Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pancasilaku Sayang, Pancasilaku Malang

1 Juni 2017   07:26 Diperbarui: 1 Juni 2017   07:53 547
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain P-4, untuk mensosialisasikan Pancasila kepada masyarakat, pemerintah Orde Baru juga menggulirkan Gerakan Hidup Berpancasila (GHBP) tetapi gerakan itu ternyata hanya menjadi retorika dan slogan saja. Kenyataannya, pelaksanaan hidup berbangsa dan bernegara banyak yang tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Hal ini disebabkan karena kurangnya keteladanan pemimpin dan rendahnya pemahaman dan penghayatan terhadap Pancasila. Contoh sederhana, masyarakat membuang sampah seenaknya, tidak memiliki rasa bersalah atau rasa malu, melanggar rambu-rambu lalulintas, dan sebagainya.

Runtuhnya pemerintah Orde Baru dan digantikan oleh Orde Reformasi berimbas kepada perubahan dan kebijakan politik bangsa dan negara Indonesia termasuk. Salah satunya adalah penghapusan P-4. Alasannya, rakyat Indonesia pada saat merasa trauma dengan P-4. Melihat bahwa P-4 hanya menjadi alat “cuci otak” penguasa kepada rakyatnya sehingga alergi bahkan menolak terhadap P-4. Saat ini pun baik pemerintah tidak terlalu tegas atau serius dalam mengkampanyekan pentingnya Pancasila sebagai ideologi negara dalam setiap kebijakan pemerintah khususnya tentang revitalisasi Pendidikan Pancasila. Mungkin takut disebut mengembalikan karakter Orde Baru.

Masyarakat pun tampaknya tidak terlalu tertarik mendiskusikan tentang esensi, substansi, dan manfaat  Pancasila dalam kehidupan bangsa dan negara. Bahkan saat ini pola kehidupan masyarakat sudah banyak keluar dari jiwa dan nilai Pancasila. Krisis nilai Pancasila saat hampir terjadi pada setiap lapisan masyarakat. Mulai dari masyarakat kelas rendah, kelas menengah, dan kelas atas. Dari mulai jajaran pemimpin sampai kepada masyarakat yang dipimpinnya.

Bangsa Indonesia yang dulu dikenal sebagai bangsa yang santun, ramah, toleran, suka bergotong, dan mengutamakan musyawarah mufakat dalam mengambil keputusan, mengalami perubahan terutama pasca bergulirnya Orde Reformasi. Pengertian reformasi yang tujuan awalnya menata kembali kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 diartikan secara salah kaprah. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) diartikan secara kebablasan. Mengemukakan pendapat atau tuntutan di muka umum disertai aksi anarkis, merusak fasilitas, memaksakan kehendak. Kehidupan politik kita diwarnai dengan politik uang (money politic),tidak beretika, politik adu domba, fitnah, dan pembunuhan karakter (character assasination).Korupsi yang semakin parah. Bukan hanya terjadi di lingkungan pemerintah saja, tetapi juga terjadi di lingkungan swasta, dan masyarakat secara umum.

Pelanggaran hukum menjadi pemandangan sehari-hari. Ada adagium yang menyatakan bahwa hukum dibuat untuk dilanggar. Indonesia termasuk yang sangat rajin membuat peraturan perundang-undangan tetapi implementasinya sangat  lemah. Supremasi hukum belum benar-benar ditegakkan. Hukum ibarat pisau, tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas. Hukum hanya berlaku bagi kalangan lemah sementara kalangan berduit dapat “membeli” hukum dan mengaturnya sesuai dengan selera.

Penegakkan hukum banyak diwarnai oleh pratek korupsi, suap, dan mafia hukum. Rendahnya kesejahteraan aparat hukum dituding menjadi penyebab korupsi dan suap dalam penegakkan hukum. Mungkin di satu sisi benar. Kesejahteraan aparat hukum perlu ditingkatkan untuk mengurangi godaan suap dan korupsi. Tetapi itu bukan satu-satunya jalan. Perbaikan sistem dan utamanya perbaikan mental dan moral aparat perlu terus dilakukan karena berapapun gaji yang diberikan, jika imannya lemah dan mentalnya payah, maka akan mudah terkena godaan korupsi dan suap. Selain itu, penghargaan (reward) dan hukuman (punishment) terhadap aparat hukum harus ditegakkan.

Budaya kekerasan menjadi pemandangan sehari-hari. Pelajar dan mahasiswa senang tawuran. Sesama masyarakat, bahkan sesama aparat negara pun suka menyelesaikan masalah dengan cara kekerasan. Toleransi antarumat beragama pun memudar di tengah banyaknya konflik yang berlatar belakang agama.

Kesenjangan antara orang kaya dengan orang miskin semakin menganga. Hal ini beresiko menyebabkan konflik horizontal, frustasi sosial, dan menyuburkan tindakan kriminalitas. Solidaritas sosial kadang-kadang bersifat simbolik. Ramai-ramai berbicara pentingnya membantu sesama ketika terjadi bencana alam. Setelah itu, kepedulian sosial luntur lagi. Padahal, kepedulian sosial perlu dibudayakan, bukan hanya temporer atau simbolik saja. Misalnya, mari kita perhatikan lingkungan sekitar tempat tinggal kita. Apakah ada tetangga atau saudara kita yang hidup kekurangan. Kita bisa membantunya sesuai dengan kemampuan kita.

Jika kita perhatikan nasib Pancasila saat ini sangat ironis. Pancasila sudah banyak ditinggalkan atau bahkan dilupakan. Pancasila saat ini menjadi topik yang tidak terlalu menarik untuk didiskusikan. Padahal, Pancasila-lah yang menjiwai terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pancasila-lah yang menjadi ideologi negara ini. Pancasila-lah yang menginspirasi para pendiri negara ini untuk senantiasa membangun bangsa dan negara ini. Dan Pancasila-lah yang menjadi sumber energi persatuan dan kesatuan bangsa.

Eksistensi Pancasila saat ini tak lebih hanya bersifat simbolik saja. Naskah Pancasila hanya tertempel di ruang kantor, ruang kelas, hanya dibacakan pada saat upacara bendera hari Senin atau upacara hari-hari besar nasional. Yang memprihatinkan. Ada anak bangsa yang ketika diminta menyebutkan sila-sila dalam Pancasila saja tidak bisa menyebutkannya dengan baik atau bahkan sama sekali tidak tahu. Memang, Pancasila bukan untuk dihafal, tetapi ketika terbatah-batah menyebutkan sila-sila Pancasila atau sama sekali lupa hal itu bisa menjadi indikator sejuhmana kepedulian warga negara terhadap Pancasila. Selain Pancasila, lagu kebangsaan “Indonesia Raya” pun sudah banyak yang lupa. Generasi muda kita lebih banyak yang hafal lagu-lagu pop dibandingkan lagu kebangsaan “Indonesia Raya”.

Revitalisasi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun