Ketika semua orang mencintai perpustakaan, Saya membayangkan hiruk-pikuk manusia di perpustakaan seperti hiruk pikuknya orang antri di mall atau pusat-pusat hiburan. Harapan tersebut mungkin terlalu muluk-muluk ditengah masih rendahnya minat baca dan masih rendahnya penghargaan terhadap buku.
Selain itu, mudahnya mengakses informasi melalui google membuat orang lebih banyak menggunakannya untuk mencari informasi. Mudah, cepat, dan efisien, dibandingkan mencari informasi diantara deretan buku-buku yang tebal. Mental instan, tidak mau repot, sekaligus berpadu dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi. Hal pada dasarnya tidak salah, karena naluri manusia adalah mencari sesuatu yang lebih mudah dan lebih cepat. Walau demikian, peran buku tidak dapat digantikan, karena tulisan-tulisan berkaitan dengan sebuah masalah di internet, kadang hanya sepintas dan terpotong-potong. Oleh karena itu, membaca buku tetap wajib dilakukan, dan buku tidak dapat dipisahkan dengan perpustakaan.
Perpustakaan sekolah sebagai salah satu ujung tombak dalam optimalisasi gerakan literasi jangan dibiarkan merana. Perlu adanya political will dari pemerintah dan para pemangku kepentingan dalam membangun perpustakaan sekolah yang refresentatif. Secara pribadi Saya salut terhadap para pegiat literasi yang berjuang di tengah keterbatasan berjuang untuk melayani masyarakat melalui perpustakaan keliling menggunakan berbagai media, menyisihkan hasil usaha untuk melengkapi koleksi buku perpustakaannya, dan pihak-pihak yang bersimpati menyumbang buku. Mari jadikan perpustakaan sebagai pusaran gerakan literasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H