Pada saat perayaan idul fitri, dalam sebuah iklan layanan masyarakat, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH. Ma'ruf Amin menyampaikan bahwa pelaksanaan ibadah puasa selama sebulan diharapkan berdampak terhadap peningkatan kualitas pribadi umat Islam, baik dalam hubungan dengan Allah (hablumminallaah) maupun hubungan dengan sesama manusia (hablumminannaas).
Dua dimensi hubungan tersebut di atas harus berjalan seiring sejalan. Peningkatan hubungan dengan Sang Khaliq dilakukan dengan semakin meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah ritual seperti salat baik salat wajib maupun salat sunnat, berdoa, berzikir, membaca al-quran, menimba ilmu di majelis taklim, dan sebagainya.
Peningkatan hubungan dengan sesama manusia dilakukan dengan semakin meningkatan kualitas akhlak, semakin meningkatkan silaturahmi dengan sesama, semakin peduli terhadap kaum yang susah, semakin rajin bersedekah, semakin rajin menyantuni anak yatim, menjaga sikap, perkataan, dan perbuatan agar tidak menyinggung perasaan orang lain, tidak suka menyebarkan informasi hoax, berita yang mengandung fitnah, SARA, dan sebagainya.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, puasa diharapkan berdampak terhadap semakin meningkatnya semangat solidaritas, toleransi, saling menghormati, menjaga persatuan dan kesatuan untuk memperkokoh NKRI di tengah tantangan berbagai isu yang bertujuan untuk memecah belah bangsa.
Bulan Ramadan adalah bulan pendidikan pendidikan (tarbiyah) dan latihan (riyadhah).Selama sebulan penuh umat Islam digembleng bukan hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan hawa nafsu, serta mampu mengendalikan emosi atau amarah. Tentunya semuanya berharap lulus dari proses pendidikan dan latihan tersebut, walau pada kenyataannya hanya hamba-Nya yang sungguh berpuasa dengan makna yang sebenar-benarnya yang akan lulus dalam padangan-Nya karena puasa adalah ibadah yang langsung dinilai olah Allah Swt.
Selama bulan Ramadan, hingar binger pelaksanaan ibadah ritual cukup meningkat. Masjid ramai oleh jamaah yang melaksanakan berbagai ibadah. Menjelang akhir Ramadan banyak jamaah yang beri'tikaf dan berburu lailatulkadar. Tadarus Alquran sampai berkali-kali. Itu hal yang sangat bagus dalam rangka menghidupkan syiar Islam dan sebagai ladang amal ibadah.
Semangat bersedekah pun relatif meningkat. Ada kelompok masyarakat atau yang melakukan acara buka bersama dengan anak yatim dan fakir miskin, ada yang memberikan takjil gratis, ada yang menyelenggarakan acara sahur on the road dengan memberikan makanan untuk sahur kepada para tukang becak dan yang menggelandang di jalanan, dan sebagainya.
Di akhir Ramadan, umat Islam yang berpuasa menyempurnakannya dengan mengaluarkan zakat fitrah. Hal tersebut disamping bertujuan untuk membersihkan diri, juga sebagai bentuk kepedulian sosial kepada orang lain yang bernasib kurang beruntung.
Berbagai aktivitas ibadah yang dilakukan selama bulan Ramadan tentunya diharapkan dilanjutkan pada sebelas bulan berikutnya, karena justru disitulah esensi keberhasilan puasa selama sebulan. Intinya adalah konsistensi atau istikamah. Walau demikian, hal tersebut bukan hal yang mudah. Tantangannya sangat luar biasa. Setan akan terus menggoda manusia untuk malas beribadah, malas berbuat baik pada orang lain, dan mendorong untuk menuruti hawa nafsunya.
Konsistensi seorang muslim dalam menjaga hubungannya baik yang bersifat vertikal kepada Allah dan bersifat horizontal kepada sesama manusia dan lingkungannya pasca bulan Ramadan dapat menjadi indikator puasa yang mabrur, puasa yang transformatif, dan puasa yang implementatif. Inilah sejatinya puasa yang tentunya diharapkan oleh semua orang yang berpuasa.
Hal yang menjadi tantangan dalam kehidupan saat ini adalah kadang tidak selarasnya antara kecerdasan ritual dan kecerdasan sosial. Rajin salat, rajin membaca dua kalimat syahadat, rajin berpuasa, tetapi belum bisa rajin sedekah dan zakat, kesetiakawanan sosial masih rendah, dan belum bisa menjaga akhlaknya. Oleh karena itu, mari kita berdoa kepada Allah agar mampu menyelaraskan antara urusan ritual dengan kehidupan sosial. Dan itu perlu dimulai dari diri sendiri.
Pesan yang disampaikan oleh Ketua MUI KH. Ma'ruf Amin adalah bentuk perhatian dan kasih sayang seorang pemimpin, seorang 'alim ulama, seorang orang tua kepada anak-anak bangsa untuk mewujudkan bangsa yang beriman dan bertakwa menuju negara yang baldatun thayyibatun warobbun ghafur, yaitu negara yang baik, berkah, dalam naungan ampunan Allah Swt. Aamiin yra...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H