Setelah menjadi kontoversi, menuai pro dan kontra, akhirnya, Senin, 19 Juni 2017 Presiden Joko Widodo membatalkan program sekolah lima hari atau dikenal dengan Full Day School (FDS). Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma'ruf Amien didampingi Mendikbud Muhadjir Effendy menyampaikan hal tersebut di istana negara. Regulasi FDS akan ditingkatkan dari semula hanya Permendikbud menjadi Peraturan Presiden (Perpres) dengan melibatkan beberapa menteri terkait seperti Mendikbud, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan melibatkan MUI dan beberapa ormas seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, serta beberapa ormas lainnya.
Berdasarkan kepada hal tersebut di atas, ada dua hal yang menjadi catatan. Pertama, Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah belum dapat dilaksanakan bahkan kemungkinan besar akan dibatalkan. Kedua, pembatalan FDS bukan berarti hal tersebut dibatalkan sama sekali. Pembatalan tersebut memang banyak dilatarbelakangi oleh banyak penolakan berbagai elemen masyarakat utamanya dari kalangan NU yang khawatir jika FDS diberlakukan, akan banyak Madrasah Diniyah yang notabenebanyak didirikan oleh orang-orang NU akan gulung tikar. Hal tersebut disampaikan ketua PBNU KH Said Agil Siradz.
Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin angkat bicara bahwa pemberlakuan FDS harus benar-benar dikaji sebelum dilaksanakan untuk mencegah gejolak dalam masyarakat. Wakil Presiden Jusuf Kalla juga menyampaikan bahwa hal ini tidak dapat diputuskan pada level kementerian, tetapi harus diputuskan oleh presiden, meskipun Mendikbud Muhadjir Effendy mengatakan bahwa sekolah lima hari adalah kemauan presiden Joko Widodo dalam rangka menyukseskan Program Penguatan Pendidikan Karakter (P3K) sebagai wujud implementasi Nawacita, akan dilaksanakan secara bertahap, dan 8 (delapan) jam sehari jangan diartikan guru dan murid terus berada di kelas, tetapi kegiatan kegiatan belajar dapat dilaksanakan di luar kelas.
Kebijakan FDS banyak memulai penolakan dari masyarakat karena terkesan dipaksakan karena tidak melihat situasi dan kondisi sekolah yang beragam. Kebijakan tersebut dinilai tidak didasari hasil analisis yang benar-benar menyeluruh memperhatikan kepentingan peserta didik, tapi hanya sebatas mempertimbangkan pemenuhan jam kerja guru yang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) selama 40 jam per minggu sebagai syarat untuk mendapatkan tunjangan profesi.
Dengan adanya rencana untuk meningkatkan regulasi FDS dari setingkat Permen menjadi Perpres tentunya hal ini dasar hukum yang lebih kuat dan melingkupi berbagai hal yang terkait dengan FDS, bukan hanya mengutak-atik jam pelajaran, kegiatan ekstrakurikuler, dan teknis kerjasama dengan Madrasah Diniyah, tetapi juga harus disinkronkan dengan bidang lainnya, seperti aturan tentang pengelolaan makan siang peserta didik dan menyelaraskan hari libur sekolah dengan libur orang tua siswa, karena percuma saja hari Sabtu disebut sebagai hari libur, hari untuk keluarga, kalau anak dan orang tua tidak dapat berkumpul. Bahkan kalau perlu, ada aturan sehari tanpa gawai, karena walau sama-sama berkumpul, tetap saja terpisah karena semua sibuk denga gawai masing-masing.
 Banyak pihak menyarankan bahwa FDS bersifat opsional, jangan diseragamkan mengingat beragam kondisi sekolah, dukungan sarana dan prasarana, dukungan SDM, jarak antara sekolah dengan tempat tinggal siswa, serta akses transportasi, dan itu semua bukan ranahnya Kemdikbud semata, tetapi ada ranah tugas kementerian lainnya.
Banyak pihak juga meragukan apakah penambahan jam belajar menjadi delapan jam per hari akan meningkatkan kualitas karakter siswa, tetapi justru akan mengurangi hak-haknya untuk beristirahat, bersosialisasi, berkomunikasi, dan berinteraksi dengan keluarga dan lingkungan tempat tinggalnya. Menurut mereka, kualitas karakter bukan hanya ditentukan oleh kuantitas atau banyaknya waktu belajar di sekolah, tetapi terletak pada kualitas sekaligus efektivitas pengelolaan waktu belajar. Sebagai contoh, di Finlandia, siswa hanya belajar 3-4 jam, tidak ada PR, dan tidak ada Ujian Nasional, tetapi kualitas pendidikannya nomor satu di dunia.
Setiap kebijakan yang akan diambil hendaknya berdasarkan hasil analisis yang mendalam agar sesuai dengan kebutuhan di lapangan dan secara operasional dapat dilaksanakan. Jangan hanya indah di atas kertas, tapi pada kenyataannya sulit untuk dilaksanakan.
Dengan adanya pembatalan FDS, setidaknya dapat membuat suasana menjadi cooling down, sekaligus menyusun regulasi yang lebih komprehensif agar tidak lagi menulai kontroversi dan kegaduhan. Sebelum disampaikan ke publik, para pihak terkait harus satu suara dulu, tidak bersilang pendapat di media sehingga terkesan tidak kompak. Dan utamanya memikirkan banyak sisi sebelum sebuah kebijakan diterapkan.
IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H