Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pesan Kemanusiaan dari Tanjakan Haur Ngambang

16 Maret 2018   17:36 Diperbarui: 16 Maret 2018   18:08 677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

PESAN KEMANUSIAAN DARI TANJAKAN HAUR NGAMBANG

Oleh:

IDRIS APANDI

(Praktisi Pendidikan, Pemerhati Masalah Sosial)

 

Sore itu, sekitar pukul 17-an, sepulang kerja aku melintas tanjakan haur ngambang. Tanjakan tersebut berada di perbatasan antara Kabupaten Bandung Barat (Kecamatan Batujajar) dan Kota Cimahi (Kecamatan Leuwigajah). Walau kondisinya sangat curam dengan kemiringan sekitar 80 derajat dan cukup sempit dilalui jika ada dua kendaraan roda empat yang berpapasan, tetapi tanjakan tersebut memang suka dijadikan sebagai jalan alternatif para pengguna jalan yang ingin memotong jalan dan mempercepat waktu tempuh.

Aku kebetulan mengendarai sepeda motor dari arah Leuwigajah Cimahi menuju ke rumahku yang berada di daerah Cililin. Jadi posisiku menurun. Kupacu sepeda motorku dengan kecepatan rendah karena kondisi jalan yang menurun tajam membuat setiap pengendara memang harus hati-hati. Di pinggir sebelah kiri jalan ada plang peringatan bahwa setiap pengendara harus hati-hati dan menggunakan gigi rendah untuk mengantisipasi kecelakaan. Pengendara dari arah bawah pun harus memastikan kendaraannya layak jalan karena kondisi tanjakan yang sangat curam. Beberapa kali kulihat ada kendaraan yang mogok, tidak kuat naik dan terpaksa harus menurunkan muatan atau penumpang.

Dikala aku menuruni tanjakan, perhatianku beralih kepada seorang lelaki tua berbaju lusuh dan menggakan topi bundar, usianya mungkin sekitar 50-60 tahun yang sedang berjalan dengan memanggul karung yang berisi bantal. Mungkin dia adalah seorang pedagang keliling bantal yang suka berkeliling ke kampung-kampung. Aku pun berhenti dan mematikan mesin sepeda motorku ambil menatap lelaki tua itu. Dia terlihat sangat kepayahan berjalan menanjak sambil memanggul bantal. Sesekali dia berhenti, nafasnya tersengal-sengal sambil menyusut keringat di keningnya.

Dengan tubuh bergetar dia terlihat memaksakan diri berjalan sampai dia pun berpapasan dengaku. Walau telah melewatiku, mataku tetap dengan seksama melihatnya. Aku pun berbalik melihat dia dari belakang. Batinku bergejolak. Di satu sisi aku harus pulang dan waktu sudah sore, di satu sisi aku tidak tega melihat lelaki tua itu berjalan sempoyongan.

Akhirnya, sambil mengendarai sepeda motor, aku memutuskan untuk menyusulnya ke atas. Lalu aku pun berhenti di depannya. Aku memarkirkan motor dan menghampirinya. Lelaki tua itu tampak kaget ketika aku menghampirinya. Lalu dia pun berhenti. Aku bertanya padanya "Pak, bade kamana?(Pak, mau kemana)" Dia menjawab  dengan nafas masih tersengal-sengal. "mau kesana." Sambil mengarahkan jarinya ke atas menuju jalan Kerkoff.

"Kaki saya sakit", katanya. Sambil mengangkat celana sebelah kanan yang kumal, dan dengan jelas terlihat kakinya bengkak, seperti ada borok, dan penuh dikotori debu jalanan. Dalam hati aku bertanya, "berapa kilometer jarak yang dia tempuh dengan berjalan menawarkan barang dagangannya, sampai kakinya bengkak begitu?"

Aku menawarkan dirinya untuk beristirahat, tetapi dia tampaknya lebih memilih melanjutkan perjalanan. Aku sebenarnya ingin bertanya lebih lanjut padanya, karena batinku terenyuh melihat kondisinya yang memprihatinkan. Tapi kondisi tempat yang kurang memungkinkan, aku pun tak bertanya lagi. Kuambil dompetku dari belakang saku celana dan memberikan sedikit rezeki yang aku miliki untuknya. Kugenggamkan ke tangan kanannya yang juga sedang memegang pikulan barang dagangannya sambil berpesan jangan sampai jatuh. Dengan nada lirih, dia pun mengucapkan terima kasih atas kebaikanku. Lalu dia pun berjalan perlahan-lahan meninggalkanku. Aku tak segera pergi. Aku tetap memandangnya sambil akhirnya dia sampai ke ujung tanjakan dan tidak terlihat lagi.

Setelah itu, aku pun membalikkan sepeda motor dan melanjutkan perjalanan. Di sepanjang jalan, aku teringat almarhum ayahku yang telah wafat delapan bulan yang lalu yang usianya tidak jauh beda dengan lelaki tua itu. Sebagai kepala keluarga, lelaki tua mencari nafkah dengan menjual bantal ke kampung-kampung dari pagi sampai dengan sore hari. Kadang barang dagangannya bukan miliknya pribadi, tetapi milik bandar, dan dia mengambil upah dari keuntungan penjualan bantal.

Di rumahnya mungkin saja sudah menunggu anak dan istrinya yang tentunya berharap sang kepala keluarga membawa uang untuk dibelanjakan kebutuhan pokok. Korh-korh cok.Itulah sebuah pribahasa sunda yang menggambarkan perjuangan seorang kepala keluarga dalam mencari nafkah untuk menghidupi anak dan istrinya. Rezeki dicari sejak pagi, dan sore hari dibelikan makanan. Kadang harus gali lobang tutup lobang, pinjam ke sana kemari untuk menutupi kebutuhan hidup.

Aku pun berpikir, mengapa pembeli masih tega menawar dengan harga yang sangat murah, kadang 50% dari harga yang ditawarkannya? Menawar adalah hak pembeli, tetapi selain melihat kondisi barang dagangannya, tampaknya perlu juga melihat kondisi penjual barangnya. Kadang aku pun membeli bukan karena aku butuh tetapi terdorong oleh rasa kasihan kepada pedagang dan menghargai perjuangannya yang sudah berjalan jauh tetapi dagangannya belum juga laku. Ketika dagangannya ada yang membeli, tentunya dia akan senang, dan dia dapat membawa uang untuk anak istrinya.

Saat itu, sambil melamun, tak terasa sebentar lagi aku akan sampai ke rumahku. Aku pun membayangkan anak istriku sudah menunggu di depan pintu rumah sambil berharap membawa oleh-oleh dan hasil kerja selama beberapa hari di luar kota. Aku tak sabar mendengar suara anakku yang paling kecil, usianya belum mencapai dua tahun berlari dari dalam rumah lalu membuka pintu rumah ketika aku membuka pintu gerbang dan berteriak "abi-abi" dengan wajah ceria sambil menunggu aku pangku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun