Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

"Best Practice" dan Upaya Tularkan Virus Penjaminan Mutu di Sekolah

5 April 2018   05:30 Diperbarui: 6 April 2018   07:20 9118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Implementasi Sistem Penjaminan Mutu Internal (SPMI) di sekolah-sekolah yang ditunjuk menjadi sekolah model (sekmod) di Provinsi Jawa Barat ada yang telah memasuki tahun kedua dan dan tahun ketiga. Harapannya tentunya, mutu sekolah mengalami peningkatan secara bertahap dan berkelanjutan.

Di Provinsi Jawa Barat, program sekmod dilaksanakan sejak tahun 2016. Diawali dengan implementasi di 4 (empat) Kabupaten/Kota yang meliputi Kota Cimahi, Kota Bandung, Kab. Ciamis, dan Kab. Kuningan. Adapun yang menjadi sasarannya masing-masing terdiri dari 16 sekolah (8 SD, 4 SMP, 2 SMA, dan 2 SMK). Totalnya sebanyak 64 sekolah.

Pada tahun 2017, selain Kabupaten/Kota dan sekolah-sekolah yang menjadi sasaran sekmod pada tahun 2016, wilayahnya ditambah 23 Kabupaten/Kota ditambah menjadi 368 sekolah. Ditambah 8 sekolah yang pernah menjadi sasaran Program Peningkatan Mutu Sekolah (PAMS) yaitu Kabupaten Cianjur (6 sekolah) dan Kota Banjar (2 sekolah). Kalau jumlahnya digabung, maka sasaran tahun 2016 dan 2017, maka total sebanyak 440 sekmod.

Melalui sekmod, sekolah didorong untuk memenuhi mencapai 8 (delapan) SNP secara bertahap. Pada tahun pertama, sekolah memenuhi 4 (empat) Standar Nasional Pendidikan Nasional (SNP) yang berkaitan dengan akademik, seperti (1) Standar Kelulusan, (2) Standar Isi, (3) Standar Proses, dan (4) Standar Penilaian. 

Dan pada tahun-tahun berikutnya, sekolah didorong untuk memenuhi 4 (empat) SNP lainnya, yaitu (5) Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PTK), (6) Standar Pengelolaan, (7) Standar Sarana, dan Prasarana, dan (8) Standar Pembiayaan.

Pemenuhan mutu di sekolah memperhatikan indikator atau subindikator setiap standar pada rapot mutu sekolah. Indikator atau subindikator mana yang paling lemah, itulah yang perlu diprioritaskan pemenuhan mutunya. Misalnya pada standar proses, guru belum mampu memanfaatkan media dalam pembelajaran, maka sekolah menyusun rencana kegiatan pelatihan penggunaan media pembelajaran bagi guru.

Sekolah melakukan siklus SPMI yang diawali dari pemetaan mutu, penyusunan perencanaan pemenuhan mutu, pelaksanaan pemenuhan mutu, audit pemenuhan mutu, hingga penyusunan strategi pemenuhan mutu yang baru. Pemetaan mutu dilakukan dengan melakukan evaluasi diri sekolah (EDS), lalu hasilnya dianalisis dan disusun perencanaan pemenuhan mutu oleh TPMPS dengan meminta masukan dari warga sekolah.

Setelah rencana disusun, maka sekolah melaksanakan pemenuhan mutu dengan melibatkan warga sekolah dan para pemangku kepentingan (stakeholder). Untuk memastikan bahwa pelaksanaan pemenuhan mutu sesuai dengan yang diharapkan, maka perlu dilakukan monitoring dan evaluasi (monev) atau audit dengan menggunakan berbagai instrumen yang relevan. Dan ketika hasil monev atau audit sudah diketahui, maka ditindaklanjuti dengan menentukan strategi pemenuhan mutu yang baru.

Pada implementasi SPMI, sekolah dihadapkan pada berbagai tantangan dan hambatan. Tantangannya misalnya, pertama, belum terbentuknya kebutuhan akan mutu atau belum terbangunnya budaya mutu, sehingga masih banyak warga sekolah yang kurang peduli terhadap proses pelaksanaan peningkatan mutu. 

Urusan peningkatan mutu sekolah seolah menjadi tanggung jawab kepala sekolah dan TPMPS, sedangkan yang lainnya kurang peduli atau kurang mendukung. Kedua, TPMPS belum memahami langkah-langkah pelaksanaan SPMI, sehingga perlu mendapatkan pendampingan baik dari fasilitator daerah (fasda), pengawas, atau LPMP.

Adapun hambatannya antara lain, pertama, dukungan sumber daya dan sumber dana dalam pelaksanaan pemenuhan mutu, dan kedua, terbatasnya waktu yang dimiliki TPMPS, utamanya yang berasal dari guru mengingat mereka pun memiliki tugas pokok yaitu mengajar.

Dalam melakukan evaluasi implementasi SPMI, TPMPS melakukan identifikasi terhadap masalah yang dihadapi, penyebab munculnya masalah, dampak jika belum tercapai, alternatif solusi yang akan dilakukan, kapan pelaksanaannya, siapa penanggung jawabnya, dan apa produk yang dihasilkannya. Jika berdasarkan hasil evaluasi, program-program tahun sebelumnya belum tercapai, maka perlu dibuat strategi baru agar tujuan dari program tersebut bisa dicapai.

Pada dasarnya, implementasi SPMI di sekolah bukan hanya kaitannya dengan status sebuah sekolah sebagai sekmod, tetapi merupakan amanat dari Permendikbud Nomor 28 Tahun 2016 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Pendidikan Dasar dan Menengah. Setiap sekolah pada dasarnya wajib menjalankan SPMI dalam mencapai 8 SNP. 

Sekolah model hanya menjadi semacam sekolah binaan LPMP saja, yang ke depannnya diharapkan bisa menjadi contoh dan "menularkan" virus-virus penjaminan mutu kepada sekolah-sekolah imbas di sekitarnya sehingga semakin banyak sekolah yang menjalankan SPMI.

Salah satu upaya untuk "menularkan" virus penjaminan mutu pendidikan adalah melalui penyusunan praktik terbaik (best practice). Sekolah dapat menjelaskan kisah suksesnya dalam mengatasi berbagai persoalan yang dihadapinya sehingga mutu sekolah  meningkat. Hal ini tentunya tidak lepas dari kreativitas dan inovasi sekolah dalam menyelesaikan berbagai persoalan tersebut.

Best Practice tidak selalu identik dengan langkah yang besar dan "revolusioner" yang dilakukan oleh sekolah, tetapi bisa juga melalui sebuah langkah kecil, penerapan alternatif-alternatif pemecahan masalah yang sederhana, tetapi efektif dan dampaknya terasa oleh sekolah.

Karakter utama best practiceadalah tindakan-tindakan taktis dan praktis untuk mengatasi masalah yang dihadapi dalam mengatasi masalah. Misalnya, meningkatkan kedisiplinan warga sekolah melalui penerapan budaya malu, peningkatan kesadaran warga sekolah dalam memelihara kebersihan lingkungan sekolah melalui Gerakan Pungut Sampah, peningkatan kemampuan guru dalam menyusun administrasi pembelajaran dan mengelola pembelajaran melalui diskusi grup terfokus KKG sekolah, dan sebagainya.

Dalam konteks gerakan literasi, penulisan best practice mendorong pendidik dan tenaga kependidikan untuk menulis. Hal-hal baik yang telah dilakukannya bukan hanya sekedar dilakukan dan "menguap" begitu saja, tetapi dituliskan, terdokumentasikan dengan baik, dan dapat memberikan manfaat bagi yang lainnya.

Secara umum, kendala yang dihadapi oleh pendidik dan tenaga kependidikan adalah menulis. Banyak hal yang sebenarnya positif dan bermanfaat yang telah dilakukannya, tetapi belum dituliskan, sehingga kebermanfaatannya hanya untuk diri sendiri saja, kurang diketahui oleh orang lain.

Evaluasi sekmod dapat menjadi sarana refleksi bagi setiap sekmod standar mana yang pencapaiannya sudah baik dan standar mana yang belum tercapai dengan baik. Sarana untuk meningkatkan komitmen TPMPS dalam mengimplementasikan SPMI sehingga budaya mutu dapat terbangun dan terwujud di sekolah. Wallaahu a'lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun