Aku menawarkan dirinya untuk beristirahat, tetapi dia tampaknya lebih memilih melanjutkan perjalanan. Aku sebenarnya ingin bertanya lebih lanjut padanya, karena batinku terenyuh melihat kondisinya yang memprihatinkan. Tapi kondisi tempat yang kurang memungkinkan, aku pun tak bertanya lagi. Kuambil dompetku dari belakang saku celana dan memberikan sedikit rezeki yang aku miliki untuknya. Kugenggamkan ke tangan kanannya yang juga sedang memegang pikulan barang dagangannya sambil berpesan jangan sampai jatuh. Dengan nada lirih, dia pun mengucapkan terima kasih atas kebaikanku. Lalu dia pun berjalan perlahan-lahan meninggalkanku. Aku tak segera pergi. Aku tetap memandangnya sambil akhirnya dia sampai ke ujung tanjakan dan tidak terlihat lagi.
Setelah itu, aku pun membalikkan sepeda motor dan melanjutkan perjalanan. Di sepanjang jalan, aku teringat almarhum ayahku yang telah wafat delapan bulan yang lalu yang usianya tidak jauh beda dengan lelaki tua itu. Sebagai kepala keluarga, lelaki tua mencari nafkah dengan menjual bantal ke kampung-kampung dari pagi sampai dengan sore hari. Kadang barang dagangannya bukan miliknya pribadi, tetapi milik bandar, dan dia mengambil upah dari keuntungan penjualan bantal.
Di rumahnya mungkin saja sudah menunggu anak dan istrinya yang tentunya berharap sang kepala keluarga membawa uang untuk dibelanjakan kebutuhan pokok. Korh-korh cok.Itulah sebuah pribahasa sunda yang menggambarkan perjuangan seorang kepala keluarga dalam mencari nafkah untuk menghidupi anak dan istrinya. Rezeki dicari sejak pagi, dan sore hari dibelikan makanan. Kadang harus gali lobang tutup lobang, pinjam ke sana kemari untuk menutupi kebutuhan hidup.
Aku pun berpikir, mengapa pembeli masih tega menawar dengan harga yang sangat murah, kadang 50% dari harga yang ditawarkannya? Menawar adalah hak pembeli, tetapi selain melihat kondisi barang dagangannya, tampaknya perlu juga melihat kondisi penjual barangnya. Kadang aku pun membeli bukan karena aku butuh tetapi terdorong oleh rasa kasihan kepada pedagang dan menghargai perjuangannya yang sudah berjalan jauh tetapi dagangannya belum juga laku. Ketika dagangannya ada yang membeli, tentunya dia akan senang, dan dia dapat membawa uang untuk anak istrinya.
Saat itu, sambil melamun, tak terasa sebentar lagi aku akan sampai ke rumahku. Aku pun membayangkan anak istriku sudah menunggu di depan pintu rumah sambil berharap membawa oleh-oleh dan hasil kerja selama beberapa hari di luar kota. Aku tak sabar mendengar suara anakku yang paling kecil, usianya belum mencapai dua tahun berlari dari dalam rumah lalu membuka pintu rumah ketika aku membuka pintu gerbang dan berteriak "abi-abi" dengan wajah ceria sambil menunggu aku pangku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H