MENJADI GURU JUARA DI HATI SISWA
Oleh:
IDRIS APANDI
(Widyaiswara Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan/LPMP Jawa Barat)
Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Sebagai guru profesional, guru harus memiliki 4 (empat) kompetensi, yaitu (1) kompetensi pedagogik, (2) kompetensi profesional, (3) kompetensi kepribadian, dan (4) kompetensi sosial.
Semua sudah mafhum bahwa guru adalah ujung tombak pembelajaran dikelas. Guru adalah pelaksana dan pengembang kurikulum, bahkan sebagai kurikulum itu sendiri, karena apa yang dikatakan dan dilakukan oleh guru akan dicontoh oleh siswanya. Dengan kata lain, guru harus menjadi role model atau mental model bagi para siswanya.
Di tengah semakin kompleksnya tantangan yang dihadapi oleh dunia pendidikan, maka peran guru semakin diharapkan mampu menjadi agen perubahan dan mampu mengantarkan siswa-siswanya menjadi manusia yang selain cerdas secara intelektual, juga cerdas secara moral, sosial, dan spiritual.
Sosok guru yang diharapkan oleh siswa saat ini selain profesional dan cakap, juga menjalankan multi peran, yaitu sebagai guru, sebagai orang tua, dan sebagai teman diskusi, serta menjadi pendengar yang baik ketika siswa menyampaikan keluhan atau harapan-harapannya.
Guru yang bersahabat, murah senyum, dan bijaksana biasanya akan menjadi guru pavorit siswa. Dulu, waktu saya sekolah, ada istilah guru killer, yaitu guru yang galak, serius, pelit senyum, dan pelit memberi nilai kepada siswa.
Para siswa biasanya takut dan malas kalau ada jadwal pelajaran guru yang bersangkutan. Tapi kalau pas ada guru pavoritnya, apalagi guru tersebut penjalasannya mudah dipahami, humoris, berpenampilan rapi, para siswa senang mengikuti pelajarannya sampai waktu pelajarannya habis pun tidak terasa, karena mereka begitu semangat dalam belajar.
Ketika mengajar, guru diharapkan tidak hanya mengandalkan satu metode tertentu, karena situasi dan kondisi yang berbeda, serta karakteristik siswa yang beragam. Guru bukan hanya mengajar dengan pendekatan indoktrinatif, top-down, tetapi juga melalui pendekatan humanistik. Mendidik dengan hati. Niat mendidik yang keluar hati auranya akan berbeda, baik dari raut muka, tatapan mata, bahasa tubuh, dan sebagainya. Dan yang merasakan tentunya para siswanya. Disitulah akan terjadi interaksi edukatif yang berkualitas dan bermakna antara guru dan siswa.
Guru yang mendidik dengan hati tentunya akan menjadi guru juara di hati para siswanya. Namanya akan selalu ada dalam hati mereka walau mereka telah lulus. Bahkan pada saat peringatan Hari Guru atau Hari Pendidikan Nasional, para lulusan mendatangi gurunya di almamaternya, atau menziarahi makamnya.
Dalam perspektif siswa, guru juara mungkin bukanlah guru yang rajin ikut lomba disana-sini, jadi juara di sana-sini, tetapi guru yang selalu hadir mendidik siswa, memberi contoh teladan, tanpa lelah membimbing dan membina mereka. Coba sesekali kepala sekolah, atau pengawas melakukan jejak pendapat siapa guru pavorit siswa.
Belum tentu  penilaian kepala sekolah atau pengawas sama dengan penilaian para siswa, karena penilaian siswa lebih kepada penilaian pada saat guru menyampaikan materi di kelas atau saat berinteraksi di sekolah. Guru yang enak cara mengajarnya dan ramah, itulah guru pavorit siswa. Sedangkan penilaian kinerja guru dari kepala sekolah dan pengawas dilihat dari berbagai dimensi atau komponen, baik administratif maupun cara mengajar.
Guru pun sesekali bisa mengedarkan semacam angket untuk meminta komentar atau saran dari siswa untuk peningkatan mutu atau perbaikan pembelajaran. Itulah ciri yang demokratis. Mau menerima saran atau kritik dari siswa. Tidak merasa cara mengajarnya sudah baik, dan siswa hanya sebagai objek bagi guru dalam menyampaikan materi pelajaran.
Guru juara bukanlah guru yang sering dapat piala, sertifikat, dan piagam. Bukan pula guru yang wara-wiri dipanggil kesana-kemari untuk ikut pelatihan atau jadi instruktur, tetapi guru yang mampu merebut perhatian siswanya sehingga mereka senang dan nyaman belajar bersamanya.
Guru juara adalah guru yang kehadirannya dinantikan dan ketikdakhadirannya dirindukan. Saya yakin pada dasarnya semua guru ingin menjadi guru juara, guru yang memberikan kesan positif kepada siswa.
Siswa harus dibuat "jatuh cinta" dulu terhadap cara mengajar guru agar mereka dapat dengan senang hati menerima pelajaran dari guru, apalagi siswa memiliki beragam cara belajar. Guru juara akan ditulis dalam tinta emas sejarah pendidikan yang dialami oleh siswa. Wallaahu a'lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H