Kadang ironis, di satu sisi, masyarakat di daerah perkotaan banyak yang membuang-buang listrik, menyalakan lampu di siang hari, membiarkan TV dan alat-alat listrik lainnya menyala, tapi disisi lain, ada warga yang kekurangan listrik. Inilah ketimpangan pembangunan yang masih terjadi antara wilayah perkotaan dengan pedeasaan, khususnya di daerah terpencil.
Sinyal HP dan internet termasuk barang mahal di wilayah Cikadu. Hanya operator seluler tertentu yang sinyalnya bisa ditangkap, dan itupun lemot alias kurang bagus. Ketika listrik mati, maka otomatis sinyal HP dan internet pun hilang. Hal ini menjadi kendala bagi panitia/operator karena harus menginput data secara online pada aplikasi yang telah disiapkan oleh LPMP Jawa Barat. Mereka harus sabar menunggu sinyal yang loading-nya lama. Sekolah tidak memiliki modem. Operator hanya menggunakan modem yang sinyalnya lemot. Untuk mendapatkan sinyal yang bagus, mereka bahkan harus memasang kabel panjang dan menyimpan modem di luar ruang panitia.
Pak Asep, seorang pengawas yang kebetulan menjadi pemateri diklat menyampaikan bahwa para operator kalau mengerjakan DAPODIK sengaja mengerjakannya di Cigerenem yang kebetulan dekat dengan sinyal salah satu operator seluler. Saya sendiri harus keluar ruangan kelas atau bergerak sampai ke tanah lapang mencari sinyal. Itulah perjuangan ketika bertugas di daerah terpencil. Walau demikian, hal ini menjadi kenangan yang tidak terlupakan bagi Saya.
Jeritan Hati Guru Honorer
Di tengah keterbatasan yang dihadapi pada saat diklat, Saya melihat para peserta begitu antusias mengikuti sesi demi sesi materi pelatihan. Bahkan ada yang membawa anaknya yang masih bayi ke ruang kelas karena tidak ada yang mengasuh. Mayoritas pesertanya adalah guru-guru honorer. Meski berstatus guru honorer, tetapi mereka sangat bersemangat mengikuti diklat.
Peran guru honor di sekolah-sekolah yang berada di wilayah terpencil sangat dibutuhkan karena terbatasnya jumlah guru PNS. Ada kalanya di sebuah sekolah, PNS-nya hanya satu orang, yaitu kepala sekolahnya saja, selebihnya adalah guru-guru honorer diberikan honor yang kecil setiap bulanya, rata-rata antara 250-500 ribu rupiah setiap bulan. Â Sangat tidak sebanding dengan tugas dan tanggung jawabnya.
Seorang kepala sekolah berseloroh, bahwa penghasilan guru honor kalah dibandingkan dengan seorang buruh tani. Bekerja dari pagi sampai siang, seorang buruh tani mendapatkan upah sebesar 30 ribu rupiah, dan diberi makan, jika ditotalkan selama 30 hari, maka penghasilannya mencapai 900 ribu rupiah.
Adalah kekuatan cinta terhadap pendidikan dan dedikasi terhadap tugas yang menjadi energi bagi guru-guru honor. Bahkan ada seorang guru honor yang telah berusia 68 tahun masih mengajar di sebuah SD di wilayah Kecamatan Cikadu. Walau demikian, dalam hatinya, mereka berharap mendapatkan perhatian dari pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraannya. Masih ada guru honor yang telah cukup lama mengabdi di sekolah negeri sampai dengan saat ini belum mendapatkan NUPTK dan belum disertifikasi karena terkendala tidak memiliki SK pengangkatan sebagai tenaga honorer dari Bupati, dan berharap suatu saat berharap diangkat menjadi PNS.
Di daerah terpencil sangat sulit untuk mengakses buku. Jangankan ke toko buku, untuk memfoto copy saja perlu menempuh jarak puluhan kilo meter dengan waktu tempuh berjam-jam PP. Lebih besar ongkosnya dibandingkan dengan biaya foto copy-nya. Berkaca dari kondisi tersebut, maka guru-guru di daerah perkotaan yang suka mengeluh, tampaknya harus banyak belajar dari kondisi guru-guru di daerah terpencil yang terus mengabdi di tengah keterbatasan.