia Buku dan Ironi Gerakan Literasi

12 Januari 2019   00:37 Diperbarui: 13 Januari 2019   12:01 804
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Baca sejarah tokoh-tokohnya baik tokoh komunisme dunia maupun di Indonesia, pelajari model pergerakan serta penyebarannya sehingga bangsa Indonesia bisa semakin waspada terhadap bahaya laten komunis yang bagi sebagian orang sudah dianggap sebagai hal yang utopis karena menilai bahwa ideologi komunis sudah tidak ada dan tidak akan "laku" lagi di Indonesia.

Bukan hanya komunisme dan Marxisme, ideologi-ideologi lain yang ada dunia sebagai sebuah ilmu pengetahuan tidak masalah untuk dipelajari. Buku-buku politik yang banyak beredar di toko buku cukup banyak yang menjelaskan macam-macam ideologi yang ada di dunia. Apakah buku tersebut juga harus dirazia? Tentu saja tidak.

Razia dan pengamanan buku-buku yang dianggap menyebarkan komunisme justru akan membuat judul-judul buku tersebut semakin dikenal oleh masyarakat. Tidak tertutup kemungkinan justru masyarakat menjadi penasaran untuk membacanya.

Di era digital seperti saat ini, penyitaan hard copy buku belum tentu efektif, karena masyarakat masih bisa membaca dalam format soft copy (e-book/ pdf). Dan di internet pun, pada mesin pencari tinggal cari kata kunci "komunisme" atau "marxisme", tentunya dalam hitungan detik, maka berbagai tulisan yang membahas masalah tersebut akan muncul.

Jangan sampai aparat terkesan hanya asal razia hanya melihat ada tulisan komunisme atau PKI, padahal isinya belum tentu menyebarkan ajaran komunisme. Penyitaan buku tidak bisa sembarangan.

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 13 Oktober 2010 mencabut Undang-undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan terhadap Barang-barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum. MK menilai Undang-undang itu bertentangan dengan konstitusi. Kejaksaan Agung kini tidak bisa lagi sewenang-wenang memberangus buku, tapi harus terlebih dulu melalui pembuktian di pengadilan.

Robertus Robet dalam pengantar di buku Penghancuran Buku: Dari Masa ke Masa (2013) karya Fernando Baez menjabarkan keputusan MK tersebut. Menurut Robet, untuk melarang sebuah buku setidaknya harus memenuhi tiga syarat.

Pertama, buku mesti diuji dengan pertanyaan apakah buku yang dimaksud memang berisi ancaman terhadap hak asasi. Kedua, pelarangan tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang, tapi harus diputuskan di pengadilan. Ketiga, penulis harus diberi hak jawab mengenai bukunya di pengadilan. (Tirto, 11/01/2019).

Dalam konteks gerakan literasi yang saat ini tengah digalakkan oleh pemerintah, razia terhadap buku justru menjadi ironi dalam gerakan literasi. Di satu sisi pemerintah mendorong masyarakat untuk meningkatkan minat baca.

Sedangkan di sisi lain, hak masyarakat untuk membaca beragam ilmu pengetahuan dibatasi oleh pemerintah melalui razia buku. Buku disamping sumber ilmu pengetahuan, juga merupakan jejak peradaban. Oleh karena itu, kalau ingin mematikan peradaban, salah satu caranya adalah dengan membatasi bahkan merazia buku.

Di Indonesia, regulasi sistem perbukuan diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2017. Pada pasal 1 ayat (2) dinyatakan bahwa "Buku adalah karya tulis dan/atau karya gambar yang diterbitkan berupa cetakan berjilid atau berupa publikasi elektronik yang diterbitkan secara tidak berkala."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun