Sekian tahun silam, di kalangan masyarakat Sunda, hari terakhir puasa atau H-1 lebaran disebut juga sebagai po peupeuncitan (hari memotong), karena pada hari itu umumnya warga masyarakat memotong hewan (ayam, kambing, kerbau, atau sapi) untuk disantap pada saat lebaran.
Pada hari itu juga, di kampung-kampung anak-anak disuruh oleh orang tuanya mengirimkan makanan menggunakan rantang, baki (nampan), boboko (tempat nasi) kepada tetangga atau saudaranya. Tradisi ini disebut mrkeun. Isinya biasanya nasi, tumis, daging, sayur, atau ketupat.
Saya sendiri pernah mengalaminya. Saya disuruh oleh ibu saya mengirimkan makanan kepada guru ngaji (ustaz), tetangga dan kepada saudara. Saya dengan senang hati melakukannya. Kadang saya berpapasan dan saling menyapa dengan teman-teman yang juga disuruh oleh orang tuanya mengirimkan makanan.
Ketika saya mengucap salam atau mengetuk pintu, maka yang punya rumah pun membuka pintu dan mempersilakan masuk. Saya pun menyerahkan makanan, tetangga dengan senang hati menerimanya. Pemberian itu sebenarnya tidak harus dibalas dengan pemberian lagi karena niatnya murni untuk berbagi, tetapi memang biasanya sambil mengucapkan terima kasih dan sedikit berbasa-basi, rantang kosong itu oleh tetangga suka diisi kembali dengan makanan serupa atau jenis lainnya.
Pesan utamanya adalah saling berbagi, silih asaan (saling merasakan makanan buatan masing-masing). Jika pun pihak yang diberikan makanan tidak memiliki makanan untuk mengisi rantang kosong itu, maka dia sasadu (memohon maaf dengan sangat) belum bisa membalas pemberian tersebut. Dan biasanya di kemudian hari mengirimkan bingkisan atau makanan sebagai bentuk terima kasih.
Ada rasa kekeluargaan yang sangat kuat ketika saya mengirimkan makanan kepada tetangga atau sanak saudara. Di situ juga ada silaturahim. Sambil menuangkan makanan, tetangga biasanya bertanya tentang keluarga saya. Apa yang sedang dilakukan oleh orang tua saya di rumah? Masak apa untuk lebaran? Dan sebagainya. Makanan yang dikirimkan itu sebagai simbol kerukunan dan penyambung silaturahim antertetangga.
Kadang ditemukan hal yang lucu, dimana makanan yang pernah diberikan kepada seorang tetangga kembali lagi ke rumah saya ketika dapat kiriman dari tetangga yang lain, karena ada kalanya makanan-makanan itu bercampur dan "berkeliling" dari rumah ke rumah.
Tradisi mrkeun merupakan hal yang baik, tetapi sayangnya, seiring dengan perkembangan zaman, tradisi ini sudah semakin pudar bahkan bisa dikatakan hilang. Generasi muda sekarang sudah tidak mengenal tradisi tersebut. Mungkin saja tradisi ini masih ada tapi pada lingkup keluarga dekat saja.
Apakah hal ini sebagai akibat dari karakter manusia yang semakin individualistis dan semakin egois? Hanya memikirkan diri sendiri sehingga berdampak terhadap semakin tipisnya kepedulian, solidaritas, dan kekeluargaan diantara sesama manusia, khususnya dengan sesama tetangga. Persiapan lebaran begitu banyak, tapi hanya untuk kepuasan dan dinikmati sendiri. Kadang pada saat hari H, makanan, minuman, dan kue-kue itu hanya menjadi pajangan di atas meja, bahkan ada yang sampai apek karena sudah terlalu lama tidak dimakan.
Saat ini, kadang antar tetangga pun tidak saling mengenal. Di komplek-komplek perumahan mewah, pintu gerbang rumah tertutup rapat, sepi, hanya dijaga satpam, dan kadang memelihara anjing galak. Di dalam rumah hanya ada pembantu karena pemilik rumahnya kerja di luar kota. Di lingkungan urban pun, banyak pendatang, banyak kontrakan dengan gonta-ganti penghuni yang ada di rumah atau kontrakan hanya pada  saat malam hari saja, sehingga relasi sosial antarwarga masyarakat lemah dan tertutup.
Menurut saya, di tengah kondisi masyarakat yang semakin individualistis dan egois, tradisi mrkeun perlu dihidupkan kembali karena sangat baik dalam membangun karakter. Ada nilai silaturahim, kepedulian, solidaritas, kekeluargaan, dan kerukunan yang dapat ditanamkan kepada generasi muda. Selain itu, juga untuk melatih keberanian, kemampuan berkomunikasi dan bersosialisasi dengan sesama manusia. Dengan kata lain, tradisi mrkeun menjadi sarana pendidikan karakter berbasis masyarakat.