Krisis karakter dan jati diri bangsa banyak dikeluhkan oleh masyarakat. Berbagai perilaku menyimpang secara kasat mata dengan mudah dijumpai, misalnya orang melanggar rambu-rambu lalu lintas, membuang sampah sembarangan, semakin lunturnya sopan dan santun, umpatan, cacian, dan ucapan-ucapan kasar yang banyak tersebar di media sosial.
Lalu muncul potensi munculnya disintegrasi sosial akibat beda pilihan politik dan kesenjangan sosial yang terasa semakin menganga antara orang kaya dan orang miskin. Begitupun masalah penyalahgunaan narkoba, peralihan budaya pola pikir dan pola hidup masyarakat yang semakin individualistis, materialistis, dan konsumtif sebagai dampak negatif dari arus globalisasi. Hal ini menjadi pekerjaan rumah semua pihak, bukan hanya pemerintah saja, tetapi juga keluarga, dan masyarakat secara umum.
Menyikapi hal tersebut, maka pemerintah, melalui Kemdikbud melaksanakan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Sebenarnya hal ini tidak hanya dilakukan pemerintah saat ini, tapi sejak negara ini berdiri, pendidikan karakter, pendidikan budi pekerti, pendidikan akhlak mulia, pendidikan moral, atau apapun namanya sudah dilakukan. Intinya sama, yaitu ingin membentuk warga negara yang cerdas dan berkarakter.
Salah satu amanat pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa NKRI berdiri untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Cerdas ini bukan hanya cerdas intelektual, tapi juga cerdas spiritual, cerdas moral, dan cerdas sosial.Â
Dalam pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."
Pertanyaannya adalah di satu sisi pendidikan karakter telah dijalankan melalui berbagai model dan strategi, tetapi di sisi lain, karakter bangsa Indonesia belum tercermin seperti yang diharapkan dalam Undang-undang Sisdiknas.Â
Bahkan justru kondisinya makin mengkhawatirkan. Saya melihat bahwa penyebab utama dari belum berhasilnya pendidikan karakter adalah minusnya keteladanan, baik dari pemimpin, orang tua, atau orang dewasa secara umum, sehingga para generasi muda kehilangan figur teladan (role model) yang bisa dicontoh. Akibatnya, mereka mencari idola sendiri, yang justru idolanya adalah tokoh-tokoh yang meracuni pola pikir mereka.
Para remaja banyak yang sudah tidak hapal Pancasila, lagu kebangsaan Indonesia Raya, dan nama pahlawan nasional. Mereka justru lebih hapal lagu-lagu pop yang lagi hits dan nama artis atau selebritis fenomenal. Mengapa demikian? Karena faktor media yang banyak mengeksposenya dan mudah diakses melalui gawai.Â
Walau ukuran nasionalisme bukan hanya sekedar hapal Pancasila, hapal Lagu kebangsaan Indonesia Raya, atau hapal nama-nama Pahlawan nasional, tetapi hal itu setidaknya menjadi beberapa indikator sejauhmana kepedulian generasi bangsa terhadap bangsa dan negaranya sendiri.
Proklamator kemerdekaan RI Bung Karno pernah mengatakan "jasmerah" atau jangan sesekali melupakan sejarah. Artinya, dari sejarah, generasi muda bisa belajar bagaimana proses perjuangan mencapai kemerdekaan yang hingga saat ini dinikmati dan bagaimana pula cara untuk mengisi kemerdekaan melalui hal-hal yang positif.
Para pemimpin perjuangan kemerdekaan memberikan teladan dengan mengorbankan waktu, tenaga, pemikiran, harta, bahkan jiwa dan raga untuk kepentingan bangsa dan negara, tetapi saat ini apa yang terjadi? Korupsi terjadi di berbagai tingkat pemerintahan, konflik dan gontok-gontokkan karena nafsu meraih kekuasaan. Konflik elit politik berimbas kepada para pendukungnya di barisan akar rumput (grass root). Akibatnya kondisi kehidupan bermasyarakat menjadi kurang kondusif.
Banyak pemimpin mengampanyekan hidup sederhana, tetapi nyatanya banyak bergelimang harta dan berfoya-foya, kurang peka dan empati terhadap rakyatnya yang hidup kesusahan.Â
Banyak pemimpin mengampanyekan pentingnya supremasi hukum, sedangkan mereka sendiri suka mempermainkan hukum. Banyak Pemimpin menyatakan hidup harus tertib, patuhi prosedur, tetapi justru mereka ada yang suka melanggar, tidak mau antri, dan sebagainya. Banyak pemimpin mengatakan harus jujur, tetapi justru banyak yang terlibat korupsi karena serakah. Itulah anomali-anomali yang terjadi sehingga pemimpin kurang berwibawa di hadapan rakyatnya.
Begitupun di lembaga pendidikan sebagai lembaga yang seharusnya menjadi model implementasi pendidikan karakter, nilai-nilai karakter belum benar-benar terinternalisasi dengan baik. Budaya sadar kebersihan, budaya disiplin, budaya peduli lingkungan, budaya malu, budaya tanggung jawab, budaya empati, dan budaya bersaing secara sehat belum secara nyata dan secara konsisten diaksanakan.
Para ahli saat ini sah-sah saja mengembangkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi penerapan pendidikan karakter di satuan pendidikan. Hal tersebut wajar sebagai sebuah kajian akademik, tetapi yang paling utama adalah implementasi dan keteladanan dari pemimimpin dan orang-orang dewasa. Pendidikan karakter jangan hanya kegiatan yang pada akhirnya bersifat administratif dan kurang berdampak dalam membangun karakter bangsa.
Sebuah ungkapan bijak mengatakan bahwa "satu perbuatan lebih utama dari seribu kata-kata." Hal itu menunjukkan pentingnya keteladanan dalam mendidik karakter. Keteladanan menjadi sebuah kekuatan untuk menggerakkan arus perubahan kea rah yang lebih baik. Keteladanan menjadi corong "kampanye senyap" gerakan penguatan karakter. Tidak terdengar suaranya, tapi ada, terlihat nyata, serta memiliki kekuatan yang luar biasa.
Mengapa negara Jepang terkenal memiliki karakter yang kuat? Karena karakter selain diajarkan sejak dini, juga dicontohkan oleh orang tua. Misalnya bagaimana cara menghormati orang tua, bagaimana bersikap sopan dan santun kepada sesama manusia, bagimana cara menanamkan budaya malu dan tanggung jawab, bagaimana cara menghormati hak-hak orang lain, mandiri, dan sebagainya. Hal tersebut berproses sehingga terinternalisasi ke dalam diri masing-masing.
Sebelum menjadi budaya, karakter-karakter yang baik memang harus diajarkan dan dibiasakan. Misalnya ajar anak cara untuk mengantri, lalu biasakan antri ketika di tempat umum. Setelah dibiasakan, maka dimanapun dia tetap antri. Dan itulah yang terjadi pada masyarakat Jepang. Pendidikan karakter diajarkan dan dibiasakan sejak dini, ditambah dengan adanya teladan orang tua dan pemimpin.
Beberapa waktu viral foto supporter Jepang yang sedang membersihkan sampah pada saat piala dunia Russia 2018 dan Asian Games 2018 di Jakarta Palembang. Mereka tidak banyak teriak-teriak tentang pentingya menjaga kebersihan, tetapi langsung beraksi, menginisiasi, mempelopori, dan meneladankan menjaga kebersihan dan peduli lingkungan.
Berbeda dengan di Indonesia, ada plang dilarang membuang limbah dan sampah di selokan dan sungai pun masih tetap saja ada yang nakal melakukannya, tidak sadar terhadap dampaknya di masa depan. Padahal undang-undang ada, sanksinya juga ada, tetapi tidak dilaksanakan.Â
Banyak orang yang secara sadar melakukan kesalahan berjamaah. Misalnya ada yang menerobos lampu merah, malah ikut-ikutan, karena orang lain pun melakukannya. Kadang kucing-kucingan dengan aparat untuk menghindari sanksi. Selain itu, rendahnya penegakkan hukum menjadi sebab hukum kurang memiliki wibawa dan tidak dihormati.
Ada agadium yang menyatakan bahwa "hukum di Indonesia dibuat untuk dilanggar." Dan itulah realita yang banyak terjadi. Setiap tahun ratusan perangkat perundang-undangan dibuat, tetapi hanya terkesan jadi macan kertas saja, indah dalam konsep, tetapi runyam dalam pelaksanaannya.
Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, saya tentunya memimpikan Indonesia yang aman, nyaman, tertib, dan bersih. Warganya hidup rukun, toleran, saling menghormati, saling menghargai, dan memiliki semangat berpretasi dengan berlandaskan integritas. Â Saya yakin bahwa bangsa Indonesia bisa melakukan hal tersebut, tentunya melalui proses pendidikan yang menekankan kepada keteladanan.
Bapak pendidikan nasional, Ki Hajar Dewantara menyampaikan ajaran penting, yaitu "Ing Ngarso Sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, dan Tut Wuri Handayani", yang artinya, di depan memberikan teladan, di tengah memberikan bimbingan, dan di belakang memberikan dorongan. Berdasarkan kepada hal tersebut, maka keteladanan menjadi hal yang utama. Hal inilah yang perlu diperhatikan oleh kepala sekolah, guru, dan tenaga kependidikan dalam memberikan layanan pendidikan kepada para peserta didik.
Dalam konteks pendidikan formal, sekolah harus menjadi model dan miniatur implementasi penguatan pendidikan karakter. Hal ini bisa bisa terihat mulai dari gerbang masuk, cara melayani tamu, cara bergaul dan berkomunikasi antarwarga sekolah, kegiatan pembelajaran, layanan administrasi, kebersihan lingkungan, dan sebagainya.
Selain pendidikan karakter di rumah, pendidikan karakter di sekolah menjadi bekal bagi peserta didik untuk bergaul di masyarakat. Masyarakat yang berkarakter berawal dari individu-individu yang berkarakter.Â
Mari wujudkan pribadi yang berkarakter mulai dari diri sendiri, mulai dari hal yang kecil, dan mulai dari saat ini, karena hal tersebut merupakan esensi dari keteladanan. Wallaahu a'lam. di
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H