Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gus Dur, Afi Nihaya, dan Lompatan Berpikirnya

1 Juni 2017   20:59 Diperbarui: 1 Juni 2017   23:05 586
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Nama Asa Firda Nihaya atau Afi mendadak terkenal. Remaja kelas XII SMAN 1 Gambiran Kabupaten Banyuwangi Jawa Timur tersebut menjadi menjadi terkenal gara-gara tulisannya di Facebook yang  berjudul WARISAN menjadi viral dan mendapatkan banyak tanggapan baik yang pro maupun yang kontra.

Tulisan tersebut membuatnya diundang ke talk show Rosi di Kompas TV (29/05/2017), diundang oleh Bupati Banyuwangi, menjadi pembicara di Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang, bertemu Menkominfo Rudiantara, dan puncaknya diundang menghadiri peringatan Hari Lahir Pancasila tanggal 1 Juni 2017 di Gedung Pancasila  yang dipimpin langsung oleh Presiden Joko Widodo.

Dalam beberapa tulisannya, Afi menyoroti masalah keyakinan beragama, toleransi, dan pluralisme di masyarakat. Pikiran-pikirannya yang kritis, melawan arus, dan “out of the box” menjadikannya remaja yang berbeda dengan pada umumnya yang kadang hanya menulis curhat, iseng, atau memosting foto-foto selfie di media sosial. Walau demikian, Afi pun seorang remaja biasa yang mulai senang kepada lawan jenis. Dia pun curhat tentang kisah percintaannya, dan pada waktu diwawancarai oleh Rosiana Silalahi, Afi mengaku baru diputuskan oleh pacarnya.

Jika memperhatikan pola pikir Afi tentang masalah keyakinan beragama, toleransi, dan pluralisme mengingatkan saya ke sosok Presiden RI ke-3 almarhum KH Abdurrahman  Wahid atau Gus Dur. Gus Dur dikenal sebagai tokoh HAM, demokrasi, fluralis, mengampanyekan perlindungan terhadap kaum minoritas.

Pada masa pemerintahan Gus Dur, etnis Tiong Hoa diberikan kebebasan untuk menjalankan ibadah, dan menjadikan Imlek sebagai hari raya keagamaan. Oleh karena itu, etnis Tiong Hoa menjadikan Gus Dur sebagai pahlawan. Pada saat Gus Dur meninggal, yang melayat dan mendoakan bukan hanya umat Islam, tetapi banyak dari umat beragama lainnya. Saat ini makan Gus Dur pun bukan hanya diziarahi oleh umat Islam, tapi juga umat lintas agama.

Memang masih terlalu dini untuk membandingkan almarhum Gus Dur dengan Afi yang notabene masih remaja. Walau demikian, Afi memiliki karakteristik yang sama dengan Gus Dur sewaktu muda, yaitu senang membaca dan menulis. Di Acara Rosi, Afi mengatakan bahwa usia SMP dia telah membaca buku-buku berat seperti buku karangan Sigmund Freud, yang merupakan buku teks bagi mahasiswa, buku psikologi,  dan pembentukan kepribadian di saat teman-temannya masih senang membaca komik-komik atau novel percintaan ABG.

Ada pribahasa mengatakan bahwa teko hanya mengeluarkan apa yang di dalam teko, artinya apa yang diucapkan atau apa yang ditulis tergantung apa yang dibaca atau tergantung wawasannya. Kebiasaan Afi membaca buku-buku berat, apa lagi buku filsafat tentunya akan membentuk pola pikirnya. Oleh karena itu, dalam usianya yang masih remaja, dia menjadi sosok yang kritis, memiliki wawasan yang cukup luas, plus dia memang tampaknya cerdas. Hal tersebut setidaknya terlihat dari jawaban-jawabannya pada acara Rossi di Kompas TV.

Menurut saya, tulisan-tulisan kritis Afi perlu disikapi secara bijak, tidak reaktif. Afi yang masih banyak belajar termasuk ilmu agama perlu mendapat bimbingan dari para guru dan ulama. Dari statusnya di FB yang saya baca berulang-ulang, disitu ada pesan toleransi dimana masing-masing pemeluk agama jangan memaksakan agama atau keyakinannya kepada orang lain. Sebagai seorang muslim, saya berkeyakinan bahwa agama Islam yang saya anut adalah agama terbaik dan akan memberi keselamatan di dunia dan akhirat.

Hal itu pun tentunya berlaku bagi pemeluk agama lain yang meyakini bahwa agama yang dipeluknya adalah agama terbaik baginya. Oleh karena itu, sesama pemeluk agama harus berdampingan, saing menghargai dan menghormati, tidak merasa ada pihak yang paling bisa menghakimi agama atau keyakinan orang lain. Itulah hakikat dari toleransi. Agama Islam pun telah mengajarkan kepada umatnya, bahwa “untukmu agama-mu dan untuku agamamaku.”

Bagi Saya, Afi Nihaya adalah remaja, generasi penerus bangsa yang cerdas yang masih mencari jati diri dan memerlukan bimbingan. Berilah dia kebebasan berpikir, kebebasan berekspresi dengan tidak labeli cap-cap yang cenderung negatif dan menyudutkan oleh pihak-pihak yang tidak sejalan atau tidak setuju dengan pola pikirnya.

Buka ruang diskusi seluas-seluasnya jika terjadi perbedaan pendapat, bukan dengan sikap reaktif dan mengedepankan emosi dan ego pribadi. Saya justru berharap akan semakin banyak remaja-remaja cerdas dan kritis seperti Afi, karena di tangan merekalah masa depan bangsa akan ditentukan.

IDRIS APANDI

(Praktisi Pendidikan, Pemerhati Masalah Sosial)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun