Budaya sunda sangat kaya dengan nilai-nilai filosofis yang digunakan oleh suku sunda sebagai panduan dalam menjalani kehidupannya. Tulisan ini terinspirasi oleh sebuah perbincangan dengan salah seorang fasilitator Bimtek K-13 di Sumedang Jawa Barat. Beliau menyampaikan kebutuhan hidup yang ingin dicapai oleh seorang manusia dari konteks falsafah Sunda.
Pertama, sakoppeun.Artinya, yang pertama dicari oleh manusia adalah sesuatu yang bisa dimakan dan diminum (sakoppeun). Dengan kata lain, makanan dan minuman adalah kebutuhan dasar manusia yang menjadi sumber energi untuk beraktivitas dan melanjutakan kehidupan.
Dalam menjalaninya, manusia harus menghindari sifat serakah, mipit teu amit ngala teu bebeja,tidak bermental gurita, sagala diambil, tidak bermental aji mumpung, tidak mengambil yang bukan haknya, dan sebagainya. Semua yang dimiliki belum tentu bisa dinikmatinya. Bisa saja justru dinikmati oleh lain. Rezeki adalah sesuatu yang sudah kita nikmati, sudah masuk ke tenggorokan. Ketika seserang memiliki harta berlimpah, jangan lupa berbagi kepada orang lain yang bernasib kurang beruntung, bersedekah, sehingga rezekinya menjadi berkah. Selian itu juga, harta yang disedekahkan bisa menolak bala (musibah) dan memperpanjang usia.
Kedua, saretteun. Artinya, yang dicari oleh manusia adalah pakaian yang digunakannya untuk menutupi auratnya (sareutteun). Disamping menutup aurat, pakaian juga untuk menjaga martabatnya sebagai manusia. Pakaian, itulah yang membedakan manusia dengan hewan. Dengan berpakaian rapih, sopan, dan menyesuaikan dengan situasi dan kondisi, seseorang akan dihormati dan berwibawa. Tidak perlu bagus atau mewah, yang penting bersih dan layak pakai.
Seorang manusia bisa saja memiliki puluhan pakaian bagus dan mahal, tetapi ketika dia meninggal, hanya memakai beberapa lembar kain kafan. Pakaian-pakaian yang menumpuk di lemari tidak ada yang dibawanya ke dalam kubur. Oleh karena itu, Saya pernah mendengar pepatah orang tua, bahwa jika seorang memiliki banyak pakaian, tetapi jarang dipakai ibadah, maka pakaian tersebut akan mendakwanya di hari akhir. Pesannya adalah tidak baik menumpuk-numpuk pakaian. Pakaian yang jarang dipakai atau sudah dipakai sama sekali tapi masih layak pakai bisa dibagikan kepada orang lain.
Ketiga, saduggeun.Artinya, kebutuhan manusia berikutnya adalah rumah yang akan digunakan untuk tempat tinggal beristirahat, termasuk tidur (saduggeun). Rumah adalah tempat untuk membentuk keluarga, mendidik anak, berkumpul dan bercengkrama antaranggota keluarga.
Dalam Islam diajarkan baiti jannati,yang artinya “rumahku adalah sorgaku.” Artinya, rumah harus dibuat senyaman mungkin. Baik nyaman dalam konteks fisik, lingkungan, maupun psikologis. Nyaman secara fisik dan lingkungan, misalnya menata ruang-ruang rumah dengan baik, mengisinya dengan sarana dan perabotan yang dibutuhkan, menjaga kebersihannya, membuat taman, menanami pohon dan bunga, ada gazebo untuk sekedar nongrong, dan sebagainya. Selain itu rumah harus aman dan nyaman, terlindungi dari pelaku pencurian atau perampokan. Faktanya sekarang harga tanah dan rumah makin mahal, bahkan banyak orang yang terancam tidak memiliki rumah karena harganya sudah semakin tidak terjangkau.
Nyaman secara psikologis artinya adalah rumah tersebut merupakan tempat berkumpul dan berkomunikasi seluruh anggota keluarga. Keluarga yang sehat secara psikologis adalah keluarga yang harmonis dan rukun, saling mengasihi, saling menyayangi, dan terjadi interaksi serta komunikasi efektif antar anggota keluarga.
Keempat, sahosseun.Artinya, manusia suatu saat akan mati. Oleh karena itu, dia harus menyiapkan bekal untuk kehidupan di alam akhirat. Sebuah pepatah bijak Sunda mengatakan bahwa kalau hewan mati untuk bilatung(belatung), sedangkan manusia mati untuk balitung(semua amal perbuatannya akan diperhitungkan/ dihisab).
Berdasarkan kepada hal tersebut, maka manusia harus benar-benar menyiapkan amal kebaikan untuk dibawa ke akhirat. Dunia adalah tempat untuk menanam kebaikan. Oleh karena itu, setiap manusia harus pandai-pandai memanfaatkan waktu untuk berbuat baik sebagai investasi untuk menyongsong kehidupan akhirat.
Selama ini yang dikenal adalah teori kebutuhan dasar dari Maslow. Sandang pangan, dan papan sebagai kebutuhan primer. Dilanjutkan dengan tingkat kebutuhan yang lebih tinggi seperti kebutuhan terhadap rasa aman dan aktualisasi diri. Dalam falsafah sunda pun, hal tersebut tergambar jelas. Hanya bedanya, disamping kebutuhan yang bersifat duniawi, juga diingatkan untuk menyiapkan untuk menghadapi alam akhirat. Artinya, perlu ada keseimbangan antara urusan duniawi dan ukhrawi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H