Isu pelanggaran HAM berat oleh negara terus disebar, bahkan sampai dimunculkan ke pengadilan HAM internasional. Tujuannya yaitu untuk meminta keadilan dan membela hak-hak kelompok yang menamakan dirinya sebagai korban, negara meminta maaf, merehabilitasi namanya, serta memberikan kompensasi kepada mereka.
Melalui berbagai acara dan kegiatan, mereka terus menyuarakan gerakan-gerakan mereka. Target utamanya adalah negara membatalkan Tap MPRS No. 66 tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI). Jika Tap MPRS tersebut dicabut, maka ideologi komunis tidak mustahil untuk bangkit. Dan ini yang banyak dikhawatirkan oleh banyak pihak yang anti PKI. PKI yang notabene atheis, alias anti Tuhan, menganggap agama sebagai candu, tentunya bertentangan dengan Pancasila dimana sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.
Setelah sekian lama dihentikan, tahun ini Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo memerintahkan seluruh anak buahnya untuk nonton bareng (nobar) film G-30 S/PKI bersama dengan masyarakat. Hal ini mengundang reaksi pro dan kontra. Pihak yang pro mengatakan bahwa pemutaran film tersebut penting untuk mengingatkan bahaya laten PKI, sedangkan pihak yang kontra menyampaikan beragam alasan penolakan. Antara lain akan membuka kembali luka bangsa, akan mengganggu proses rekonsiliasi yang selama ini diupayakan, film tersebut banyak rekayasa, ada adegan-adegan yang tidak sesuai, isu munculnya kembali PKI sudah usang karena komunisme telah bangkrut di berbagai belahan dunia, dan film tersebut tidak layak ditonton oleh anak-anak.
Seorang politisi juga menyatakan ketika panglima TNI memerintahkan anak buahnya menonton film G-30 S/PKI, maka dia telah berpolitik. Menanggapi hal tersebut, di sebuah acaa dialog yang diselenggarakan oleh sebuah stasiun TV swasta, cukup menjawab "emang gue pikirin." TNI sudah tahu terhadap kondisi saat ini yang rawan terhadap bangkitnya kembali faham komunis.
Literasi
Bahaya PKI memang harus disampaikan kepada semua anak bangsa. Jangan sampai sejarah kelam kekejaman PKI terulang. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui literasi. Secara sederhana literasi diartikan sebagai keberaksaraan, yaitu mampu membaca dan menulis. Masyarakat disuguhi bacaan-bacaan yang menceritakan kekejaman PKI dimasa lalu, tentunya berdasarkan fakta yang sebenarnya terjadi. Para pelaku atau saksi sejarah kekejaman PKI pun perlu menulis tentang PKI, menyampaikan data atau fakta baru yang mungkin belum diketahui oleh masyarakat.
Peneliti LIPI, Hermawan Sulistyo, pada sebuah dialog di sebuah stasiun TV tanggal 22 September 2017 menyatakan bahwa selama 20 tahun meneliti dokumen-dokumen tentang peristiwa 30 September 1965 tidak ada lagi fakta-fakta baru, tetapi yang muncul adalah tafsir-tafsir baru.
Usulan presiden Jokowi tentang perlunya dibuat film PKI yang sesuai dengan generasi millennial perlu dikaji. Para pelaku sejarah, saksi sejarah, peneliti, sejarawan perlu duduk bersama untuk "meluruskan" sejarah yang selama dinilai sedikit dibelokkan pada masa orde baru.
Tentunya hal tersebut bukan hal mudah, karena dua pihak yang bertentangan akan menyampaikan infomasi, data, dan fakta sesuai dengan kepentingannya masing-masing, kecuali jika pihak yang pro dan kontra memiliki semangat rekonsiliasi tanpa syarat. Walau dibuat dengan versi kekinian, saya berpendapat bahwa film tersebut tetap harus menggambarkan bahaya laten komunis yang bertentangan dengan ideologi Pancasila. Dan Presiden Jokowi pun pernah menyampaikan bahwa kalau PKI muncul kembali, maka akan "digebuk."
Selain membaca berbagai bacaan tentang kekejaman PKI di masa lalu, masyarakat pun perlu dididik untuk kritis menerima informasi yang berkaitan dengan PKI di Indonesia, karena ditengah era media sosial saat ini, Â berita-berita hoax dapat dengan cepat beredar.
Pemerintah, organisasi masyarakat, dan lembaga pendidikan pun alangkah baiknya melakukan sosialisasi dan seminar tentang bahaya laten komunis dalam rangka memperkokoh pemahaman terhadap ideologi Pancasila dan menyelenggarakan acara menulis tentang bahaya komunisme dalam rangka memperkuat ketahanan  nasional.