PENDIDIKAN KARAKTER DALAM TANTANGAN EROSI KARAKTER ORANG DEWASA
Oleh:
IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan dan Pemerhati Masalah Sosial)
Saat ini penguatan pendidikan karakter menjadi salah satu program pemerintah dalam rangka mewujudkan Nawacita yang menjadi visi presiden Joko Widodo. Hal ini dianggap sebagai hal yang mendesak karena bangsa Indonesia mengalami krisis karakter.
Melalui Permendikbud Nomor 23 tahun 2015 maka dicanangkanlah gerakan penumbuhan budi pekerti kepada siswa mulai SD, SMP, sampai dengan SMA/SMK. Berbagai program pun dilakukan, baik dalam kegiatan intrakurikuler maupun ekstrakurikuler. Bahkan pramuka dijadikan sebagai kegiatan ekstrakurikuler wajib untuk membangun karakter siswa.
Ditengah semangat menguatkan karakter siswa, ada tantangan yang harus dihadapi, yaitu erosi etika dikalangan orang dewasa. Adalah benar pendidikan diberikan kepada anak-anak atau siswa karena mereka sebagai sosok yang masih bersih, kepribadiannya masih relatif mudah dibentuk, masih mudah diarahkan dan dibimbing, belum terkontaminasi karakter yang tidak baik, tapi justru orang-orang dewasa banyak yang memberikan contoh yang kurang baik kepada anak-anak.
Di angkutan umum banyak orang dewasa, khususnya laki-laki yang merokok seenaknya, membuang sampah sembarangan, di jalan raya melanggar rambu-rambu lalu lintas, mengucapkan kata-kata kasar, baik secara langsung maupun melalui media sosial. Belum lagi kasus korupsi, penyalahgunaan narkotika, seks bebas, tawuran, dan sebagainya banyak yang melibatkan orang dewasa dan remaja. Hal ini menunjukkan bahwa erosi karakter justru dialami oleh orang-orang dewasa.
Bahkan beberapa hari yang lalu seorang ibu menampar petugas bandara Sam Ratulangi Manado dihadapan anaknya sendiri, dan justru sang ibu dilerai oleh anaknya tersebut. Hal itu tentunya menjadi preseden buruk dimana orang dewasa mempertontonkan amarahnya, emosi, dan arogansi dihadapan anaknya sendiri.
Bukankah orang tua atau orang dewasa yang justru seharusnya memiliki kematangan emosi yang lebih stabil dibandingkan dengan anak-anak? Bukankah orang tua atau orang dewasa yang harus menjadi contoh teladan bagi orang muda? Bukankah anak adalah peniru yang ulung dari perlaku orang tua? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang perlu menjadi renungan dan dijawab oleh orang dewasa.
Pendidikan karakter diberikan kepada anak-anak atau siswa karena sebagai langkah antisipatif dan diangggap lebih mudah dibandingkan dengan mendidik dan mengingatkan orang dewasa yang kalau orang Sunda bilang sudah "adat kakurung ku iga"alias sulit diperbaiki atau diiubah. Ibarat bambu yang masih muda, anak-anak lebih mudah diluruskan atau dibentuk jadi apa saja dibandingkan dengan bambu yang sudah tua, keras, dan bengkok, karena kalaupun dipaksakan akan patah.