Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kita Pribumi, Kita Indonesia, Bukan Tiko

16 April 2017   12:37 Diperbarui: 16 April 2017   22:00 1369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Unity (Ilustrasi :http://www.unitynz.org)

KITA PRIBUMI, KITA INDONESIA, BUKAN TIKO

Oleh:

IDRIS APANDI

Parasaan Saya sebenarnya gamang dan emosional ketika hendak menulis tulisan ini. Takut disebut provokatif dan menyebarkan isu SARA. Tapi rasa “kepribumian” Saya yang sudah sangat tersentuh menyebabkan Saya memutuskan menulis tulisan ini sebagai bentuk respon dari seorang umat Islam yang tidak sudi melihat ulama dihina, dan sebagai anak bangsa yang tidak suka melihat adanya etnis yang arogan terhadap etnis yang lainnya.

Istilah pribumi dan non-pribumi kembali mencuat beberapa hari yang lalu, ketika seorang mahasiswa berinisial SHS yang kebetulan keturunan etnis non-pribumi (Tionghoa) menghina dengan ucapan yang sangat kasar dan rasialis terhadap Tuan Guru Bajang (TGB) atau Muhammad Zainul Majdi, seorang pribumi, salah satu putra terbaik Indonesia, ulama yang juga menjabat sebagai Gubernut Nusa Tenggara Barat (NTB).

Sebagaimana yang diberitakan oleh banyak media, kasus tersebut terjadi TGB beserta istrinya mengantre di loket tiket Batik Air di bandara Changi Singapura (09/04/2017). TBG lalu keluar dengan tujan untuk menanyakan jadwal penerbangan. Ketika hendak masuk kembali ke dalam antrean, SHS menghardiknya karena TGB disangkanya menyerobot antrean. SHS mengucapkan kalimat “Dasar Indo, dasar Indonesia, Dasar pribumi tiko”. Setelah TGB melaporkan hal ini kepada polisi di Bandara Soekarno-Hatta, SHS pun meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Dia menulis surat permohonan maaf di atas materai, dan TGB pun telah memaafkannya, tidak ingin memperpanjang kasus tersebut.

Tiko adalah kependekan dari “Tikus Kotor”. Kata yang sangat kasar dan merendahkan harkat dan martabat manusia. Kalimat tersebut sangat tidak layak diucapkan kepada siapapun dan berasal dari etnis apapun. Tikus adalah makhluk yang biasa berdiam di tempat yang kotor, bau, lembab, gelap, banyak sampah, suka mencuri makanan, merusak bangunan dan peralatan, serta symbol dari koruptor. Sungguh sangat hina siapa pun yang disebut sebagai “Tiko”.

Walau pun telah dihina oleh seorang anak muda yang usia jauh di bawahnya, tapi TGB memaafkannya. Ini kemuliaan akhlak yang perlu menjadi teladan bagi semua anak bangsa. Walau demikian, kasus ini perlu menjadi pelajaran bagi kita semua agar menjaga emosi, tidak arogan, tidak reaktif, mengedepankan klarifikasi jika menghadapi sebuah masalah, menjaga etika, dan perlunya menghormati antarsesama manusia.

Ada pribahasa yang mengatakan bahwa “kadang sulit meminta maaf, tetapi jauh lebih sulit lagi untuk memaafkan”, “memaafkan tapi bukan berarti melupakan”. Hal ini pun berlaku bagi TGB, warga NTB, umat Islam, dan seluruh warga pribumi yang tersinggung oleh kata-kata kasar SHS.

Jika menilik KTP yang dimiliki oleh SHS, dia juga adalah seorang WNI, dia dilahirkan di Jakarta, tapi keturunan etnis Tionghoa. Di tengah masih panasnya Pilkada DKI dan kasus penodaan agama yang dilakukan oleh Ahok, yang juga memiliki etnis dan agama yang sama dengan SHS, maka hal ini semakin menyulut sentimen anti etnis Tionghoa. Di media sosial, sudah banyak berita yang beredar yang isinya mengingatkan bangkitnya etnis Tionghoa di Indonesia. Hal ini tentu sangat berbahaya dalam menjaga stabilitas dan keutuhan bangsa.

Pada masa penjajahan Belanda, warga dibagi menjadi tiga kelas, yaitu (1) golongan kulit putih (Eropa Amerika, dan Jepang), (2) golongan timur asing (Tionghoa, Arab, dan India), dan (3) golongan bumi putera (pribumi, bangsa Indonesia, warga yang dijajah). Hukum yang berlakukan bagi ketiga golongan tersebut berbeda, dan kalangan bumi putera atau pribumi adalah kalangan yang sangat rendah dihadapan dua golongan diatasnya. Kalangan bumi putera atau pribumi dipekerjakan seperti budak.

Pada masa orde lama dan orde baru, gerak etnis tionghoa dibatasi, tidak boleh ikut dalam kegiatan politik. Mereka lebih banyak bergerak dalam kegiatan ekonomi dan perdagangan. Kegiatan keagamaan pun dibatasi. Kalau pun dilaksanakan, tidak secara terbuka, hanya dilaksanakan di lingkungan mereka.

Angin segar bagi etnis tionghoa lahir pasca reformasi pada saat KH Abdurrahman Wahid menjadi Presiden RI tahun 1999. Kong Hucu diakui sebagai salah satu agama di Indonesia, etnis Tionghoa diberikan kebebasan menjalankan ibadah dan hari raya imlek dijadikan sebagai hari libur nasional. Oleh karena itu, bagi etnis Tionghoa, Gus Dur  yang juga seorang pejuang HAM, pelindung kelompok minoritas sangat berjasa, sehinggga dijadikan sebagai pahlawan.

Istilah pribumi dan non-pribumi ramai ketika terjadi kerusuhan di Jakarta tahun 1998. Banyak entis non-pribumi yang kala itu identik dengan etnis Tionghoa yang menjadi sasaran penjarahan dan tindak kekerasan. Oleh karena itu, banyak yang memilih menyelamatkan diri ke luar negeri khususnya ke Singapura.

Pascaarus reformasi, istilah pribumi dan non-pribumi sudah lama tidak terdengar. Beragam etnis yang ada di Indonesia hidup berdampingan membangun Indonesia hingga istilah ini muncul kembali ketika SHS menghina TGB beberapa waktu yang lalu. Secara pribadi SHS sudah menyesal dan meminta maaf, dan secara pribadi TGB pun telah memaafkannya.

Istilah pribumi dan non-pribumi adalah istilah yang sangat sensitif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan menurut Saya, istilah ini sudah tidak relevan lagi karena walau beda warna kulit, beda tingkat kesipitan mata, seharusnya jangan ada yang merasa ekslusif. Etnis mayoritas menyayangi etnis minoritas, dan etnis minoritas harus menghormati etnis mayoritas sehingga akan terwujud kebersamaan dan mampu hidup berdampingan.

Semoga ucapan “Dasar Indo, dasar Indonesia, Dasar pribumi tiko” cukup terucap dari mulut seorang SHS untuk pertama dan terakhir kalinya, dan tidak ada pelaku-pelaku berikutnya. Masih beruntung ucapan kasar dan rasis tersebut diucapkan kepada seorang yang bijak, bisa mengendalikan emosi, dan pemaaf seperti TGB. Kalau hal tersebut menimpa kepada orang yang tidak dapat menerima ucapan tersebut, masalahnya bisa berkepanjangan, bahkan bisa menyulut konflik sosial. 

Tawuran, konflik yang terjadi antar etnis, antar kelompok, atau antar golongan banyak terjadi gara-gara ucapan yang tidak terkendali. Pepatah bijak mengatakan, “mulutmu harimaumu”. Panasnya kondisi Pilkada DKI saat ini bukan karena Ahok seorang etnis Tionghoa atau seorang Non muslim, tapi karena tidak mampu menjaga mulutnya. Semoga SHS bisa belajar banyak dari kasus ini. Kasus ini pun tidak perlu dipolitisasi atau bahkan digeneralisasi bahkan etnis Tionghoa seperti itu. Banyak etnis Tionghoa yang juga ingin hidup berdampingan dengan etnis-etnis yang lain, bahkan menyesalkan perbuatan yang dilakukan oleh SHS.

Rajutan kebhinekaan perlu dijaga dengan mengedepankan sikap saling menghargai sesama anak bangsa. Tantangan bagi bangsa Indonesia saat ini adalah Isu SARA. Pancasila sebagai ideologi bangsa perlu dijadikan pedoman hidup oleh seluruh bangsa Indonesia untuk menangkal potensi perpecahan. Tentunya kita tidak berharap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tercabik-cabik gara-gara isu SARA.  Uni Soviet, Yugoslavia, dan Negara-negara di Afrika banyak yang hancur, terpecah belah, terjadi perang saudara gara-gara isu SARA. Kita pribumi, kita Indonesia, bukan Tiko.

Penulis, Pemerhati Masalah Sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun