MISI SOSIAL MANUSIA DALAM PERSFEKTIF FALSAFAH SUNDA
Oleh:
IDRIS APANDI
(Praktisi Pendidikan, Pemerhati Masalah Sosial)
Manusia selain diciptakan sebagai individu, juga sebagai makhluk sosial. Dia tidak dapat hidup sendiri. Dia memerlukan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhan hidup dan menyelesaikan permasalahannya. Hal ini ditandai sejak seorang manusia dilahirkan ke dunia. Sang jabang bayi memerlukan bantuan orang lain. Ketika lahir ke dunia, badannya tidak ditutupi sehelai benang pun, dia menangis dengan keras seolah sebagai tanda minta bantuan kepada orang ada di sekitarnya. Lalu bidang memotong tali ari-arinya, darahnya dibersihkan, dan langsung dibungkus oleh kain agar tidak kedinginan, dan selanjutnya sang ibu menyusuinya dan mengurusnya hingga besar.
Dalam melaksanakan peran sosialnya, seorang manusia mengacu kepada nilai-nilai kearifan lokal yang berlaku di masyarakat, misalnya falsafah Sunda  bagi suku Sunda. Berikut adalah misi sosial seorang manusia menurut falsafah Sunda, antara lain:Nulung Kanu Butuh, Nalang Kanu Susah, Nyaangan Kanu Kapoekan, Ngajait Kanu Titeuleum, Nganter Kanu Sieun.
Kelima pepatah tersebut pesan utamanya adalah bahwa seorang manusia harus memiliki jiwa sosial, memiliki nurani, memiliki kepedulian, mau membantu orang yang membutuhkan bantuan. Bergetar hatinya kalau melihat orang lain menderita. Batinnya memberontak kalau melihat ketidakadilan. Kalau tidak mampu membantu minimal hatinya menolak dan mendoakan supaya manusia teraniaya segera diangkat derajatnya.
Dengan demikian, dia menjelma menjadi manusia yang berprikemanusiaan. Dalam konteks ajaran agama, sikap sosial yang baik dan berprikemanusiaan adalah penerapan dari ajaran agama. Dan dalam konteks Pancasila sebagai ideologi bangsa, solidaritas, jiwa sosial, adalah implementasi dari sila kedua Pancasila, kemanusiaan yang adil dan beradab.
Bantuan yang diberikan kepada orang lain, tentunya harus tanpa pamrih. Walau demikian, Tuhan tidak tidur. Amalan kebaikan seorang manusia akan dicatat oleh malaikat, dan menjadi investasi baginya. Â Di dunia ini berlaku hukum timbal balik. Ketika seorang manusia suka membantu orang lain, maka suatu saat diapun akan dibantu oleh orang lain. Ketik suka memudahkan urusan orang lain, maka urusannya pun akan dipermudah oleh-Nya.
Ketika saat ini solidaritas, kesetiakawanan sosial, dan budaya gotong royong semakin terkikis oleh sikap individualistis, maka nilai-nilai kearifan lokal perlu kembali digali sebagai alat untuk mengingatkan kembali misi sosial manusia hidup di dunia. Dan falsafah sunda sangat kaya dengan pesan atau nilai kemanusiaan. Ironisnya, nilai-nilai tersebut sudah banyak dilupakan oleh kalangan generasi muda Sunda sendiri, karena terbuai dan terbawa arus budaya modern.
Budaya saling menolong akan memperuat persatuan dan kesatuan, kekeluargaan, dan keharmonisan antarsesama manusia. Pengalaman Saya di lapangan memang menunjukkan bahwa menolong harus kepada yang benar-benar butuh, membantu harus kepada yang benar-benar susah. Mengapa demikian? Karena memang sebuah kewajiban, juga tingkat keberterimaannya pun akan berbeda ketika yang kita bantu atau beri tidak terlalu membutuhkannya. Oleh karena itu, berbahagialah ketika masih ada yang membutuhkan bantuan, karena di situlah ladang amal kita.
Falsafah Nulung Kanu Butuh, Nalang Kanu Susah, Nyaangan Kanu Kapoekan, Ngajait Kanu Titeuleum, Nganter Kanu Sieun harus diperkenalkan dan ditanamkan kepada generasi Sunda sejak dini agar mereka memiliki bekal ketika menjalani kehidupan. Dapat hidup bermasyarakat dengan orang lain, tidak egois, dan individualistis. Nurani mereka terasah, kepedulian mereka terbangun, menyadari bahwa hidup manusia tidak dapat melakukan segala sesuatnya sendiri, tetapi memerlukan bantuan orang lain, dan dia pun wajib membantu orang lain.
Dalam menolong pun tidak memilah-milah berdasarkan suku, ras, kelompok, dan agama. Siapapun yang memerlukan bantuan wajib ditolong. Bahkan hewan sekalipun yang memerlukan pertolongan, wajib ditolong, karena solidaritas dan kepedulian adalah sebuah nilai yang universal, berlaku untuk semua kalangan. Walau demikian, hendaklah bantuan atau pertolongan tersebut diberikan kepada orang yang paling dekat agar jauh lebih bermanfaat. Dan ajaran agama Islam pun memerintahkan demikian. Yaitu, membantu dimulai dari kerabat, anak yatim, dan anak yatim.
Nilai-nilai kearifan lokal, seperti falsafah Sunda mampu memperkuat niai-nilai Pancasila sebagai ideologi negara. Sebagaimana yang diamanatkan oleh para pendiri bangsa bahwa Pancasila merupakan pedoman hidup, dasar negara, dan perekat kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam konteks kesejahteraan, bantuan yang diberikan kepada orang lain, adalah bentuk pemerataan kesejahteraan, jangan sampai kesejahteraan hanya dimonopoli pihak tertentu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H