Selepas salat subuh, aku siap-siap pergi ke sawah. Kebetulan aku punya sepetak sawah peninggalan almarhum bapakku yang aku garap. Ibuku sudah menyiapkan teh hangat yang siap aku minum. Nasi sisa semalam pun sudah dihangatkan, lalu dibungkus daun pisang, dan siap-siap aku bawa untuk makan siangku. Taburan garam di atas nasi sudah menjadi menu spesialku.
Setelah sarapan, aku pun bergegas pergi ke sawah. Jaraknya sekitar dua kilometer rumahku. Ibuku yang sudah makin menua, berdiri di depan pintu. Aku pamit pergi ke sawah. Dia menatapku hingga aku tak lagi diihatnya. Bahu kiriku memanggul cangkul, dan kananku menjinjing parang. Tak ketinggalan dalam tasku kubawa sebungkus nasi dan minuman dalam botol.
Sepetak sawah warisan bapakku menjadi andalan untuk menyambung hidup bagi aku dan ibuku. Padi hasil tani tak kujual, tapi dipakai untuk makan sehari-sehari. Dalam setahun hanya dua kali masa tanam. Pada musim kemarau, sawah ditanami sayur-sayuran seperti kangkung, kacang panjang, tomat, terong atau jagung. Hasilnya aku jual ke tetangga atau bandar yang kebetulan datang ke kampung.
Bapakku meninggal lima tahun yang lalu, karena sakit. Sudah lama almarhum menderita penyakit asma. Dan saat itu, jiwanya tak tertolong, walau sudah di rawat di puskesmas. Jarak rumahku ke puskesmas lumayan jauh. Butuh waktu sekitar 30 menit untuk mencapai puskesmas yang ada di kota kecamatan.
Ketika bapakku masih hidup, penyakit asma yang dideritanya tak menyurutkan semangatnya dalam bekerja. Beliau memang sosok pekerja keras dan sangat kepada keluarganya. Aku ingat ketika kecil, aku sering ikut bapakku pergi ke sawah. Bapakku  bekerja, sedangkan Aku mencari belut yang keluar dari tanah dibajak. Walau demkian, Beliau mengajariku mencangkul dan membajak sawah. Beliau berpesan bahwa, jika suatu saat nanti Beliau meninggal, sawah ini harus diurus, jangan sampai dijual kepada siapapun.
"Kalau Bapak meninggal lebih dulu, uruslah sawah ini untuk bekal buat ibumu dan kamu, nak." Kalimat itu masih terngiang dalam telingaku. Oleh karenanya, aku tetap berjuang mengurus sawah ini walau hasilnya tidak seberapa. Saat musim tanam, harga pupuk mahal, sedangkan saat musim panen, harga gabah murah. Akibatnya, banyak petani yang rugi. Ini semacam ada permainan tengkulak yang ingin untung sendiri. Oleh karenanya, banyak petani yang akhirnya memilih menjual sawahnya kepada pengusaha untuk dijadikan pabrik dan perumahan, daripada bertani tapi terus merugi.
Dari hasil penjualan sawah, mereka pergi haji dan membeli kendaraan. Banyak yang lupa menjadikan uang tersebut untuk modal usaha. Akibatnya, ketika suatu saat uang mereka habis, mereka pun banyak yang jadi pengangguran. Anak dan cucu mereka akhirnya hanya menjadi buruh di pabrik yang berdiri di atas tanah bekas milik orang tuanya.
Ibuku memang tidak suka kemana-mana. Beliau hanya diam di rumah. Sesekali ia membuat sapu lidi yang akan dijual kepada orang lain. Lumayan untuk mencukupi kebutuhan hidup ibuku. Satu ikat dijualnya seharga lima ribu rupiah. Aku mengumpulkan daun kelapa dari pohon kelapa yang ditebang, lalu ibuku yang menjadikannya sapu lidi.
Tak terasa waktu terus bergulir. Sebulan lagi bulan Ramadan tiba. Ini adalah tahun kelima puasa tanpa kehadiran bapakku. Aku adalah anak tunggal dari hasil perkawinan ibu dan almarhum bapakku. Dan aku pun belum berumah tangga. Jadi, akulah yang bertangung jawab mengurus ibuku. Aku menunda berumah tangga karena aku merasa belum siap dengan biaya untuk pernikahan. Maklum, aku hanya seorang petani kecil dengan penghasilan yang tidak pasti, sedangkan biasanya di kampungku kalau ada pernikahan harus dirayakan dengan meriah. Usiaku mendekati 40 tahun. Aku berharap, aku suatu saat bisa menikah dan ibuku dapat menimbang cucu dariku.
Kalau bulan Ramadan, di kampungku selalu ramai dengan berbagai kegiatan keagamaan. Tua dan muda meramaikan masjid. Sehabis buka puasa, warga melaksanakan salat Isya dilanjutan dengan salat tarawih berjamaah. Begitupun setelah sahur, banyak warga, termasuk aku dan ibuku pergi ke masjid untuk salat subuh berjamaah.
Aku lahir dan hidup dari keluarga yang sederhana dan bersahaja. Oleh karenanya, kami menjalani bulan dengan penuh kesederhanaan. Pada saat lebaran pun, kami merayakannya dengan sederhana. Hidangan lebaran alakadarnya. Tak ada opor ayam dan ketupat di atas meja makan. Tak ada kue-kue lebaran. Kami bisa makan kue kalau kebetulan ada tetangga yang berbaik hati untuk memberi.
Satu hal yang aku impikan pada pada bulan Ramadan tahun ini. Aku bisa memberikan THR kepada ibuku. Aku ingin sekali membelikannya mukena baru untuk nanti dipakai salat ied. Terbayang, ibuku keluar rumah menuju masjid memakai mukena putih yang masih baru. Mukena yang aku beli dari hasil jerih payahku mengumpulkan uang.
Aku ingin sekali membahagiakan ibuku. Satu-satunya orang tua yang masih ada. Oleh karenanya, dari hasil aku bekerja mencangkul sawah orang lain, aku mencoba menyisihkan uang untuk membeli mukena bagi ibuku. Yang Aku tahu, sudah sekian tahun ibuku belum berganti mukena. Mukena yang dulunya berwarna putih, sudah mulai terlihat pudar dan tidak putih lagi.
Itu satu-satunya mukena yang dimilikinya. Walau demikian, tak menyurutkan semangatnya dalam beribadah. Di tengah sunyinya malam, aku suka melihat ibuku mengambil wudu dan salat malam. Beliau berdoa dengan penuh harap untuk keselamatan keluarga kami dan untuk kebahagiaan almarhum bapakku di alam kubur.
Ibuku memang begitu terpukul dan merasa kehilangan bapakku. Setelah bapakku wafat, Beliau lebih banyak menyendiri. Beliau bicara kalau aku tanya. Selebihnya, Beliau lebih banyak terdiam. Walau kondisi ekonomi kami sangat sederhana, tapi orang tuaku begitu bahagia, karena orang tuaku selalu bersyukur kepada Allah Swt. dan itulah yang mereka ajarkan padaku, bersyukur pada-Nya dalam setiap kondisi dan situasi. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H