Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Widyaprada Ahli Madya BBPMP Jawa Barat. Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kita Pribumi, Kita Indonesia, Bukan Tiko

16 April 2017   12:37 Diperbarui: 16 April 2017   22:00 1369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Unity (Ilustrasi :http://www.unitynz.org)

Pada masa orde lama dan orde baru, gerak etnis tionghoa dibatasi, tidak boleh ikut dalam kegiatan politik. Mereka lebih banyak bergerak dalam kegiatan ekonomi dan perdagangan. Kegiatan keagamaan pun dibatasi. Kalau pun dilaksanakan, tidak secara terbuka, hanya dilaksanakan di lingkungan mereka.

Angin segar bagi etnis tionghoa lahir pasca reformasi pada saat KH Abdurrahman Wahid menjadi Presiden RI tahun 1999. Kong Hucu diakui sebagai salah satu agama di Indonesia, etnis Tionghoa diberikan kebebasan menjalankan ibadah dan hari raya imlek dijadikan sebagai hari libur nasional. Oleh karena itu, bagi etnis Tionghoa, Gus Dur  yang juga seorang pejuang HAM, pelindung kelompok minoritas sangat berjasa, sehinggga dijadikan sebagai pahlawan.

Istilah pribumi dan non-pribumi ramai ketika terjadi kerusuhan di Jakarta tahun 1998. Banyak entis non-pribumi yang kala itu identik dengan etnis Tionghoa yang menjadi sasaran penjarahan dan tindak kekerasan. Oleh karena itu, banyak yang memilih menyelamatkan diri ke luar negeri khususnya ke Singapura.

Pascaarus reformasi, istilah pribumi dan non-pribumi sudah lama tidak terdengar. Beragam etnis yang ada di Indonesia hidup berdampingan membangun Indonesia hingga istilah ini muncul kembali ketika SHS menghina TGB beberapa waktu yang lalu. Secara pribadi SHS sudah menyesal dan meminta maaf, dan secara pribadi TGB pun telah memaafkannya.

Istilah pribumi dan non-pribumi adalah istilah yang sangat sensitif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan menurut Saya, istilah ini sudah tidak relevan lagi karena walau beda warna kulit, beda tingkat kesipitan mata, seharusnya jangan ada yang merasa ekslusif. Etnis mayoritas menyayangi etnis minoritas, dan etnis minoritas harus menghormati etnis mayoritas sehingga akan terwujud kebersamaan dan mampu hidup berdampingan.

Semoga ucapan “Dasar Indo, dasar Indonesia, Dasar pribumi tiko” cukup terucap dari mulut seorang SHS untuk pertama dan terakhir kalinya, dan tidak ada pelaku-pelaku berikutnya. Masih beruntung ucapan kasar dan rasis tersebut diucapkan kepada seorang yang bijak, bisa mengendalikan emosi, dan pemaaf seperti TGB. Kalau hal tersebut menimpa kepada orang yang tidak dapat menerima ucapan tersebut, masalahnya bisa berkepanjangan, bahkan bisa menyulut konflik sosial. 

Tawuran, konflik yang terjadi antar etnis, antar kelompok, atau antar golongan banyak terjadi gara-gara ucapan yang tidak terkendali. Pepatah bijak mengatakan, “mulutmu harimaumu”. Panasnya kondisi Pilkada DKI saat ini bukan karena Ahok seorang etnis Tionghoa atau seorang Non muslim, tapi karena tidak mampu menjaga mulutnya. Semoga SHS bisa belajar banyak dari kasus ini. Kasus ini pun tidak perlu dipolitisasi atau bahkan digeneralisasi bahkan etnis Tionghoa seperti itu. Banyak etnis Tionghoa yang juga ingin hidup berdampingan dengan etnis-etnis yang lain, bahkan menyesalkan perbuatan yang dilakukan oleh SHS.

Rajutan kebhinekaan perlu dijaga dengan mengedepankan sikap saling menghargai sesama anak bangsa. Tantangan bagi bangsa Indonesia saat ini adalah Isu SARA. Pancasila sebagai ideologi bangsa perlu dijadikan pedoman hidup oleh seluruh bangsa Indonesia untuk menangkal potensi perpecahan. Tentunya kita tidak berharap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tercabik-cabik gara-gara isu SARA.  Uni Soviet, Yugoslavia, dan Negara-negara di Afrika banyak yang hancur, terpecah belah, terjadi perang saudara gara-gara isu SARA. Kita pribumi, kita Indonesia, bukan Tiko.

Penulis, Pemerhati Masalah Sosial.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun