PENDIDIKAN KARAKTER DALAM BINGKAI PENJAMINAN MUTU PENDIDIKAN
Oleh:
IDRIS APANDI
(Widyaiswara LPMP Jabar, Wakil Ketua Bidang Pendidikan Paguyuban Pasundan KBB)
Â
Pemegang kebijakan pendidikan di negeri ini boleh bergonta-ganti, tetapi masalah pendidikan karakter selalu menjadi bahan perhatian. Oleh karena itu, berbagai regulasi berkaitan dengan pendidikan karakter dibongkar pasang. Tujuannya tentunya ingin memperbaiki tata kelola implementasi pendidikan karakter di satuan pendidikan dalam rangka mencapai fungsi dan tujuan pendidikan nasional.
Pasal 3 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa "Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab."
Perubahan regulasi dan tata kelola pendidikan karakter selain untuk memperbaiki implementasi di lapangan, juga tidak bisa dipungkiri dipengaruhi oleh visi dan selera pengambil kebijakan. Kegiatan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) saat ini dikaitkan dengan poin ke-8 Nawa Cita Presiden Joko  Widodo, yaitu "Melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan, seperti pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta Tanah Air, semangat bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum pendidikan Indonesia."
Ada 5 (lima) karakter utama yang saat ini fokus ditanamkan kepada peserta didik, yaitu (1) religius, (2) nasionalis, (3) integritas, (4) mandiri, dan (5) gotong royong. Kelima nilai tersebut diintegrasikan ke dalam kegiatan intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler. Karena sifatnya pengitegrasian, maka nilai-nilai pendidikan karakter tidak diajarkan secara langsung, tetapi diajarkan secara tidak langsung baik melalui pembiasaan maupun pembelajaran. Dan yang paling utama adalah melalui keteladanan kepala sekolah dan guru.
Menurut saya, dalam konteks penjaminan mutu pendidikan, integrasi nilai-nilai karakter dalam kegiatan pembelajaran merupakan salah satu bagian kecil dari implementasi pendidikan karakter dalam lingkup Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (SPMP). Secara substantif, tujuan dari pendidikan karakter dan SPMP adalah peningkatan mutu, baik mutu SDM sebagai seorang individu maupun sebagai bagian dari anggota komunitas atau masyarakat, maupun mutu tata kelola manajemen organisasi pendidikan.
Saya yakin bahwa banyak pihak setuju bahwa peningkatan mutu pendidikan sebagai sarana untuk meningkatkan mutu sebuah bangsa. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa pendidikan sebagai alat perubahan. Negara-negara yang serius meningkatkan mutu pendidikan saat ini menjelma menjadi negara-negara yang maju, unggul, berkualitas, dan kompetitif diantara ratusan negara yang ada di dunia.
SPMP dilaksanakan dalam rangka upaya mencapai 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan (SNP). Sebagai payung hukumnya, Mendikbud menerbitkan Permendikbud Nomor 28 tahun 2016 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan (SPMP) Dasar dan Menengah. Pasal 1 ayat 2 menyatakan bahwa "Penjaminan Mutu Pendidikan adalah suatu mekanisme yang sistematis, terintegrasi, dan berkelanjutan untuk memastikan bahwa seluruh proses penyelenggaraan pendidikan telah sesuai dengan standar mutu."
Pada pasal 1 ayat 3 disebutkan bahwa "Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Dasar dan Menengah adalah suatu kesatuan unsur yang terdiri atas organisasi, kebijakan, dan proses terpadu yang mengatur segala kegiatan untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah yang saling berinteraksi secara sistematis, terencana dan berkelanjutan."
SPMP terdiri dua bentuk, Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) dan Sistem Penjaminan Mutu Eksternal (SPME). SPMI dilakukan secara mandiri oleh sekolah melalui Evaluasi Diri Sekolah atau mengisi Rapot Mutu. Tujuannya untuk mengetahui sejauh mana ketercapaian SNP di satuan pendidikan. SPMI dilakukan dalam bentuk siklus  melalui 5 (lima) tahapan sebagai berikut: (1) pemetaan mutu, (2) perencanaan pemenuhan mutu, (3) pelaksanaan pemenuhan mutu, (4) monitoring dan evaluasi pemenuhan mutu, dan (5) penentuan strategi pencapaian mutu yang baru.
SPME dilaksanakan melalui kegiatan akreditasi yang dilakukan oleh pihak assessor yang berkunjung ke satuan pendidikan. Tim Assessor akan melihat kesesuaian antara instrumen evaluasi diri yang sebelumnya diisi sekolah dengan kenyataan di lapangan. Mereka melakukan telaah dokumen, uji petik, wawancara, dan observasi baik observasi lingkungan maupun observasi pembelajaran. Idealnya, antara hasil SPMI dengan hasil SPME tidak akan jauh berbeda, karena SPMI merupakan sebuah persiapan dan pengondisian menuju SPME. Dengan kata lain, jika SPMI di sebuah satuan pendidikan baik, maka SPME-nya pun akan baik.
Sebagai bingkai penjaminan mutu pendidikan, menurut Saya, ada beberapa nilai karakter yang ditanamkan, antara lain;
Pertama, organisasi pembelajar. Satuan pendidikan yang melakukan penjaminan mutu pendidikan akan menjelma menjadi organisasi pembelajar. Warga sekolah, mulai dari kepala sekolah, guru, hingga staf administrasi memiliki semangat untuk mengetahui, memahami, dan melaksanakan penjaminan mutu pendidikan dalam rangka mencapai 8 SNP.
Sebagai pembelajar, warga sekolah terbuka terhadap hal-hal baru sepanjang hal tersebut bermanfaat dan dapat menambah pengetahuan yang berdampak terhadap peingkatan kinerja sekolah.Â
Tujuan akhir dari layanan pendidikan adalah dihasilkannya lulusan yang kompeten dalam pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Untuk  mewujudkan hal tersebut, tentunya para pembeli layanan pendidikan, seperti kepala sekolah (layanan kepemimpinan dan layanan manajerial), guru (layanan pembelajaran) ditopang dengan staf administrasi (layanan administratif) harus kompeten.
Jantung dari layanan pendidikan di sekolah tentunya adalah proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Oleh karena itu, pemerintah menyadari terhadap pentingnya peningkatan profesionalisme guru yang ditindaklanjuti dengan berbagai pelatihan, bimbingan teknis (bimtek) dan sebagainya.Â
Hasil yang diharapkan dari kegiatan tersebut adalah lahirnya guru yang berkualitas, kreatif, dan inovatif, serta mampu menyajikan pembelajaran yang bermakna bagi siswa.
Kedua, membangun komitmen. Peningkatan mutu pendidikan di satuan pendidikan memerlukan komitmen semua warga sekolah. Tidak hanya mengandalkan pihak-pihak tertentu. Oleh karenanya, hal yang pertama kali harus dibangun adalah komitmen bahwa peningkatan mutu merupakan sebuah kebutuhan sekaligus tuntutan untuk meningkatkan daya saing satuan pendidikan.
Komitmen mudah diucapkan dan mudah disusun dengan menggunakan bahasa yang indah dan terlihat sangat bersemangat, tetapi kadang dalam pelaksanaanya tidak semudah sebagaimana yang tercantum dalam tulisan. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran masing-masing untuk menghormati dan melaksanakannya. Perlu pula saling mengingatkan agar komitmen yang telah dibuat tetap dijaga dan dipelihara agar tidak hanya sekedar indah di atas kertas.
Ketiga, membangun budaya gotong royong. Peningkatan mutu pendidikan tidak bisa dilakukan seorang diri oleh kepala sekolah, tetapi memerlukan tim kerja (team work) yang solid dan kompak. Oleh karena itu, sekolah membuat Tim Peningkatan Mutu Pendidikan Sekolah (TPMPS) sebagai leading sector peningkatan mutu di satuan pendidikan.
Budaya gotong royong dan kerjasama dibangun dalam tim. Bekerja bersama dan sukses pun bersama. Jangan sampai ada ada yang capai bekerja sedangkan yang lain berleha-leha. Jangan sampai kesuksesan hanya diklaim oleh pihak tertentu saja.Â
Hargai dan apresiasi sekecil apapun kontribusi yang diberikan oleh orang-orang yang berada dalam tim, agar muncul rasa bangga dan rasa memiliki terhadap tim. Sehingga hal ini dapat meningkatkan motivasi untuk bekerja lebih baik lagi.
Gotong royong merupakan budaya bangsa yang perlu dilestarikan dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam meningkatkan mutu pendidikan. Pemerintah, satuan pendidikan, dan masyarakat perlu bergotong royong dan bersinergi dalam mewujudkan pendidikan yang bermutu.
TPMPS adalah sebuah unit yang diharapkan perannya untuk dapat menjembatani komunikasi antara pihak sekolah dengan pemerintah, sekolah dengan komite sekolah, dan pihak sekolah dengan dunia usaha dan industri. Itulah sejatinya hakikat Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Sekolah diberikan kewenangan untuk mengelola sekolahnya sendiri sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan sekolah masing-masing.
Keempat, peningkatan mutu berkelanjutan. Implementasi sistem penjaminan mutu di satuan pendidikan dapat memacu semangat untuk melakukan peningkatan mutu secara berkelanjutan. Indikator-indikator mutu dicapai secara bertahap sesuai dengan skala prioritas sesuai hasil Evaluasi Diri Sekolah (EDS) atau rapot mutu. Program-program peningkatan mutu disusun secara demokratis dan partisipatif.Â
Perlahan tapi pasti, mutu sekolah akan terus meningkat, dan sekolah akan memiliki daya saing. Sekolah yang memiliki daya saing tentunya akan semakin kompetitif dan semakin diminati masyarakat.
Dalam beberapa kunjungan saya ke beberapa daerah, diantaranya ada sekolah-sekolah yang telah bubar. Dan ternyata hal tersebut disebabkan oleh semakin minimnya jumlah siswa di sekolah tersebut. Hal ini tidak dipungkiri sebagai dampak semakin minimnya kepercayaan masyarakat atau munculnya sekolah-sekolah baru yang lebih berkualitas.
Di lingkungan masyarakat, khususnya masyarakat pendidikan ke atas, yang juga kritis dengan masalah mutu pendidikan, sekolah gratis tidak menjadi daya tarik utama untuk menyekolahkan anaknya. Yang dilihat adalah sejauh mana sekolah dapat memberikan layanan pendidikan berkualitas bagi anaknya, walau konsekuensinya harus membayar dengan biaya yang tidak murah.
Sebagai sebuah investasi, tentunya pendidikan adalah sebuah kegiatan yang memerlukan modal. Adanya kebijakan sekolah gratis diakui atau tidak telah mengurangi layanan kualitas pendidikan. Walau demikian, para sekolah yang menerapkan sekolah gratis, utamanya pada jenjang SD dan SMP tetap berupaya memberikan layanan pendidikan yang berkualitas di tengah banyak keterbatasan. Mereka memutar otak, gali lobang dan tutup lobang bagaimana operasional sekolah bisa terus berjalan walau tantangannya berat.
Kelima, belajar tertib administrasi. Pelaksanaan sistem penjaminan mutu di satuan pendidikan mendorong warga sekolah, utamanya TPMPS untuk tertib administrasi. Semua tahapan pelaksanaan penjaminan mutu didokumentasikan baik dalam bentuk soft copy maupun hard copy. Hal ini selain sebagai bentuk tertib administrasi, juga sebagai bentuk akuntabilitas. Tertib administrasi juga akan memudahkan warga sekolah dalam mengakses berbagai dokumen yang diperlukan.
Pada saat pelaksanaan akreditasi, bukti-bukti fisik akan sangat membantu sekolah dalam menjawab pertanyaan tim assessor atau menunjukkan bukti pendukung kegiatan, sehingga tim assessor bisa yakin dan memberikan nilai yang objektif. Jadi, tidak akan ada lagi sekolah yang antara nilai akreditasinya dengan kondisi riilnya tidak sesuai.
Â
Keenam, motif berprestasi. Melalui implemetasi sistem penjaminan mutu, satuan pendidikan didorong untuk meningkatnya prestasinya. Selain prestasi secara institusional, bukti nyata prestasi sekolah adalah pada prestasi siswa atau prestasi lulusannya, baik prestasi akademik, maupun prestasi non akademik. Oleh karena itu, TPMPS sangat disarankan untuk menulis praktik terbaik (best practice) yang isinya menceritakan kisah sukses sekolah dalam meningkatkan tata kelola, mutu, atau prestasi sekolah.
Ketujuh, integritas. Pelaksanaan penjaminan mutu di sekolah memerlukan kejujuran sekolah dalam melaksanakan setiap tahapan penjaminan mutu. Bahkan kejujuran menjadi fondasi penting dalam penjaminan mutu. Kejujuran atau integritas sekolah dalam melakukan EDS atau mengisi rapot mutu akan menjadi pintu gerbang peningkatan mutu sekolah. Tidak ada kekhawatiran sekolahnya akan dinilai berkinerja rendah, karena memang hasil EDS menunjukkan keadaan yang sebenarnya.
Bukan rahasia lagi, jika sekolah mau melaksanakan akreditasi, maka dibentuklah "tim sukses" yang bertugas untuk membuat, mengumpulkan, atau mengadakan bukti-bukti fisik agar nilai akreditasi sekolah bagus. Kerja mereka berminggu-minggu, siang dan malam sehingga proses akreditasi sangat melelahkan disamping juga memakan biaya yang besar. Hasil kerja keras dalam waktu yang relatif singkat tersebut lalu dinilai oleh tim assesor hanya dalam waktu dua hari.Â
Dan setelah itu, kadang berkas-berkas dokumen-dokumen yang telah dikumpulkan pun kadang teronggok begitu saja. Mengapa demikian? Karena berkas-berkas yang dikumpulkan hanya sebatas untuk menghadapi tim assessor, bukan atas dasar kebutuhan sendiri.
Proses penjaminan mutu di satuan pendidikan baik yang dilakukan secara internal maupun eksternal, merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan.Â
Berdasarkan hasil EDS dan rapot mutu, pemerintah menyusun berbagai program peningkatan mutu yang relevan dengan kebutuhan di lapangan sehingga kebermanfaatannya akan lebih bisa dirasakan.
Nilai-nilai karakter yang menjadi bingkai dalam proses penjaminan mutu di satuan pendidikan diharapkan dapat mewujudkan paradigma bahwa sistem penjaminan mutu bukan hanya sebuah proses administratif semata, tetapi juga membangun pola pikir dan mental para pelakunya sehingga mutu tidak lagi dianggap sebagai beban tetapi sebagai sebuah kebutuhan dalam mewujudkan sekolah yang unggul dan kompetitif dalam rangka menghasilkan lulusan yang berkualitas. Dan lulusan yang berkualitas merupakan modal penting dalam menyambut generasi emas Indonesia 2045.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H