HARDIKNAS DAN IRONI EUFORIA KELULUSAN SISWA
Oleh:
IDRIS APANDI
(Praktisi dan Pemerhati Pendidikan)
Selasa, tanggal 2 Mei 2017 diperingati Hari Pendidikan Nasional. Hari itu bertepatan dengan pengumuman kelulusan siswa SMA/SMK. Seperti biasa, kelulusan siswa diwarnai dengan aksi curat-coret seragam siswa dan aksi konvoi sepeda motor. Entah sejak kapan tradisi itu ada. Yang pasti, pada saat Saya SMA pun tahun 90-an, aksi curat-coret seragam sudah ada sebagai ekspresi “syukur” dan kegembiraan pasca kelulusan ujian nasional.
Pemandangan serupa Saya lihat pada saat sore ketika Saya pulang dari tempat tugas tugas di sebuah daerah di Jabar. Ratusan siswa seragam putih abu yang di curat-coret dengan pylox dan spidol, baik laki-laki maupun perempuan berkumpul di sebuah tempat. Teman-temannya pun berdatangan menggunakan sepeda motor tanpa helm dan ikut bergabung. Tampak mereka bersuka ria, tanpa peduli tatapan mata orang-orang yang memperhatikan kelakuan mereka.
Saya pun berhenti sejenak, memperhatikan mereka, sambil bertanya dalam hati, mengapa tradisi buruk ini terus terjadi? Mengapa tradisi ini terus diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya? Dari satu angkatan kelulusan ke angkatan berikutnya? Kapan hal ini dapat diakhiri? Dan bagaimana cara mengakhirinya?
Pertanyaan tersebut berkecamuk dalam hati disertai keprihatinan. Mata Saya pun terus memperhatikan ratusan siswa yang sedang bereuforia saling menyemprotkan pylox warna-warni pada seragamnya masing-masing. Sampai akhirnya Saya pun pergi, tanpa bisa berbuat banyak. Hanya bisa mengelus dada dan menyesalkan tindakan tidak terpuji tersebut.
Besok harinya, Rabu, 3 Mei 2017, Saya mendapatkan kiriman via WA foto tawuran yang melibatkan ratusan pelajar SMA pasca merayakan kelulusan di Klaten Yogyakarta yang bagi Saya sangat mengerikan sekaligus sangat memprihatinkan. Beberapa orang siswa terkena sabetan senjata tajam dan banyak siswa yang dirawat di rumah sakit.
Tanpa sensor, foto seorang siswa yang terkapar bersimbah darah beredar dengan cepat di media sosial, disertai foto-foto siswa yang dirawat di rumah sakit, sejumlah siswa yang diamankan polisi, dan senjata tajam serta gir sepedamotor yang diamankan sebagai barang bukti.
Tawuran seperti ini sudah sering terjadi, dan sudah sering memakan korban, tetapi terus berulang. Pelajar yang berusia remaja, sedang mencari jati diri, mentalnya masih labil, ingin menunjukkan “keakuannya”, ingin menunjukkan identitas dan superioritas kelompoknya. Dendam warisan antar generasi antarsekolah tertentu disinyalir menjadi pemicu tawuran. Tawuran kadang disebabkan oleh raungan knalpot sepeda motor, saling salip, saling menatap ketika berpapasan, berebut pacar, solidaritas sempit, bahkan tanpa sebab yang jelas.