Dedi Mulyadi, Ketua DPD partai Golkar Provinsi Jawa Barat menyatakan dirinya pernah dihubungi oleh seseorang yang mengaku dekat dengan Ketua DPP Golkar Setya Novanto agar dirinya mengeluarkan uang 10 milyar sebagai mahar untuk terbitnya surat rekomendasi sebagai calon gubernur Jawa Barat periode 2018-2023. Pernyataan tersebut muncul setelah beredarnya surat rekomendasi DPP partai Golkar yang mendukung Ridwan Kamil sebagai Calon Gubernur Jabar Barat. Sekretaris Jenderal partai Golkar Idrus Marham kemudian mengklarifikasi bahwa surat tersebut bodong, karena tidak diberi nomor dan tidak tidak ditandatangani ketua DPP Partai Golkar Setya Novanto.
Walau pun bodong, tetapi surat tersebut tak pelak membuat publik bertanya-tanya mengapa Dedi Mulyadi yang dinilai telah banyak berkeringat membersarkan partai Golkar di Jawa Barat belum juga dilirik oleh DPP Partai Golkar sebagai calon gubernur Jawa Barat, tetapi justru menimbang-nimbang mendukung Ridwan Kamil, calon yang sebelumnya telah diusung oleh partai Nasdem dan didukung oleh Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Konstelasi politik memang sangat dinamis, mengalir, dalam hitungan menit bisa berubah, tergantung hasil survey, tergantung kepentingan, dan tergantung realitas politik, sehingga kadang keputusan partai politik dalam mengusung dan mendukung seorang calon kepala daerah disampaikan pada menit-menit akhir. Pertimbangannya adalah calon tersebut berpeluang menang atau tidak?
Kalau memang pengakuan Kang Dedi tersebut benar adanya, maka hal ini sangat mengerikan, semakin membuka tabir "mahar politik" dalam proses pencalonan kepala daerah, meskipun beberapa partai politik menampiknya, dimana partainya tidak meminta mahuar politik kepada pihak yang diusung atau didukung oleh partainya. Â Ridwan Kamil sendiri mengakui bahwa dirinya tidak diminta mahar politik oleh partai Nasdem.
Melihat adanya dua pengakuan yang berbeda tersebut, maka urusan mahar politik mungkin tergantung kepada kebijakan masing-masing partai. Ada yang meminta dan ada yang tidak meminta. Tapi, ada prihasa yang mengatakan bahwa "tidak akan makan siang yang gratis". Walau tidak meminta mahar, tentunya partai politik telah melakukan deal-deal tertentu dengan sosok yang diusung atau didukungnya. Semuanya pasti ada syaratnya.
Adanya "mahar" dalam kontestasi politik didaerah menunjukkan buramnya wajah partai politik. Partai politik hanya bertindak sebagai "penjual tiket" jabatan kepala daerah. Kadang orang yang bukan kader partai, tapi dia popular dan memiliki "gizi" yang banyak didukung partai. Tidak perlu berkeringat ikut membesarkan partai. Inilah pragmatisme yang terjadi di kalangan partai politik.
Mungkin ada argumen yang menyatakan bahwa walau bukan kader partai politik, tapi kalau sosok potensial mengapa tidak didukung? Hal itu mungkin ada benarnya, tetapi hal ini pun sekaligus menunjukkan kegagalan partai politik dalam melahirkan calon pemimpin yang berkualitas. Hanya menonjolkan popularitas dan elektabilitas calon. Tidak terlalu peduli apakah visi sosok yang didukungnya cocok dengan visi partai atau tidak.
Berdasarkan kepada hal tersebut, maka tidak heran jika terjadi fenomena politisi "karbitan" atau politisi "loncat pagar". Dimana ada parpol yang menguntungkan dia akan berada di dalamnya. Ketika ada dalam sebuah partai, dia akan memuji-muji, membangga-banggakan, dan membela ketua umumnya, tetapi ketika tidak sepaham, yang bersangkutan pindah partai, maka dia pun balik menyerang dan mengkritisi sosok yang dulu dia puji, benggakan, dan bela tersebut.
Adanya pengakuan Kang Dedi memperlihatkan bahwa mahar politik bukan hantu tapi nyata di tengah kerasnya persaingan pilkada. Politik transaksional masih dan akan terus terjadi sepanjang pola pikir partai politik sebagai penjual "tiket" kekuasaan digunakan oleh para pengurusnya. Oleh karena itu, mengingat biaya politik yang sangat mahal, tidak heran banyak kepala daerah yang pasca terpilih berpikir meningkatkan  kesejahteraan rakyat, tetapi berpikir bagaimana caranya balik modal.
Mereka pun tersandera oleh tim-tim sukses dan pengusaha yang telah membiayai dan menyeponsori pencalonannya. Akibatnya, banyak kepala daerah yang bermasalah dengan hukum dan terjerat OTT KPK. Selain kepala daerah, yang terkena OTT KPK biasanya adalah pejabat/ kepala dinas, dan pengusaha, terkait dengan izin proyek atau audit sebuah program. Mahar politik plus keserakahan kepala daerah menyebabkan praktek demokrasi diwarnai korupsi yang telah mencederai cita-cita reformasi.
Jangan sampai figur-figur potensial calon pemimpin kalah oleh kejamnya politik  transaksional. Pilgub Jawa Barat sebagai salah satu provinsi dengan jumlah pemilih paling banyak, dan sebagai salah satu barometer politik nasional diharapkan menjadi ajang untuk konstestasi ide untuk membangun Jawa Barat semakin maju, semakin beradab, dan semakin bermartabat. Dan tentunya proses awalnya pun harus beradab dan bermartabat. Biarkanlah muncul banyak pilihan calon pemimpin agar warga Jawa Barat dapat memilih mana figur pemimpin yang paling tepat untuk memimpin Jawa Barat  lima tahun ke depan.