Tahun 2018 Â merupakan tahun politik, atau juga bisa disebut tahun pemanasan menjelang puncaknya tahun 2019. Pada tahun ini dilaksanakan Pilkada serentak. Sebanyak 171 provinsi, kabupaten dan kota akan menyelenggarakan Pilkada. Dari 171 daerah tersebut, rinciannya ada 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten. Adapun pemungutan suara dilaksanakan serentak pada tanggal 27 Juni 2018.
Tanggal 8 s.d. 10 Januari 2018 tahapan Pilkada serentak memasuki tahap pendaftaran calon kepala daeeah/ wakil kepala daerah. Ada pasangan yang sudah mendaftar, tapi ada pula yang masih wait and see,belum mendaftar, bahkan ada yang belum memiliki calon wakil, seperti yang terjadi pada salah satu cagub Jawa Timur Saifullah Yusuf yang belum memiliki Cawagub, karena bakal Cawagubnya, Abdullah Azwar Anas mengundurkan diri jelang penetapan pasangan calon oleh partai pengusungnya.Â
Ada pula Cagub Jawa Tengah Sudirman Said yang sampai saat ini juga belum memiliki cawagub. Detik-detik menjelang waktu pendaftaran ditutup, biasanya terjadi "kawin paksa" dimana partai-partai pengusung cagub dan cawagub pada akhirnya bersepakat menetapkan pasangan calon kepala dan wakil kepala daerah.
Ketika nanti KPU sudah menetapkan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah tanggal 12 Februari 2018 dan pengundian nomor urut tanggal 13 Februari 2018, maka dilanjutkan dengan masa kampanye dari tanggal 15 Februari s.d. 23 Juni 2018. Pada masa kampanye, tentunya masing-masing pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah akan memaparkan visi dan misi, serta berupaya meraih simpati calon pemilih, yang puncaknya diharapkan memilihnya pada tanggal 27 Juni 2018.
Riuh rendah pilkada 2018 sebenarnya sudah ramai sejak tahun 2017. Orang-orang yang berminat menjadi kepala daerah mendeklarasikan dan menyosialisasikan dirinya maju di pilkada. Jalanan banyak dihiasi oleh baligo dan spanduk tokoh-tokoh yang akan maju dalam pilkada. Partai-partai politik pun mencari, mendekati, menyeleksi figur-figur yang dianggapnya layak dan mampu bersaing di pilkada. Selain itu, ada pula yang figur yang memilih maju secara indepeden.
Hitung-hitungan menang-kalah sangat diperhatikan oleh partai-partai. Oleh karena itu, tidak heran proses penetapan pasangan yang akan diajukan di Pilkada begitu alot. Intinya, pasangan yang ditetapkan diharapkan merupakan representasi basis pendukung, seperti pedesaan, perkotaan, islam tradisional, pesantren, islam abangan, pengusaha, budayawan, dan sebagainya.
Pemilih Literat
Seiring dengan semakin dekatnya puncak pilkada serentak 2018, maka calon pemilih harus literat terhadap calon-calon pasangan yang maju di pilkada. Jangan sampai  ibarat membeli kucing dalam karung. Calon pemilih harus mencari track record dari masing-masing calon. Di era teknologi canggih seperti saat ini, begitu mudah menelusuri jejak seorang calon kepala daerah. Tinggal menggunakan alat pencari di internet, maka profil orang yang dicari akan muncul.
Walau demikian, para  calon pemilih pun harus hati-hati dengan berita HOAX dan bernuansa SARA yang diperkirakan akan banyak bermunculan. Isinya bisa kampanye hitam atau fitnah yang berupaya membunuh karakter sang kandidat. Sebelum pilkada berlangsung, kampanye hitam sudah memakan korban. Bakal Cawagub Jatim Abdullah Azwar Anas mengundurkan diri setelah di media sosial (medsos) beredar foto yang mirip dirinya bersama seorang perempuan dan ada whine di dekatnya.
Medsos memang kadang sangat kejam. Dalam hitungan detik, sebuah HOAX atau berita negatif dengan sangat mudah tersebar. Dan jika sebuah informasi sudah menyebar di medsos, sangan sulit untuk dikendalikan. Dapat menyebar dari satu perangkat ke perangkat yang lainnnya. Oleh karena itu, seorang politisi mengingatkan tentang bahaya "jejak digital foto di internet", karena hal tersebut dapat dijadikan untuk membunuh karakter seseorang.
Di Pilgub Jabar pun, berita-berita bernuansa SARA sudah banyak bermunculan, seperti ada cagub yang dituding pro LGBT, ada cawagub yang dituding musyrik, pasangan cagub dan cawagub yang partainya dituding sebagai penista agama Islam dan pelindung ormas preman. Hal-hal seperti ini yang sangat rawan memicu konflik antarpendukung yang tentunya akan mengganggu kondusivitas suasana pilkada. Mengutip pernyataan Anies Baswedan, pilkada perlu dijadikan sebagai festival gagasan bukan untuk ajang perpecahan.
Seorang pemilih literat adalah pemilih yang cerdas, pemilih yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, tidak mudah percaya terhadap sebuah berita, selalu cek dan ricek kebenarannya, dan tidak mudah juga menyebarkan berita-berita HOAX serta beruansa SARA, sehingga pada waktunya dapat memilih secara mantap calon yang didukungnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H