Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Blunder Pendidikan Gratis

7 Juli 2017   19:08 Diperbarui: 8 Juli 2017   11:58 737
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh:

IDRIS APANDI

(Praktisi Pendidikan)

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendi mengatakan bahwa sekolah tidak boleh gratis. Sekolah gratis hanya bagi yang miskin sedangkan kalangan yang mampu dihimbau berpartisipasi dalam pembiayaan pendidikan. Mungkin Mendikbud ingin agar pembiayaan pendidikan bukan hanya menjadi beban negara atau pemerintah tetapi juga ada partisipasi dari kalangan yang mampu secara ekonomi.

Pendidikan gratis pada jenjang pendidikan dasar (SD dan  SMP) adalah amanat konstitusi. Biayanya wajib disediakan oleh negara. Pemerintah pusat dan pemerintah wajib menganggarkan minimal 20% dari APBN dan APBD. Lalu muncullah kebijakan Dana Operasional Sekolah (BOS) untuk membiayai operasional sekolah. Sekolah harus membiayai operasional sekolah dari dana BOS yang kadang suka telat cairnya sehingga sekolah mencari dana talangan sana-sini nanti dibayar setelah dana BOS cair.

Saat ini, pada kenyataannya anggaran 20% bukan hanya untuk operasional pendidikan, tetapi disitu juga termasuk gaji guru. Padahal amanat dari konstitusi, anggaran minimal 20% itu hanya untuk operasional semata. Dengan kata lain, pemerintah pun belum mampu memenuhi amanat konstitusi.

Adanya sekolah gratis, partisipasi orang tua dalam pembiayaan terutama di sekolah negeri hampit tidak ada, walau secara normatif, sekolah boleh menerima sumbangan dari orang tua dan pihak lain. Apalagi sekarang, dengan adanya saber pungli, sekolah takut memungut atau meminta sumbangan kepada orang tua siswa karena takut disebut pungli, bahkan pungutan untuk acara keagamaan pun dikategorikan pungli.

Sekolah gratis kadang menjadi janji manis pada saat kampanye. Mulai dari calon presiden, gubernur, sampai dengan bupati/walikota menjanjikan sekolah gratis untuk meraih simpati calon pemilih walau kadang belum dapat direalisasikan karena hal ini terkait anggaran dan tawar menawar antara eksekutif dan legislatif.

Saat ini dengan adanya Kartu Indonesia Pintar (KIP) masyarakat miskin terbantu, tapi kadang penggunaannya tidak tepat sasaran. Dana yang harusnya untuk biaya pendidikan, kenyataannya digunakan oleh orang tua untuk kepentingan lain. Dan kadang sekolah kerepotan didatangi orang tua yang menanyakan kapan dana KIP akan cair. Bukan menanyakan bagaimana prestasi atau akhlak anaknya di sekolah.

Dengan sekolah gratis, selain mengandalkan dana dari pemerintah, sekolah harus berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan sekolah. Lalu muncullah konsep kewirausahaan sebagai salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh Kepala Sekolah. tujuannya bagus, agar sekolah menjadi mandiri, berkembang, menjalin hubungan dengan pihak lain, tetapi dalam kenyataannya bukan hal yang mudah.

Pihak luar atau dunia usaha tidak sekonyong-konyong mau membantu sekolah kalau tidak ada simbiosis mutualisme atau saling menguntungkan antara kedua belah pihak, kecuali ada badan usaha yang memberikan dana Corporate Social Responsbility(CSR), dan itu pun informasinya terbatas. Sangat tergantung kelincahan kepala sekolah dalam mengajukan proposal plus ekspose media jika ada sekolah yang sarananya rusak dan memerlukan bantuan.

Muhadjir Effendi dalam sebuah kesempatan mengatakan bahwa Kepala Sekolah tidak perlu mengajar. Cukup jadi manajer sekolah mencari uang yang banyak untuk memajukan sekolah? pertanyaannya mencari uang dari mana? Ketika ruang gerak bagi kepala sekolah utamanya kepala SD dan SMP sangat terbatas, hanya mengandalkan dana BOS dan sumbangan-sumbangan, itu kalau ada. Oleh karena itu, kepala sekolah banyak mengaku pusing dan memeras otak bagaimana caranya agar operasional sekolah dapat berjalan dan honor guru honorer dapat terbayar.

Sekolah gratis menjadi blunder mana kala hanya dijadikan sebagai alat kampanye politik tanpa ditunjang oleh ketersediaan anggaran dan political willbaik daripemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang pada hakikatnya memberikan otonomi kepada sekolah untuk mengelola sendiri sekolah sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan sekolahnya, termasuk dalam pendanaan pendidikan bisa dikatakan mati suri, karena ibaratnya di satu sisi kepalanya dipegang, sedangkan ekornya tetap dipegang.

Intinya, sekolah gratis adalah amanat konstitusi yang dijalankan oleh pemerintah tanpa menutup partisipasi dari oran tua atau dunia usaha. Kepedulian orang tua dan dunia usaha harus terus dibangun, jangan terlena dengan istilah sekolah gratis. Adil bukan berarti harus sama rata dan sama rasa, tetapi proporsional. Pihak yang mampu menyubsidi pihak yang kurang mampu. Walau demikian, partisipasi dari orang tua jangan dipaksakan dan jangan menyeret komersialisasi dan liberasi pendidikan, karena hal tersebut akan keluar dari tujuan pendidikan itu sendiri untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun