“Pah, masa tetangga kita yang jabatannya lebih rendah dari papah mobilnya sudah ganti, tapi kita masih menggunakan mobil lama? Tuh lihat istrinya juga, perhiasannya seperti toko emas berjalan, dan pakaiannya bagus-bagus. Minggu lalu baru pulang liburan dari luar negeri. Anak-anaknya pun dibelikan motor terbaru untuk berangkat kuliah dan sekolah. Jangan mau kalah atuh Pah…” Itulah ucapan seorang istri kepada suaminya yang panas dengan tetangganya yang hidup enak dan bergelimang harta.
Tulisan ini tidak bermaksud mendeskreditkan kaum peremuan, khususnya para istri, tapi hanya sebuah refleksi dari kasus-kasus korupsi yang melibatkan suami-istri. Gubernur Bengkulu Riswan Mukti yang ditangkap bersama istrinya dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengundurkan diri dari jabatannya.
Hal ini dilakukannya sebagai bentuk tanggung jawab moril terhadap kekhilafan yang dilakukan oleh istrinya yang diduga menerima suap sebesar satu miliar dari sebuah perusahaan pemenang tender proyek jalan provinsi. Langkah tersebut perlu diapresiasi sebelum mengundang kegaduhan di masyarakat, karena kepala daerah yang jadi tersangka korupsi biasanya diminta untuk mengundurkan diri.
Sebelum kasus di Bengkulu, di beberapa daerah juga telah ada kepala daerah beserta istrinya yang menjadi tersangka korupsi. Misalnya, Walikota Palembang Romi Herton dan istrinya Masyitoh menjadi tersangka suap sengketa Pilkada kepada Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Aqil Mochtar sebesar 20 milyar tahun 2014. (liputan6.com, 16/06/20014). Lalu Bupati Karawang Ade Swara dan Istrinya Nur Latifah yang menjadi tersangka kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) pembangunan mall sebesar Rp 5 miliar tahun 2014 (kompas.com, 07/10/2014).
Di Korea Selatan lebih ekstrim. Tahun 2009, mantan Presiden Roh Moo Hyun bunuh diri, menjatuhkan diri dari tebing setinggi 20-30 meter gara-gara merasa malu istrinya dituduh menerima suap sebesar satu juta dollar AS dari seorang pengusaha sepatu. (dw.com, 23/05/2009).
Berdasarkan kepada empat kasus di atas, maka dapat disimpulkan bahwa seorang istri dapat menjadi kekuatan bagi suaminya dalam menjalankan tugas atau sebaliknya, bisa menjadi kelemahan yang membuatnya bisa kehilangan jabatan. Hal itu juga menunjukkan bahwa urusan kedinasan kadang dipengaruhi oleh urusan pribadi atau keluarga.
Karir seorang suami bisa menanjak karena doa dan dukungan istri, dan sebaliknya karirnya pun bisa hancur gara-gara istri. Kedudukan seorang suami bisa makin terhormat karena didampingi oleh seorang isri yang solehah, tetapi bisa menjadi terhina gara-gara istrinya durhaka pada suaminya.
Bagi para pihak yang berkepentingan, ketika sulit mempengaruhi suaminya yang notabene sebagai pejabat publik, maka bisa saja menggunakan anggota sebagai senjata, seperti istri untuk mempengaruhi suaminya dalam membuat keputusan yang menguntungkan pihak yang berkepentingan tersebut. Gratifikasi atau suap adalah cara yang banyak dilakukan oleh pihak yang berkepentingan untuk melakukan lobi.
Bagi seorang suami yang jujur, mungkin tidak akan terpengaruh oleh ucapan istrinya tersebut, tetapi justru balik menasehati sang istri agar bersikap qanaah, bersyukur, dan hidup sederhana. Tetapi bagi suami yang mudah terpengaruh, tentunya akan merasa tersengat, merasa dipanas-panasi, harga dirinya terusik karena belum bisa membahagiakan anak istrinya. Dan dia pun melakukan korupsi.
Suami yang jujur dalam bekerja tentunya akan memberikan nafkah yang halal kepada keluarganya, tetapi suami yang ambisius dan ingin “membahagiakan” keluarganya dengan harta, tentunya akan menghalalkan segala cara dalam mencari nafkah. Oleh karena itu, ketika ada anak yang nakal, susah diatur, para orang tua khususnya sang ayah, harus berinstrospeksi diri apakah nafkah yang diberikannya didapatkan dari cara halal atau haram? Karena apa yang dimakan dan diminum akan menjadi darah dan daging bagi anak dan istrinya.
Istri yang pandai bersyukur tentunya akan menerima berapa pun nafkah yang diberikan suaminya dan menggunakannya untuk biaya rumah tangga. Selalu mendoakan suaminya diberikan kelancaran, kesehatan, dan keselamatan dalam bekerja, dan tentunya mendoakan suaminya mendapatkan rezeki yang halal.
Sebuah pribahasa mengatakan bahwa “uang bukan segalanya, tapi segalanya butuh uang.” Dengan memiliki uang, setiap orang bebas memiliki apa saja, tapi jangan melakukan apa saja, kusususnya korupsi demi uang, karena akan mencelakakan. Kepada para istri, mari dukung dan doakan suaminya agar mendapatkan rezeki yang halal, serta menanamkan hidup sederhana, sesuaikan keinginan dengan kemampuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H