Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ramadan, Sakral dalam Bayang-bayang Komersial

28 Mei 2017   23:31 Diperbarui: 29 Mei 2017   12:14 885
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

RAMADAN, HAL SAKRAL DALAM BAYANG-BAYANG KOMERSIAL

Oleh:

IDRIS APANDI

Bulan Ramadan adalah bulan yang suci dan mulia, bulan penuh berkah, rahmat dan ampunan. Pada bulan ini,  umat Islam diwajibkan berpuasa sebulan lamanya. Bulan ini adalah bulan obral pahala dari Allah Swt. Setiap amal kebaikan dilipatgandakan pahalanya, sedangkan amal buruk hanya dicatat satu keburukan, dan itu pun dicatat kalau sudah secara nyata dilakukan. Saking mulianya bulan Ramadan, tidurnya orang berpuasa bisa bernilai ibadah.

Daripada melakukan hal-hal yang sia-sia dan merusak ibadah puasanya. Walau demikian, alangkah lebih baik justru di bulan Ramadan tidur dikurangi dan diisi dengan beragam ibadah, agar suasana Ramadan yang datang setahun sekali benar-benar bermakna dan bermanfaat. Tidak ada jaminan tahun berikutnya kita mendapatkan kesempatan lagi merasakan bulan Ramadan.

Dibalik segala kesakralan bulan Ramadan, seiring dengan perkembangan zaman, dihadapkan pada tantangan komersialisasi pada berbagai hal, utamanya berkaitan dengan yang bersifat fisik. Mulai dari makanan, minuman, suplemen, obat-obatan, alat-alat rumah tangga, sarung, pakaian, HP, sampai assesoris dikaitkan dengan Ramadan dan idul fitri.

Momen Ramadan, di satu sisi digunakan untuk berlomba-lomba mengumpulkan pahala, sedangkan bagi pedagang dan pengusaha, digunakan untuk meraup laba sebesar-besarnya. Mereka merayu pembeli dengan tawaran diskon yang menggiurkan. Akibatnya, susbtansi Ramadan kadang kehilangan makna. Tertutup oleh hal-hal yang bersifat simbolistik bahkan konsumtif.

Para pengusaha tidak segan-segan menjadi sponsor acara-acara Ramadan, khususnya yang banyak digemari oleh penonton. Belum lagi berbagai atribut yang digunakan pengisi acara, mulai dari baju koko, hijab, kerudung, sampai make up semuanya adalah produk sponsor. Dengan kata lain, mereka menjadi bintang iklan produk-produk sponsor.  Dan yang menjadi targetnya tentunya adalah para penonton acara agar tertarik membeli produk yang dipakai pengisi acara.

Mendekati akhir Ramadan, tawaran-tawaran diskon menarik semakin banyak dan menggoda calon pembeli, karena para pedagang dan pengusaha tahu kebutuhan masyarakat pun semakin meningkat untuk mempesiapkan lebaran. Mal-mal dan pasar semakin kebanjiran pembeli, sedangkan masjid semakin jumlah jamaahnya semakin berkurang. Baris (shaf) salat tarawih semakin “maju”, bahkan hanya tersisa satu shaf saja.

Puasa adalah medan perjuangan melawan hawa nafsu, termasuk nafsu belanja. Bulan Ramadan seharusnya bukan menjadi beban, tetapi realitanya adalah beban. Orang tua memikirkan kebutuhan lebaran anaknya, seorang anak berpikir untuk memberikan “THR” kepada orang tua dan saudara-saudaranya, pengusaha memberikan THR kepada para pegawainya, dan kepala kantor memikirkan THR kepada anak-anak buahnya.

Minggu terakhir yang seharusnya dijadikan sebagai sarana untuk kejar setoran amal kebaikan, justru digunakan untuk kejar setoran kebutuhan lebaran. Pada dasarnya adalah manusiawi jika seseorang ingin berpenampilan menarik dan berpakaian serba baru pada saat lebaran. Hal itu tidak dilarang asal tidak memaksakan diri dan tidak berlebihan.

Rasulullah Saw. dalam salah satu hadis mengatakan bahwa pada saat salat id, gunakan pakaian terbaik, bukan harus pakaian baru, tetapi bagi masyarakat umum, pakaian terbaik diartikan sebagai pakaian baru. Hal ini yang menyebabkan budaya konsumtif tidak dapat dihindari pada saat Ramadan dan lebaran. Sedangkan Allah Swt. tidak menyukai orang-orang yang berlebihan. Hal yang berlebihan biasanya mubazir, dan yang mubazir adalah temannya setan. Hal itu sudah tergambar pada Alquran.

Ramadan, hal yang sakral dalam bayang-bayang komersial. Hal ini memang tidak dapat dipungkiri alias tidak dapat disangkal jika melihat fenomena yang berkembang di masyarakat. Media baik TV maupun media sosial menjadi sumber referensi utama untuk menawarkan barang-barang dagangan atau produk sebuah perusahaan.

Pengendalian diri. Itulah satu-satunya jalan agar tidak terhindar dari pemborosan  dan konsumerisme pada saat Ramadan dan lebaran. Pedagang dan pengusaha apapun akan mengatakan bahwa produknya yang paling baik, produknya yang nomor satu, menggunakan bintang ikla yang ganteng-ganteng dan cantik-cantik untuk menarik pembeli. Itu adalah strategi marketing. Para konsumen harus menjadi consumen yang cerdas dan bijak dalam berbelanja.

Jangan sampai Ramadan yang sakral berlalu begitu saja, tanpa ada kesan atau kesuksesan secara amaliah. Malah justru berlomba-lomba dalam hal fisik dan penampilan yang sama sekali tidak ada relevansinya dengan tujuan berpuasa.

Penulis, Praktisi Pendidikan, Pemerhati Masalah Sosial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun