Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Hardiknas dan Ironi Euforia Kelulusan Siswa

4 Mei 2017   01:20 Diperbarui: 4 Mei 2017   09:17 855
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

HARDIKNAS DAN IRONI EUFORIA KELULUSAN SISWA

Oleh:

IDRIS APANDI

(Praktisi dan Pemerhati Pendidikan)

Selasa, tanggal 2 Mei 2017 diperingati Hari Pendidikan Nasional. Hari itu bertepatan dengan pengumuman kelulusan siswa  SMA/SMK. Seperti biasa, kelulusan siswa diwarnai dengan aksi curat-coret seragam siswa dan aksi konvoi sepeda motor. Entah sejak kapan tradisi itu ada. Yang pasti, pada saat Saya SMA pun tahun 90-an, aksi curat-coret seragam sudah ada sebagai ekspresi “syukur” dan kegembiraan pasca kelulusan ujian nasional.

 Pemandangan serupa Saya lihat pada saat sore ketika Saya pulang dari tempat tugas tugas di sebuah daerah di Jabar. Ratusan siswa seragam putih abu yang di curat-coret dengan pylox dan spidol, baik laki-laki maupun perempuan berkumpul di sebuah tempat. Teman-temannya pun berdatangan menggunakan sepeda motor tanpa helm dan ikut bergabung. Tampak mereka bersuka ria, tanpa peduli tatapan mata orang-orang yang memperhatikan kelakuan mereka.

Saya pun berhenti sejenak, memperhatikan mereka, sambil bertanya dalam hati, mengapa tradisi buruk ini terus terjadi? Mengapa tradisi ini terus diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya? Dari satu angkatan kelulusan ke angkatan berikutnya? Kapan hal ini dapat diakhiri? Dan bagaimana cara mengakhirinya?

Pertanyaan tersebut berkecamuk dalam hati disertai keprihatinan. Mata Saya pun terus memperhatikan ratusan siswa yang sedang bereuforia saling menyemprotkan pylox warna-warni pada seragamnya masing-masing. Sampai akhirnya Saya pun pergi, tanpa bisa berbuat banyak. Hanya bisa mengelus dada dan menyesalkan tindakan tidak terpuji tersebut.

Besok harinya, Rabu, 3 Mei 2017, Saya mendapatkan kiriman via WA foto tawuran yang melibatkan ratusan pelajar SMA pasca merayakan kelulusan di Klaten Yogyakarta yang bagi Saya sangat mengerikan sekaligus sangat memprihatinkan. Beberapa orang siswa terkena sabetan senjata tajam dan banyak siswa yang dirawat di rumah sakit.

Tanpa sensor, foto seorang siswa yang terkapar bersimbah darah beredar dengan cepat di media sosial, disertai foto-foto siswa yang dirawat di rumah sakit, sejumlah siswa yang diamankan polisi, dan senjata tajam serta gir sepedamotor yang diamankan sebagai barang bukti.

Tawuran seperti ini sudah sering terjadi, dan sudah sering memakan korban, tetapi terus berulang. Pelajar yang berusia remaja, sedang mencari jati diri, mentalnya masih labil, ingin menunjukkan “keakuannya”, ingin menunjukkan identitas dan superioritas kelompoknya. Dendam warisan antar generasi antarsekolah tertentu disinyalir menjadi pemicu tawuran. Tawuran kadang disebabkan oleh raungan knalpot sepeda motor, saling salip, saling menatap ketika berpapasan, berebut pacar, solidaritas sempit, bahkan tanpa sebab yang jelas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun