Salah satu bentuk perubahan kurikulum 2006 ke kurikulum 2013 adalah perubahan nama mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) kembali menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) seperti pada kurikulum 1994. Perubahan nama PKn kembali menjadi PPKn bukan tanpa alasan. Hal ini bertujuan untuk memunculkan dan menghidupkan kembali "ruh" Pancasila dalam kurikulum pendidikan di Indonesia.Â
Dimasukkannya Pancasila pun menjadi ciri khas atau membedakan pendidikan kewarganegaraan di Indonesia dengan di negara lain, yaitu pendidikan kewarganegaraan dengan berlandaskan nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah, dasar  negara, dan ideologi bangsa Indonesia.
Sebagaimana diketahui bahwa pasca arus reformasi, Pancasila terpinggirkan dari kehidupan bangsa Indonesia. Orang banyak yang "alergi" bicara Pancasila, takut dicap sebagai pendukung orde baru, karena memang pada masa orde baru, Pancasila dijadikan alat bagi Soeharto untuk melakukan indoktrinasi untuk melanggengkan kekuasaan kepada warga negara melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Pemerintah menjadi penafsir tunggal Pancasila yang harus ditaati oleh setiap warga negara. Oleh karena itu, pada masa reformasi, P-4 pun dibubarkan.
Selain P-4, pada masa orde baru pun dikenal adanya Gerakan Hidup Berpancasila (GHBP). Tujuannya pada dasarnya bagus, yaitu untuk membumikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan, tetapi sayangnya dalam pelaksanaannya, praktek pemerintahan keluar dari nilai-nilai Pancasila seperti terjadinya pelanggaran HAM, korupsi, dan pemasungan terhadap kehidupan demokrasi.
Memori buruk masyarakat terkait dengan penyalahgunaan Pancasila oleh penguasa orde baru untuk melanggengkan kekuasaan hampir membuat tidak ada lagi suara-suara yang mengingatkan pentingnya pendidikan Pancasila. Akibatnya banyak anak bangsa yang tidak hapal teks Pancasila, kurang memahami sejarah dan nilai-nilai filosofis Pancasila. Dampaknya, pancasila yang dirumuskan oleh para pendiri negara (founding father) semakin terasing dalam kehidupan bangsa Indonesia. Dan Pancasila semakin tidak terdengar seiring dengan digantinya nama PPKn menjadi PKn pada kurikulum 2006.
Menyadari hal tesebut, maka pada perubahan K-2006 menjadi K-2013, nama Pancasila muncul pada mata pelajaran PPKn. Tujuannya untuk menghadirkan kembali Pancasila dalam kurikulum pendidikan nasional. Agar para peserta didik bisa mengenal dan mendapatkan internalisasi nilai-nilai Pancasila sebagai bekal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tentunya dengan model pembelajaran yang humanis dan demokratis, bukan dengan cara-cara indoktrinatif seperti pada masa orde baru.
Seiring dengan bergulirnya visi revolusi mental Presiden Joko Widodo dimana salah satunya adalah adanya Penguatan Karakter Bangsa, Â maka Pancasila pun semakin mendapatkan perhatian khusus. Bangsa Indonesia harus menjadi bangsa yang bangga memiliki ideologi Pancasila, sebagai sebuah ideologi tengah (antara komunis dan liberal) yang mampu mengakomodir kemajemukan dan mempertahanan kedaulatan serta keutuhan NKRI.
Sebagai bentuk keseriusan pemerintah mengembalikan jiwa Pancasila dalam kehidupan bangsa dan negara, maka pemerintah pun membentuk Unit Kerja Presiden (UKP) Bidang Pembinaan Ideologi Pancasila lalu mengubahnya menjadi Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP) serta menetapkan tanggal 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila.  Sebelum digulirkannya revolusi mental dan Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), Majelis Permusyawaratan Rakyat  (MPR) pun telah melakukan sosialisasi empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI.
Menurut Muhammad Numan Somantri (2001:159) Pendidikan Kewarganegaraan adalah seleksi dan adaptasi dari dari lintas disiplin ilmu-ilmu sosial, ilmu kewarganegaraan, humaniora, dan kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara psikologis dan ilmiah untuk ikut mencapai salah satu tujuan pendidikan IPS. PPKn sebagai pendidikan moral, pendidikan nilai, pendidikan politik, pendidikan hukum, dan pendidikan HAM di sekolah-sekolah.
Menurut Azyumardi Azra (2015:15), Pendidikan Kewarga(ne)geraan (civic education) adalah pendidikan yang cakupannya lebih luas dari pendidikan demokrasi dan pendidikan HAM, karena mencakup kajian dan pembahasan tentang banyak hal, seperti; Â pemerintahan, konstitusi, lembaga-lembaga demokrasi, rule of law, hak dan kewajiban warga negara dalam masyarakat madani, pengetahuan tentang lembaga-lembaga dan sistem yang terdapat dalam pemerintahan, politik, administrasi publik dan hukum, pengetahuan tentang HAM, kewarganegaraan aktif, dan sebagainya.
Diberikannya mata pelajaran PPKn kepada peserta didik bertujuan untuk menyiapkan mereka menjadi warga negara yang mengetahui dan memahami hak dan kewajibannya sebagai warga negara, cerdas, kritis, aktif, partisipatif, cinta tanah air, demokratis, toleran, menghormati HAM, taat hukum, peduli terhadap orang lain, mempersiapkan diri menjadi masyarakat global, dan sebagainya. Pada akhirnya bermuara kepada terbentuknya masyarakat madani (civil society).
PPKn berdasarkan kepada Pancasila, norma, dan etika yang berlaku di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk. Nilai-nilai kearifan lokal pun ditanamkan dalam dalam memperkaya wawasan, pemahaman, dan memperkuat semangat cinta tanah dalam rangka menjaga keutuhan NKRI.
Tiga kompetensi dasar dari pendidikan kewarganegaraan antara lain; (1) pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge), (2) sikap kewarganegaraan (civic disposition), dan (3) keterampilan kewarganegaraan (civic skill). Pengetahuan kewarganegaraan berkaitan dengan membekali siswa dengan sejumlah pengetahuan yang menjadi dasar sebagai warga negara yang cerdas, kritis, demokratis, menghormati HAM, taat hukum, mengetahui hak dan kewajiban politik sebagai warga negara, mengetahui peran lembaga-lembaga negara, dan sebagainya.
Sikap kewarganegaraan berkaitan internalisasi karakter yang baik pada diri setiap peserta didik, rasa cinta tanah air, demokratis, toleran, menghormati HAM, rela berkorban, suka menolong, jujur, disiplin, tanggung jawab, dan sebagainya. Keterampilan kewarganegaraan berkaitan dengan kemampuan untuk mempraktikkan pengetahuan kewarganegaraan dan mencerminkan sikap kewarganegaraan dalam kehidupan sehari-hari, mampu berpartisipasi dalam perumusan, pelaksanaan, dan pengawasan kebijakan publik.
Penguatan Pendidikan Karakter
Berdasarkan kepada uraian tersebut di atas, maka mata pelajaran PPKn sangat strategis dalam membangun karakter bangsa. Saat ini ada lima nilai yang difokuskan untuk diperkuat melalui PPK yang diintegrasikan pada kurikulum 2013, yaitu: (1) religius, (2) nasionalis, (3) integritas, (4) mandiri, dan (5) gotong royong. Proklamator kemerdekaan RI pascakemerdekaan menekankan tentang pentingnya nation and character building. Negara-negara di Asia seperti Jepang, Korea Selatan, dan Cina sangat bisa maju dengan pesat dan menjadi kekuatan ekonomi yang diperhitungkan dunia karena memiliki karakter kuat.
Model atau metode yang digunakan untuk mengajarkan materi PPKn di sekolah tentunya harus kontekstual, menarik, dan mampu merangsang siswa untuk aktif dalam pembelajaran. Apalagi PPKn tidak lepas dengan persoalan-persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, para siswa perlu didorong untuk belajar menyusun alternatif-alternatif penyelesaian masalah sebagai bentuk partisipasinya sebagai warga negara.
Ketika suatu saat dia terjun ke lingkungan masarakat, dia mampu menjadi agen-agen perubahan di masyarakat, menjadi SDM yang berkualitas, dan menjadi perekat keutuhan bangsa. Tantangan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini antara lain, demokrasi dan kebebasan yang belum disertai dengan tanggung jawab dan menghormati hak asasi orang lain, rendahnya penegakkan hukum, korupsi, potensi disintegrasi bangsa, rendahnya daya saing yang tentunya memerlukan alternatif solusi agar bangsa Indonesia tetap tetap memiliki jati diri dan bisa kompetitif dalam percaturan global.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita melihat masih rendahnya kedisiplinan warga negara dalam mematuhi peraturan lalu lintas, membuang sampah sembarangan, kurang menghargai hak-hak orang lain, tindakan kekerasan, perusakan/ mencoret-coret fasilitas umum, kebiasaan mencontek, plagiat, budaya instan, dan sebagainya. Hal ini merupakan berbagai persoalan yang perlu disikapi dan diselesaikan.
Bangsa Indonesia ada suka ada yang jalan-jalan ke luar negeri dan memosting kekagumannya terhadap ketertiban, kebersihan, dan ketaatan warga masyarakatnya terhadap hukum. Hal tersebut tentunya tidak instan, tetapi lahir melalui proses pendidikan, sehingga sikap dan perilaku warga negara yang baik tersebut terinternalisasi ke dalam diri masing-masing. Setiap warga negara sadar terhadap tanggung jawabnya sebagai warga negara, sehingga negara tersebut menjadi sebuah negara berkeadaban.
Pandangan peserta didik terhadap mata pelajaran PPKn sebagai mata pelajaran yang membosankan perlu diubah melalui pelaksanaan pembelajaran yang yang kreatif dan inovatif oleh guru. Memang hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi guru bagaimana cara melakukannya karena karakteristik peserta didik yang beragam.
Budaya Literasi
Selain sebagai sarana penguatan karakter, mata pelajaran PPKn juga dapat  menjadi sarana penumbuhan budaya literasi. Hal ini ini sejalan dengan program Kemdikbud yang melaksanakan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) sebagai implementasi permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.
Maksud literasi disini bukan hanya dibatasi aktivitas baca dan tulis, tetapi memiliki pengertian yang lebih luas. Membaca dan menulis haya salah satu bentuk literasi dasar. UNESCO tahun 2003 menyatakan bahwa "literasi lebih dari sekedar membaca dan menulis. Literasi juga mencakup bagaimana seseorang berkomunikasi dalam masyarakat. Literasi juga bermakna praktik dan hubungan sosial yang terkait dengan pengetahuan, bahasa, dan budaya." Pasal 1 ayat 4 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2017 tentang Perbukuan menyatakan bahwa "literasi adalah kemampuan untuk memaknai informasi secara kritis sehingga setiap orang dapat mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai upaya dalam meningkatkan kualitas hidupnya."
Peran strategis PPKn dalam menumbuhkan budaya literasi disamping mendorong siswa untuk membaca berbagai materi yang terkait dengan PPKn, juga membentuk manusia yang literat sebagai warga bangsa dan negara. Memiliki kemampuan memilah dan memilih informasi yang akurat dan bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat.
Banyak beredarnya HOAX dan fitnah di media sosial, salah satunya disebabkan karena masyarakat kita banyak yang belum literat, sehingga mudah terprovokasi isu-isu yang tidak bertanggung jawab. Hal ini dapat memecah belah persatuan, kesatuan, dan keutuhan sebagai sebuah bangsa.
Indonesia adalah sebuah negara yang sangat besar, negara berpenduduk ke-4 paling banyak setelah Cina, India, dan Amerika Serikat. Tahun 2017 jumlah penduduk Indonesia diperkirakan sekitar 255 juta. Indonesia adalah negara yang majemuk, terdiri ratusan suku bangsa, bahasa, budaya, dan adat istiadat.Â
Tahun 2045 Indonesia akan mendapatkan bonus demografi yang disebut dengan "Indonesia emas" dimana jumlah penduduk yang produktif sangat banyak dan menunjang untuk melahirkan Indonesia sebagai negara yang kompetitif dan maju di era globalisasi.
Oleh karena itu, pendidikan, termasuk dalam hal ini literasi menjadi sangat penting untuk menyiapkan SDM yang berkualitas, berkarakter, dan literat. Manusia yang kemampuan literasinya tinggi disamping berjiwa pembelajar, kritis dan bijak dalam menyikapi sebuah informasi, akan memiliki sikap menghormati, menghargai perbedaan, dan menjunjung tinggi semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Wallaahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H