Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menulis Buku, Berlomba-Lomba dalam Kebaikan

16 April 2017   18:49 Diperbarui: 17 April 2017   04:00 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MENULIS BUKU, BERLOMBA-LOMBA DALAM KEBAIKAN

Oleh:

IDRIS APANDI

(Widyaiswara LPMP Jawa Barat, Ketua Komunitas Pegiat Literasi Jabar/KPLJ)

Menulis buku adalah cita-cita sekaligus kebanggaan bagi yang berminat dalam dunia kepenulisan. Menulis selama ini diidentikkan dengan akivitas kalangan akademisi dan peneliti, padahal pandangan tersebut kurang tepat. Menulis dapat dilakukan saja oleh orang yang berlatar belakang pekerjaan atau profesi apapun.

Di negara maju seperti Amerika, seorang petani gandum dapat menulis buku yang yang menjelaskan teknik bertani gandum yang baik. Seorang peternak sapi menulis buku tentang cara beternak sapi yang baik. Seorang mantan narapidana menulis buku yang menceritakan tentang masa-masa suramnya di dalam tahanan, seorang mantan pecandu narkoba menulis buku tentang bagaimana perjuangannya keluar dari jerat narkoba, seorang artis atau olahragawan menulis tentang perjuangannya meraih kesuksesan, dan sebagainya. Hal tersebut tentunya bisa menjadi informasi, motivasi sekaligus inspirasi pembaca bukunya.

Di Indonesia, seiring dengan digulirkannya Gerakan Literasi oleh pemerintah khususnya dilingkungan dunia pendidikan cukup meningkatkan gairah guru untuk menulis buku.  Selain sebagai bentuk pengembangan profesi sebagai syarat kenaikan pangkat, menulis buku juga sebagai bentuk aktualisasi dan prestasi diri seorang guru, karena saat ini belum semua guru memiliki minat dan kemampuan menulis buku.

Berdasarkan pengamatan dan penngalaman penulis ketika menjadi narasumber pelatihan menulis, peserta yang hadir pada umumnya itu-itu lagi, dan cukup sedikit pendatang baru. Mengapa demikian? Penyebabnya bisa beberapa faktor. Pertama, guru belum sadar terhadap kewajibannya untuk mengembangkan profesinya. Apalagi bagi guru-guru yang telah disertifikasi.

Kedua, merasa belum mendesak untuk kenaikan pangkat karena waktunya masih jauh. Nanti kalau sudah dekat waktunya, baru bergerak, dan bahkan kadang menggunakan jalan pintas. Pola pikir ini dipegang oleh guru-guru yang menempatkan menulis Karya Tulis Ilmiah (KTI) hanya untuk kepetingan kenaikan pangkat, dan setelah merasa aman tidak terpikir lagi untuk menulis KTI.

Ketiga, sibuk, sulit mengatur waktu, karena energi guru sudah banyak terkuras mengajar dari pagi sampai dengan sore hari. Waktu malam adalah waktunya istirahat dan waktunya berkumpul bersama keluarga. Kegiatan malam juga digunakan untuk menyusun persiapan mengajar esok hari. Boro-boro memikirkan atau menyempatkan diri untuk menulis.

Keempat, malas untuk melakukannya, tidak mau keluar dari zona nyaman. Hal tersebut sebenarnya manusiawi, karena pada umumnya tidak ada orang yang mau kesenangannya terganggu atau tidak mau mendapatkan pekerjaan yang akan memberatkannya.

Diantara potret nyata bahwa menulis belum menjadi passionsebagian besar guru, ada sebagian kecil guru yang memiliki semangat dan kemauan untuk berkarya dan keluar dari zona nyaman. Mereka mau meluangkan waktu, mengeluarkan biaya dan tenaga untuk mengikuti pelatihan menulis KTI, khususnya buku. Cita-cita mereka hanya satu, ingin bisa menerbitkan buku. Hakikat bahagia bagi mereka adalah ketika mampu menulis dan menerbitkan buku. Mungkin berawal dari menulis secara “keroyokan” hingga suatu saat mampu menerbitkan buku secara mandiri.

Adanya  tren guru-guru yang ingin menerbitkan buku merupakan hal yang positif dan perlu didukung.  Saat ini untuk menerbitkan buku tidak sesulit dulu. Ketika naskah sulit menembus penerbit mayor, maka penerit indie bisa menjadi pilihan. Tinggal membayar biaya penerbitannya, sang penulis tinggal menunggu buku terbit. Urusan kebanggaan, pada dasarnya sama saja, penerbit merasa bangga kalau bukunya bisa terbit. Dan pembaca pun pada dasarnya tidak mempersoalkan buku tersebut dicetak di penerbit mayor atau penerbit indie.Ketika bukunya berkualitas, maka akan banyak dicari pembaca.

Saya melihat bahwa menulis buku adalah sarana untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, yaitu berlomba untuk menebar ilmu, ide, dan gagasan kepada khalayak. Ketika satu buku dibaca sekian banyak orang dan banyak yang merasa tercerahkan, termotivasi, dan terinspirasi, maka hal tersebut merupakan sebuah ibadah.

Target menerbitkan minimal satu buku dalam satu tahun adalah hal yang positif, tapi jika dalam satu tahun mampu menerbitkan lebih dari satu buku mengapa tidak? Hal tersebut tentunya jauh lebih baik, karena ide tidak dapat dibatasi, bisa datang kapan saja dan dimana saja. Semakin banyak membaca biasanya ide yang muncul semakin banyak.  Banyak membaca juga akan semakin meningkatkan kualitas tulisannya. Bukunya menjadi lebih berisi  dan lebih mencerahkan. Berdasarkan kepada hal tersebut, mari menulis buku sebagai sarana untuk berlomba-lomba dalam kebaikan.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun