Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan Karakter dalam Tantangan Erosi Karakter Orang Dewasa

7 Juli 2017   16:41 Diperbarui: 7 Juli 2017   16:52 747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

PENDIDIKAN KARAKTER DALAM TANTANGAN EROSI KARAKTER ORANG DEWASA

Oleh:

IDRIS APANDI

(Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Masalah Sosial)

Saat ini penguatan pendidikan karakter menjadi salah satu program pemerintah dalam rangka mewujudkan Nawacita yang menjadi visi presiden Joko Widodo. Hal ini dianggap sebagai hal yang mendesak karena bangsa Indonesia mengalami krisis karakter.

Melalui Permendikbud Nomor 23 tahun 2015 maka dicanangkanlah gerakan penumbuhan budi pekerti kepada siswa mulai SD, SMP, sampai dengan SMA/SMK. Berbagai program pun dilakukan, baik dalam kegiatan intrakurikuler maupun ekstrakurikuler. Bahkan pramuka dijadikan sebagai kegiatan ekstrakurikuler wajib untuk membangun karakter siswa.

Ditengah semangat menguatkan karakter siswa, ada tantangan yang harus dihadapi, yaitu erosi etika dikalangan orang dewasa. Adalah benar pendidikan diberikan kepada anak-anak atau siswa karena mereka sebagai sosok yang masih bersih, kepribadiannya masih relatif mudah dibentuk, masih mudah diarahkan dan dibimbing, belum terkontaminasi karakter yang tidak baik, tapi justru orang-orang dewasa banyak yang memberikan contoh yang kurang baik kepada anak-anak.

Di angkutan umum banyak orang dewasa, khususnya laki-laki yang merokok seenaknya, membuang sampah sembarangan, di jalan raya melanggar rambu-rambu lalu lintas, mengucapkan kata-kata kasar, baik secara langsung maupun melalui media sosial. Belum lagi kasus korupsi, penyalahgunaan narkotika, seks bebas, tawuran, dan sebagainya banyak yang melibatkan orang dewasa dan remaja. Hal ini menunjukkan bahwa erosi karakter justru dialami oleh orang-orang dewasa.

Bahkan beberapa hari yang lalu seorang ibu menampar petugas bandara Sam Ratulangi Manado dihadapan anaknya sendiri, dan justru sang ibu dilerai oleh anaknya tersebut. Hal itu tentunya menjadi preseden buruk dimana orang dewasa mempertontonkan amarahnya, emosi, dan arogansi dihadapan anaknya sendiri.

Bukankah orang tua atau orang dewasa yang justru seharusnya memiliki kematangan emosi yang lebih stabil dibandingkan dengan anak-anak? Bukankah orang tua atau orang dewasa yang harus menjadi contoh teladan bagi orang muda? Bukankah anak adalah peniru yang ulung dari perlaku orang tua? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang perlu menjadi renungan dan dijawab oleh orang dewasa.

Pendidikan karakter diberikan kepada anak-anak atau siswa karena sebagai langkah antisipatif dan diangggap lebih mudah dibandingkan dengan mendidik dan mengingatkan orang dewasa yang kalau orang Sunda bilang sudah "adat kakurung ku iga"alias sulit diperbaiki atau diiubah. Ibarat bambu yang masih muda, anak-anak lebih mudah diluruskan atau dibentuk jadi apa saja dibandingkan dengan bambu yang sudah tua, keras, dan bengkok, karena kalaupun dipaksakan akan patah.

Walau demikian, mendidik, mengingatkan orang dewasa untuk memperbaiki karakternya bukan berarti hal yang tidak mungkin dilakukan. Hal tersebut bisa saja dilakukan, tetapi tentunya melalui cara atau metode yang berbeda. Kalau anak-anak atau siswa menggunakan metode pedagogik, dilakukan di lembaga-lembaga pendidikan, keluarga, dan masyarakat, sedangkan kalau orang dewasa menggunakan metode andragogik, lebih kepada pendekatan persuasif, kecuali negara yang bisa memaksa orang dewasa untuk menaati aturan melalui penegakkan hukum.

Orang dewasa tidak mau digurui, didikte, apalagi dipermalukan di depan umum. Niat baik untuk mengingatkan bisa menjadi masalah, berbalik jadi konflik, kalau disampaikan dengan cara atau momentum yang kurang tepat. Oleh karena itu, mengingatkan orang dewasa perlu dilakukan secara hati-hati, apalagi kalau yang mengingatkannya usiannya lebih muda, pendidikan dan pengalamannya lebih rendah, egonya biasanya akan muncul.

Kalau program penguatan pendidikan karakter ingin berhasil, perlu ada kerjasama semua pihak. Bukan hanya kalangan pendidik saja yang harus bergerak, tetapi orang dewasa termasuk orang tua, pemimpin, tokoh masyarakat, dan warga masyarakat pada umumnya harus ikut bergerak dan memberikan contoh yang baik. Bukan hanya sekedar menyalahkan dan menghami anak dan remaja ketika berbuat tidak baik.

Kadang suka muncul ucapan atau keluhan bahwa anak sekarang sulit diatur, nakal, tidak hormat pada orang tua dan guru. Di satu sisi mungkin ada benarnya, tetapi para orang dewasa mari semua melakukan introspeksi jangan-jangan perilaku mereka adalah buah dari mencontoh orang dewasa, dan tentunya pengaruh buruk tayangan media yang notabene dibuat juga oleh orang dewasa. Mari perbaiki dan tingkatkan kualitas akhlak orang dewasa, dan utamanya berikan teladan sebagai salah satu bentuk ikhtiar melakukan penguatan pendidikan karakter kepada anak-anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun