Pasca penyegaran dan pelatihan kurikulum 2013 (K-13) bagi Instruktur Nasional, Instruktur Provinsi, dan Instruktur Kabupaten/Kota, maka tahap berikutnya adalah pelatihan bagi Guru Sasaran (GS) sekolah-sekolah yang akan mengimplementasikan K-13 pada tahun pelajaran 2017/2018.
Tulisan ini adalah sebuah catatan dari pelaksanaan diklat K-13 di TPK SDN Cidomba Kecamatan Cikadu Kabupaten Cianjur yang berlangsung dari tanggal 24 s.d. 29 April 2017. Secara geografis, Kecamatan Cikadu termasu ke dalam wilayah selatan Cianjur. Jarak dari ibu kota Kabupaten ke Cikadu sepanjang 140 Km dan memerlukan waktu tempuh antara 6-7 jam perjalanan mengingat beratnya medan yang ditempuh. Kecamatan Cikadu merupakan salah satu kecamatan yang berbatasan dengan Kabupaten Bandung.
Pelaksanaan diklat GS jenjang SD di TPK SDN Cidomba Kecamatan Cikadu diikuti sebanyak 60 orang yang berasal dari 12 sekolah. Peserta dibagi menjadi 2 (dua) kelas yang terdiri  dari 30 orang guru kelas I dan 30 orang guru kelas IV. Selain guru, ada pula Kepala Sekolah yang menjadi peserta, berbaur dengan guru-guru.
Banyak peserta yang lokasinya jauh dari TPK, bahkan berbatasan dengan wilayah Kabupaten Bandung seperti kalapanunggal, mekarwangi, singkup, sukasari, dan translok. Perjalanan ke TPK SDN Cidomba ditempuh kurang lebih selama 5 (lima) jam perjalanan, naik ojeg dengan ongkos 200-250 ribu rupiah. Oleh karena itu, tentunya mereka tidak  dapat pulang-pergi (PP). Mereka terpaksa harus menginap. Dalam bayangan para pengambil kebijakan, mungkin diklat GS di TPK tidak akan ada peserta yang lokasinya dari jauh dan terpaksa menginap, tetapi realitanya tidak demikian. Oleh karena itu, tampakya perlu  ada kebijakan khusus berkaitan dengan TPK-TPK yang berada di daerah terpencil. Misalnya diberikan biaya penggantian penginapan bagi peserta yang menginap.
Panitia tidak memfasilitasi penginapan karena memang tidak ada aturannya. Oleh karena itu, peserta ada yang menginap di rumah saudaranya atau di rumah-rumah penduduk yang berkenan untuk ditumpangi. Sungguh luar biasa semangat dan pengorbanan mereka selama mengikuti diklat, karena biaya operasional menginap, makan malam, dan  sarapan pagi ditanggung oleh mereka sendiri.
Pak Dasep, seorang kepala sekolah yang menjadi peserta diklat menyampaikan bahwa setidaknya membutuhkan biaya sebesar 2 (dua) juta rupiah baginya dan beberapa orang guru dari sekolahnya untuk biaya transportasi. Itu semua dilakukan disamping karena memang sekolahnya menjadi sasaran K-13, juga sebagai bentuk pengorbanan agar guru-guru paham K-13 serta dapat mengimplementasikannya di sekolah.
Pelaksanaan diklat K-13 di TPK SDN Cidomba selain dihadapkan pada jauhnya lokasi tempat tinggal para peserta, kondisi geografis yang berat, walau katanya lokasi itu relatif lebih baik dibandingkan dengan wilayah kota kecamatan, juga kondisi listrik yang byar-pet. Bagi warga setempat, listrik mati merupakan hal yang sudah biasa. Bahkan saat hujan, lamanya bisa satu sampai dua hari. Oleh karena itu, warga yang mampu membeli genset sebagai antisipasi jika listrik mati, sedangkan bagi warga yang kurang mampu, harus rela berpadam-padam ria. Seorang warga mengatakan bahwa dia menghabiskan biaya sebesar 500 ribu rupiah untuk membeli BBM untuk mengoperasikan genset.
Panitia diklat GS pun telah menyiapkan genset untuk mengantisipasi listrik mati. Dan kekhawatiran itu terjadi. Pada hari kedua, listrik mati hampir sepanjang hari setelah nyala sebentar. Dan genset menjadi andalan sumber listrik meski kapasitasnya terbatas. Pada malam sebelumnya pun, listrik mati sampai dengan pagi hari.
Kadang ironis, di satu sisi, masyarakat di daerah perkotaan banyak yang membuang-buang listrik, menyalakan lampu di siang hari, membiarkan TV dan alat-alat listrik lainnya menyala, tapi disisi lain, ada warga yang kekurangan listrik. Inilah ketimpangan pembangunan yang masih terjadi antara wilayah perkotaan dengan pedeasaan, khususnya di daerah terpencil.
Sinyal HP dan internet termasuk barang mahal di wilayah Cikadu. Hanya operator seluler tertentu yang sinyalnya bisa ditangkap, dan itupun lemot alias kurang bagus. Ketika listrik mati, maka otomatis sinyal HP dan internet pun hilang. Hal ini menjadi kendala bagi panitia/operator karena harus menginput data secara online pada aplikasi yang telah disiapkan oleh LPMP Jawa Barat. Mereka harus sabar menunggu sinyal yang loading-nya lama. Sekolah tidak memiliki modem. Operator hanya menggunakan modem yang sinyalnya lemot. Untuk mendapatkan sinyal yang bagus, mereka bahkan harus memasang kabel panjang dan menyimpan modem di luar ruang panitia.
Pak Asep, seorang pengawas yang kebetulan menjadi pemateri diklat menyampaikan bahwa para operator kalau mengerjakan DAPODIK sengaja mengerjakannya di Cigerenem yang kebetulan dekat dengan sinyal salah satu operator seluler. Saya sendiri harus keluar ruangan kelas atau bergerak sampai ke tanah lapang mencari sinyal. Itulah perjuangan ketika bertugas di daerah terpencil. Walau demikian, hal ini menjadi kenangan yang tidak terlupakan bagi Saya.
Jeritan Hati Guru Honorer
Di tengah keterbatasan yang dihadapi pada saat diklat, Saya melihat para peserta begitu antusias mengikuti sesi demi sesi materi pelatihan. Bahkan ada yang membawa anaknya yang masih bayi ke ruang kelas karena tidak ada yang mengasuh. Mayoritas pesertanya adalah guru-guru honorer. Meski berstatus guru honorer, tetapi mereka sangat bersemangat mengikuti diklat.
Peran guru honor di sekolah-sekolah yang berada di wilayah terpencil sangat dibutuhkan karena terbatasnya jumlah guru PNS. Ada kalanya di sebuah sekolah, PNS-nya hanya satu orang, yaitu kepala sekolahnya saja, selebihnya adalah guru-guru honorer diberikan honor yang kecil setiap bulanya, rata-rata antara 250-500 ribu rupiah setiap bulan. Â Sangat tidak sebanding dengan tugas dan tanggung jawabnya.
Seorang kepala sekolah berseloroh, bahwa penghasilan guru honor kalah dibandingkan dengan seorang buruh tani. Bekerja dari pagi sampai siang, seorang buruh tani mendapatkan upah sebesar 30 ribu rupiah, dan diberi makan, jika ditotalkan selama 30 hari, maka penghasilannya mencapai 900 ribu rupiah.
Adalah kekuatan cinta terhadap pendidikan dan dedikasi terhadap tugas yang menjadi energi bagi guru-guru honor. Bahkan ada seorang guru honor yang telah berusia 68 tahun masih mengajar di sebuah SD di wilayah Kecamatan Cikadu. Walau demikian, dalam hatinya, mereka berharap mendapatkan perhatian dari pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraannya. Masih ada guru honor yang telah cukup lama mengabdi di sekolah negeri sampai dengan saat ini belum mendapatkan NUPTK dan belum disertifikasi karena terkendala tidak memiliki SK pengangkatan sebagai tenaga honorer dari Bupati, dan berharap suatu saat berharap diangkat menjadi PNS.
Di daerah terpencil sangat sulit untuk mengakses buku. Jangankan ke toko buku, untuk memfoto copy saja perlu menempuh jarak puluhan kilo meter dengan waktu tempuh berjam-jam PP. Lebih besar ongkosnya dibandingkan dengan biaya foto copy-nya. Berkaca dari kondisi tersebut, maka guru-guru di daerah perkotaan yang suka mengeluh, tampaknya harus banyak belajar dari kondisi guru-guru di daerah terpencil yang terus mengabdi di tengah keterbatasan.
Belum lagi keterbatasan dalam mengakses teknologi jika dikaitkan dengan tuntutan pembelajaran abad 21 yang harus memperkenalkan siswa pada teknologi sebagai persiapan menghadapi globalisasi dan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), dan lebih jauh lagi menyiapkan generasi emas 2045.Â
Di daerah terpencil, jangankan teknologi, sinyal HP dan internet saja susah. Harus berburu sinyal. Selain meningkatkan kualitas guru, pembangunan pendidikan memang perlu disertai dengan pembangunan infrastrukturnya agar dapat mendukung para guru dalam melaksanakan pembelajaran.
Kurikulum 2013 membawa harapan besar dalam mengubah pola pikir (mind set) guru dalam melaksanakan pembelajaran, karena sehebat apapun kurikulumnya, kuncinya ada pada guru. Berkaitan dengan hal tersebut, dengan tidak bermaksud under estimateterhadap kualitas guru di daerah terpencil yang notabene didominasi oleh tenaga honorer atau sukwan, mereka harus dapat mengejar ketertinggalan atau minimal mendekati kualitas guru-guru yang berada di wilayah perkotaan yang memang didukung teknologi, informasi, dan infrastruktur yang jauh lebih baik.Â
Penulis, Widyaiswara Lembaga Pejaminan Mutu Pendiidkan (LPMP) Jawa Barat.
Catatan:
Semua foto yang terpampang pada tulisan ini adalah dokumen pribadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H