Jika pendidikan agama selama ini dianggap kurang efektif membangun karakter bangsa, bukan berarti bahwa pendidikan agama telah gagal. Logikanya, masih ada pendidikan agama saja kondisinya seperti ini, bagaimana kalau pendidikan agama ditiadakan? Mungkin akan makin parah. Apalagi, presiden Joko Widodo telah menetapkan program Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) dimana salah satu nilai yang ingin diperkuat adalah religius.
Menurut saya, kalau baru sebatas rencana atau wacana berkaitan dengan teknis pendidikan agama, jangan dulu disampaikan kepada publik karena bisa menimbulkan kesalahpahaman. Kalau konsepnya sudah benar-benar jelas, baru disampaikan kepada publik. Bahkan, kadang ketika konsepnya sudah ada pun masih mengundang pro dan kontra serta masalah dalam implementasinya.
Praktek-praktek pendidikan yang selama ini sudah baik, tidak perlu diubah-ubah lagi, justru harus makin diperkuat. Pendidikan agama di sekolah yang sudah diberi porsi 3 JP perlu dioptimalkan. Dan pendidikan agama dalam konteks substantif bukan hanya dilaksanakan oleh guru agama, tetapi dapat diintegrasikan oleh semua guru mata pelajaran, karena mengikat dan mengatur setiap aspek kehidupan. Pendidikan agama di lingkungan pesantren dan madrasah diniyah tetap berjalan. Sinergi bukan berarti aktivitasnya disatukan di sekolah, tetapi bisa dilaksanakan di tempat masing-masing.
Menurut saya, kalau pun pendidikan agama perlu pembenahan, materinya jangan hanya berkutat pada ritual atau praktek keagamaan, tetapi kepada akhlak, peduli kepada lingkungan, membangun toleransi antarumat beragama, membangun solidaritas antarmanusia, memperkuat semangat persaudaraan (ukhuwwah), serta membangun semangat persatuan dan kesatuan dalam rangka memperkokoh NKRI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H