Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pesantren Kilat di Sekolah, Sudahkah Efektif?

6 Juni 2017   08:48 Diperbarui: 6 Juni 2017   15:08 5750
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada bulan ramadan, banyak sekolah menyelenggarakan pesantren kilat (kilat). Kegiatan ini disamping bertujuan untuk mengisi bulan ramadan dengan kegiatan yang bermanfaat, juga untuk menambah ilmu agama para siswanya. Kegiatan ini wajib diikuti oleh semua siswa, yang menjadi koordinator biasanya guru PAI dan melibatkan guru-guru yang sanggup atau dinilai memiliki kemampuan ilmu agama yang relatif bagus, atau mengundang narasumber dari luar sekolah. Selain itu, juga melibatkan pengurus OSIS sebagai petugas teknis kegiatan sanlat.

Acara sanlat biasanya berlangsung 2-3 hari, pesertanya bergiliran. Disamping diisi dengan materi-materi keagamaan, juga diisi dengan acara salat duha, tadarus Alquran, buka bersama, dilanjutkan tarawih berjamaah. Kegiatan sanlat pada dasarnya bertujuan baik, walau demikian, kadang dalam pelaksanaannya kurang terkoordinir dengan baik. Banyak siswa yang beranggapan bahwa sanlat tidak terlalu penting, sehingga yang hadir tidak mencapai 100 %.

Dengan kata lain, siswa kurang serius mengikuti kegiatan tersebut, walau sekolah telah mewanti-wanti agar seluruh siswa mengikuti kegiatan tersebut. Kegiatan 2-3 hari memang waktu yang sangat singkat untuk belajar agama. Walau demikian, setidaknya dapat menambah wawasan atau menyegarkan kembali semangat keagamaan yang bermuara pada meningkatnya keimanan dan ketakwaan para siswa. Dengan demikian, kegiatan sanlat tetap bermanfaat untuk dilaksanakan di sekolah.

Bulan Ramadan pada masa Presiden KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, sekolah-sekolah diliburkan sebulan penuh dan memberikan kesempatan kepada siswa-siswanya yang beragama Islam untuk mengisinya dengan berbagai kegiatan keagamaan, karena bulan Ramadan merupakan momen yang sangat tepat untuk meningkatkan aktivitas keagamaan.

Sedangkan saat ini kebijakan tiap daerah beragam. Ada yang meliburkan sekolah selama sebulan penuh dan meminta siswa untuk belajar di pesantren seperti di kota Tasikmalaya dan ada pula yang tidak meliburkan sekolah, tapi tetap diisi dengan kegiatan belajar seperti biasa, atau menggantinya dengan kajian kitab kuning seperti di Purwakarta.

Kegiatan sanlat dikelola agar lebih efektif memang harus dikelola dengan baik, atau bahkan bisa bermitra dengan pesantren sebagai pihak yang memang berpengalaman mengelola kegiatan pendidikan agama. Kegiatannya bisa dilaksanakan di sekolah, atau menugaskan siswa untuk belajar di pesantren selama masa waktu tertentu.

Untuk sekolah-sekolah yang berstatus sebagai islam terpadu mungkin tidak terlalu sulit mengelola sanlat karena relatif banyak memiliki guru yang memiliki kemampuan ilmu agama, sedangkan pada sekolah umum, jumlah guru yang memiliki ilmu agama yang mumpuni mungkin terbatas. Yang bersangkutan juga memiliki tugas rutin yang harus dilaksanakan seperti membuat administrasi guru sehingga jika pun menyampaikan materi keagamaan kurang optimal. Belum lagi jika yang bersangkutan kurang percaya diri karena pengetahuan agamanya terbatas.

Para siswa yang mengikuti sanlat pun kadang tidak begitu fokus kegiatan, hanya sebatas formalitas, berpikir ingin segera pulang atau mengakhiri kegiatan karena teman-temannya pun banyak tidak ikut sanlat. Sekolah pun tidak dapat memberikan sanksi yang tegas karena sanlat bukan termasuk kegiatan yang masuk dalam struktur kurikulum dan tidak ada nilai pada buku raport.

Kegamangan sekolah dalam melaksanakan sanlat juga dipengaruhi oleh terbatasnya anggaran sekolah apalagi dengan adanya isu pungli di sekolah, soalnya infaq untuk kegiatan keagamaan di sekolah ada yang menganggapnya sebagai pungli, padahal kegiatan tersebut tidak tercantum pada anggaran sekolah dan perlu peran serta orang tua siswa. Akibatnya, daripada sekolah pusing, lebih baik meliburkan para siswanya sama sekali.

Sekolah hanya menugaskan siswanya menugaskan siswanya untuk mengisi kegiatan ramadan di rumah masing-masing dan mencatatnya pada buku agenda ramadan dengan diketahui oleh imam tarawih, penceramah kultum, dan orang tua. Setelah ramadan selesai, buku tersebut lalu dikumpulkan ke sekolah untuk dinilai oleh guru PAI.

Kegiatan agama memang urusan pribadi, tidak perlu dicatat-catat, tetapi dalam konteks mendidik kedisiplinan dan tanggung jawab memang tidak ada salahnya. Kegiatan sanlat jangan sampai kehilangan ruh karena hanya dianggap sebagai formalitas semata. Perlu dikelola dengan baik dikelola dengan baik dengan melibatkan berbagai pihak.

Oleh:
IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan, Pemerhati Masalah Sosial)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun