Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Tausiah Politik Si Kabayan Jelang Pilkada Jawa Barat

26 Juni 2018   07:29 Diperbarui: 26 Juni 2018   16:24 2393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kabayan tokoh cerita rakyat Sunda.(sundanologi blogspot)

Tanggal 27 Juni 2018 provinsi Jawa Barat akan menjadi salah satu daerah yang akan mengikuti Pilkada Serentak. Selain memilih gubernur, beberapa daerah juga menyelenggarakan pemilihan bupati/wali kota. 

Masa kampanye selama beberapa bulan sudah usai, dan saat ini memasuki masa tenang. Dan melalui tulisan ini, saya ingin menyampaikan pesan jelang hari pencoblosan melalui filosofi tokoh Kabayan.

Bagi masyarakat Jawa Barat yang banyak didominasi etnis Sunda, tokoh Kabayan sudah sangat familiar dengan tokoh Kabayan. Hal yang terbayang dari tokoh Si Kabayan adalah seorang tokoh fiksi, memiliki karakter yang polos, jenaka, sederhana, cerdas, kritis, dan cerdik dalam mengatasi berbagai persoalan hidup.

Cerita Si Kabayan suka dijadikan sebagai dongeng, bahkan jadikan dengan film atau sinetron yang di samping menghibur, juga mengajak pembaca, pendengar, atau penontonnya untuk melakukan refleksi dan menertawakan diri sendiri, karena ada kalanya dongeng atau cerita Si Kabayan adalah cerminan kehidupan kita sendiri.

Dalam sebuah satu film yang diperankan oleh almarhum Didi Petet, si Kabayan, suami Iteung, oleh Abah, mertuanya suka dipanggil Si Borokokok karena kelakuannya yang kadang dinilai mengesalkan walau pada akhirnya si Kabayan muncul sebagai pahlawan.

Bagi seorang Kabayan, tidak ada masalah yang sulit dan tidak ada penyelesaiannya, tetapi setiap masalah yang sulit dapat disederhanakan dan ada solusinya.

Di balik segala sikap sederhananya, sebenarnya banyak sekali falsafah hidup yang diajarkannnya kepada para pembaca kisahnya yang disampaikan melalui humor yang tanpa menggurui.

Asep Salahuddin, dalam bukunya Sufisme Sunda (2017 : 93) menggambarkan sosok Si Kabayan dengan manusia yang telah mengalami makam sirna rasa. Dia bergaul dengan dunia di luar dirinya, tapi kepribadiannya tetap ajeg, lurus, dan berkarakter. 

Asep Salahuddin mengibaratkan Si Kabayan sebagai "manusia setengah dewa". Utuy T. Sontani menyebutnya sebagai manusia "manusia anu geus teu nanaon ku nanaon". Ia adalah manusia yang selalu berada di titik moderat, ngajegang antara ekstrem kiri dan ekstrem kanan.

Si Kabayan merupakan manusia yang tidak pernah reureuh (berhenti) mencari kebenaran walaupun dia, misalnya harus meruntuhkan kekeramatan lembaga kekiaian atau memerankan diri sebagai dukun atau jurig. 

Peran-peran sosial itu dilakoninya dengan rasa jenaka. Bahkan dalam ranah kebudayaan Sunda, Kabayan merupakan sosok yang berada dalam kualifikasi sufi, bahkan jadi seorang wali yang tengah menyamar menjadi manusia yang penuh ambiguitas dan terkadang kecerdasannya itu dibungkus dalam ketidakcerdasan.

Pilkada diwarnai dengan persaingan ketat para kandidat. Hal ini itu wajar, karena pada dasarnya setiap kandidat ingin berkuasa. Dengan kekuasaan yang dimilikinya, dia memiliki wewenang untuk mengatur pemerintahan, memimpin aparat dan masyarakat di wilayahnya, dan menyusun berbagai program pembangunan sesuai dengan visi dan misinya saat kampanye. 

Dan yang paling penting adalah, dia menjadi orang penting, orang yang disegani dan dihormati. Walau secara filosofis, memimpin pada hakikatnya melayani, tetapi pada faktanya saat ini memimpin adalah dilayani. Apa yang diinginkan oleh sang penguasa, tinggal tunjuk jari saja, dan para bawahan pun akan siap manut pada setiap perintahnya.

Dalam pandangan Si Kabayan, pilkada tidak lebih dari sinetron atau reality show. Sesuatu yang terlihat serius, padahal sejatinya penuh dengan drama dan pencitraan. Di situ ada ada penulis skenario, sutradara, aktor, aktris, peran pembantu, sampai kepada figuran. Alur cerita pun dibuat sedemikian rupa agar terlihat menarik. Sebuah drama akan semakin menarik kalau diwarnai banyak konflik, walau menimbulkan kegaduhan di kalangan penonton.

Dalam drama terlihat para aktor dan aktris bersengketa penuh lika, liku, intrik, emosi, dan air mata. Para penonton pun sampai ikut hanyut di dalamnya. Akhirnya menimbulkan simpati terhadap aktor atau aktris yang disakiti, dan antipati terhadap aktor yang jahat.

Padahal setelah drama selesai, para aktor dan aktris baik yang berperan sebagai protagonis maupun antagonis, semuanya tepuk tangan karena sinetronnya sukses digemari penonton, sedangkan bagi para penonton, walau sinetron atau filmnya sudah selesai, tetapi terlanjur memiliki memori dan memberikan stempel terhadap para aktor dan artis tersebut. 

Misalnya dalam film India, yang namanya Inspektur Vijay tetap akan disanjung sebagai polisi pemberani, pahlawan kebenaran, dan pejuang keadilan, sedangkan Tuan Takur akan dianggap sebagai sosok penjahat yang kejam.

Ketika para pendukung dan simpatisan calon begitu ramai mempromosikan calon yang didukungnya, maka Kabayan lebih memilih jalan tengah. Menyaksikan dan mengamati jalannya persaingan politik, tidak ikut hanyut di dalamnya, walau tetap punya prinsip yang jelas dan tegas, karena pada dasarnya siapa pun yang menang, kehidupan masyarakat tidak akan banyak berubah kalau tidak berusaha sendiri. Mereka hanya akan jadi penonton terhadap setiap tingkah polah pemimpin yang dipimpinnya.

Menurut Asep Salahudin dalam buku Sufisme Sunda (2017:134), politik itu bertendensi merusak silaturahmi dan berujung pada semata memuja kekuasaan, memburu rente. Politik inilah yang pada gilirannya yang menjadi muara kita mengalami surplus kebodohan dan defisit nalar. 

Hiruk pikuk bukan mendiskusikan visi dan misi, tapi bagaimana berlomba menggaduhkan ruang publik dengan baliho dan spanduk yang penuh kata-kata narsis dan tampang muka yang genit. Pada akhirnya, siapa pun yang menjadi pemenangnya (bupati/wali kota, gubernur) selalu mengulang kesalahan yang sama: korup dan tidak pernah mendengarkan suara rakyatnya.

Persaingan politik saat ini tidak lepas dari dampak Pilpres 2014, Pilkada DKI 2017, dan jelang Pilpres 2019, sehingga muncul istilah partai Allah dan partai setan, ada partai yang telah memprogramkan "Menang Gubernur 2018" dan "Ganti Presiden 2019".

Apalagi Jawa Barat sebagai salah satu basis suara nasional dengan jumlah pemilih paling banyak di Indonesia, mencapai 31,7 juta jiwa, sehingga kandidat berloba-lomba merebut suara masyarakat Jawa Barat.

Tanggal 27 Juni 2008 warga Jawa Barat akan menentukan nasib Jawa Barat lima tahun ke depan. Oleh karenanya, warga Jawa Barat harus benar-benar cerdas dalam memilih calon gubernur yang paling baik, karena saya yakin pada dasarnya setiap kandidat memiliki niat dan berjanji akan membangun serta memajukan Jawa Barat, tetapi dari empat pasangan calon tersebut, tentunya hanya satu yang akan jadi paslon terpilih dan memimpin Jawa Barat 5 tahun ke depan.

Pada masa kampanye, persaingan sangat ketat. Dan jelang pilkada, mari kita cooling down, walau berbeda pilihan, tetapi tetap menjaga persatuan dan kesatuan. 

Mari salurkan hak pilih dengan suka cita-cita di balik bilik suara, dan setelah itu, siapapun yang menang, kita sambut dengan gembira. Kita dukung dan kita doakan semoga mampu menjadi pemimpin yang amanah serta mampu merealisasikan janji-janjinya saat kampanye. 

Mari sukseskan Pilkada Jawa Barat dengan menyalurkan hak pilih dan sikapi dengan filosofi si Kabayan yang tetap enjoy menyikapi perbedaan. Wallaahu a'lam.

www.tribunnews.com
www.tribunnews.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun