Setelah menjadi polemik, Mahkamah Agung (MA) memutuskan bahwa mantan koruptor boleh menjadi calon anggota legistlatif (caleg). Keputusan MA ini mengabulkan uji materi Pasal 4 ayat (3), Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/kota terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu).
Tujuan dari KPU membuat peraturan bahwa mantan koruptor tidak boleh menjadi caleg adalah sebagai bentuk semangat anti korupsi. Sebagai penyelenggara pemilu, KPU ingin menyelenggarakan pemilu yang berintegritas, dan para pemilih disajikan pilihan caleg yang bersih dan belum pernah terjerat kasus korupsi.
Menyikapi hal terebut, sejumlah caleg mantan napi korupsi yang tidak menerima PKPU tersebut disamping mengadukan KPU ke Bawaslu, juga mengajukan uji materi ke MA karena PKPU tersebut dinilai melanggar hak asasi mereka. Para mantan napi koruptor itu berkilah bahwa mereka telah dihukum atas kesalahan mereka, yaitu dipenjara, membayar ganti rugi, dan mendapatkan sanksi sosial.
Selain itu, mereka pun telah memperbaiki diri dan bertaubat, sehingga mereka layak untuk mendapatkan kesempatan menjadi caleg sebagaimana caleg pada umumnya. Bawaslu sendiri telah memutuskan bahwa caleg mantan koruptor boleh menjadi caleg.
Ketika MA pun mengabulkan uji materi terhadap PKPU tersebut, maka KPU pun harus meloloskan caleg mantan koruptor. Sebenarnya dalam PKPU tersebut bukan hanya mengatur mantan koruptor saja, tetapi juga mantan penjahat terhadap anak dan bandar narkoba.
Oleh karena itu, ketika mantan koruptor boleh menjadi caleg, maka mantan penjahat anak dan bandar narkoba pun dapat menjadi caleg.
Sebenarnya pintu pertama seleksi caleg adalah partai politik peserta pemilu, tetapi ternyata mereka tetap mencalonkan mantan napi koruptor sebagai caleg karena menyangkut hak asasi seseorang dan sudah dihukum atas kesalahan mereka. Dengan mencalonkan mantan koruptor, seolah partai kekurangan kader yang bersih dan semangat anti korupsinya diragukan.
Ketika parpol mengajukan mantan koruptor sebagai caleg, maka KPU ingin menjadi penyeleksi mantan koruptor tidak boleh menjadi caleg dengan membuat larangan mantan koruptor tidak boleh menjadi caleg. Caleg yang diketahui mantan koruptor akan dicoret dan dinyatakan tidak memenuhi syarat.
Tetapi ketika MA mengabulkan uji materi terhadap PKPU yang melarang mantan koruptor tidak boleh menjadi caleg, maka KPU harus menghormatinya dan menindaklanjutinya dengan merevisi PKPU tersebut.
Untuk tetap memberikan informasi kepada masyarakat tentang caleg mantan koruptor, maka ada wacana pada surat suara, para mantan koruptor tersebut ditandai atau diberi keterangan sebagai mantan koruptor. Dengan banyaknya caleg yang ditawarkan oleh tiap parpol, masyarakat pun relatif kesulitan untuk menyusuri track record tiap caleg.
Oleh karena itu, tanda sebagai mantan koruptor pada surat suara dapat membantu masyarakat untuk mengetahui mantan caleg yang belum terjerat korupsi dan caleg mantan koruptor. Dan tentunya masyarakat diharapkan menjadi pemilih yang cerdas dan kritis dalam memilih. Jangan sampai menyesal dikemudian hari.
Sebagaimana diketahui bahwa banyak kasus anggota legislatif yang terjerat terkena Operasi Tangkap Tangan (OTT) kasus korupsi KPK. Kasus yang terbaru adalah sebanyak 41 orang anggota DPRD kota Malang terjerat kasus korupsi. Belum lagi di provinsi Jambi dan daerah-daerah lainnya korupsi dilakukan secara berjamaah.
Dan ironisnya, tampak tidak ada penyesalan atau rasa malu dari mereka. Saat digiring dan menggunakan jaket oranye KPK, mereka masih bisa senyum, melambaikan  tangan, dan salam metal, seolah mereka bukan akan ditahan, tetapi akan piknik.
Hukuman yang ringan disinyalir menjadi penyebab napi koruptor tidak memiliki rasa bersalah dan rasa malu atas perbuatannya. Oknum aparat hukum yang bisa dibeli pun menyebabkan hukuman yang diberikan kepada para koruptor tidak memberikan efek jera. Kasus-kasus sel mewah para terpidana korupsi di LP menjadi bukti bahwa hukum masih bisa dibeli atau bisa dipermainkan.
Hal tersebut tentunya diharapkan tidak terjadi lagi ketika KPU membuat aturan mantan koruptor tidak boleh menjadi caleg, tetapi ketika MA membolehkan mantan koruptor boleh menjadi caleg atas nama HAM, maka pemilih-lah yang menjadi pintu terakhir untuk menyeleksi caleg yang akan dipilih menjadi wakil rakyat.
Walau tidak ada jaminan bahwa caleg yang belum pernah terlibat korupsi ketika menjadi anggota legislatif akan bebas dari korupsi, tetapi setidaknya hal ini menjadi sebuah ikhtiar dalam mewujudkan lembaga legislatif yang amanah dan berintegritas serta benar-benar mengutamakan kepentingan rakyat. Wallaahu a'lam.
Oleh:
IDRIS APANDI
(Pemerhati Masalah Sosial)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H