Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Fenomena Kafe Masuk Desa

29 Juni 2017   07:17 Diperbarui: 29 Juni 2017   18:38 1913
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Tribunnews.com

Seiring dengan perkembangan zaman, daerah pedesaan mengalami perubahan. Salah satunya dalam gaya hidup anak muda. Saat ini ada fenomena kafe atau warung mirip kafe masuk desa. Setidaknya hal ini terjadi dibeberapa kecamatan di wilayah Kabupaten Bandung Barat Jawa Barat.

Di kota-kota, kafe bukan sekedar tempat makan atau minum, tetapi disitu ada gaya hidup. Bisa untuk nongkrong, istirahat, ngobrol-ngobrol, negosiasi, bisnis, mengerjakan tugas, hang out,pesta ulang tahun, acara nonton bareng, dan sebagainya. Hal tersebut tampaknya ditiru oleh "kafe-kafe" di daerah pedesaan. Anak-anak muda yang biasanya nongkrong di warung kopi, pos ronda, dan perempatan jalan, kini mulai pindah ke kafe-kafe.

Fasilitas yang nyaman, gratis Wi-Fi, menu makanan yang "unik" dan "menarik" mengundang kepenasaranan pengunjung untuk datang dan menikmatinya. Secara psikologis, ada perasaan "naik kelas" kalau bisa nongkrong di kafe walau harus merogoh kocek lebih dalam. Hal tersebut tidak menjadi masalah. Yang penting batin senang dan puas.

Terpacu oleh keberhasilan pengelola sebuah kafe, maka warga masyarakat yang lain pun tertarik untuk mengadu peruntungan dengan mendirikan kafe.  Ruangan-ruangan tadinya hanya seperti toko atau warung biasa, ditata bahkan disulap jadi mirip kafe dengan desain yang sesuai dengan jiwa anak muda, modern, gaul, tapi ada juga yang masih memperlihatkan sisi etnik dan tematik. 

Perkembangan teknologi informasi yang berimbas terhadap perubahan gaya hidup memang tidak dapat dihindari. Yang bisa dilakukan adalah menyiasati dan menyesuaikan dengan perkembangan tersebut, termasuk dalam hal bisnis kuliner. Dan peluang itu ditangkap oleh sebagian masyarakat untuk mendirikan kafe. Yang menjadi sasarannya bukan hanya warga sekitar, tetapi juga warga dari tempat jauh, atau para pelancong.

Kafe biasanya buka dari sore sampai dengan malam hari. Pada hari-hari biasa, kafe-kafe tersebut banyak kunjungi anak-anak muda, dan pada saat-saat tertentu, seperti bulan puasa, pengunjungya semakin padat, karena banyak yang mengadakan acara buka bersama.

Adanya bisnis kuliner dalam bentuk kafe sebenarnya dapat menambah semarak perekonomian warga masyarakat. Walau demikian, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, perizinan usaha perlu ditempuh sebagai bentuk jaminan legalitas usaha. Kedua, tempat yang memiliki tempat parkir yang relatif memadai agar tidak menimbulkan kemacetan.

Ketiga, tidak menjual makanan dan minuman yang melangar aturan agama dan negara. Keempat, beroperasi pada jam-jam yang telah ditentukan, tidak melewati tengah malam. Dan kelima, menyelenggarakan acara-acara yang tidak melanggar ketertiban umum.

Dalam konteks sosiologis, berdirinya kafe-kafe secara langsung akan berdampak kepada berubah pola hidup masyarakat khususnya anak-anak muda. Pada waktu maghrib di mana banyak anak muda yang seharusnya mengaji, kini nongkrong atau makan malam di kafe-kafe.

Tingkat pengeluaran pun bertambah. Kalau bagi yang telah memiliki pekerjaan atau penghasilan tidak terlalu menjadi masalah, tetapi bagi anak muda yang belum memiliki penghasilan, tentu akan meminta uang kepada orang tuanya untuk nongkrong di kafe. Sebelumnya orang juga pusing karena anaknya minta sepeda motor untuk jalan-jalan dan untuk nongkrong di kafe.

Dengan banyaknya anak-anak muda desa yang suka nongkrong di kafe, maka desa lambat laun dikhawatirkan akan kehilangan karakter aslinya. Karakter desa yang relatif sepi, sederhana, dan bersahaja, berubah menjadi ramai dan banyak diwarnai dengan lampu temaram pada waktu malam hari.  Dalam jangka panjang dikhawatirkan juga berdampak terhadap mentalitas anak-anak mudanya. Yang seharusnya bertani atau membantu orang tua, justru lebih senang nongkrong berlama-lama di kafe.

Kekhawatiran saya bukan berarti usaha kafe harus dilarang masuk ke desa, tetapi perlu aturan yang jelas agar tidak menimbulkan dampak yang kurang baik terhadap mental generasi muda. Di satu sisi usaha dapat terus berjalan, tetapi nilai-nilai daerah pedesaan dapat dipertahankan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun