Sejalan dengan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang saat ini sedang dijalankan oleh pemerintah, maka perlu juga dibangun sistem dan infrastrukturnya. Selain sosialiasasi dan pelatihan kepada pengawas, kepala sekolah, dan guru, juga perlu dibangun suasana yang kondusif agar GLS dapat berjalan dengan baik, sehingga sekolah dapat menjelma menjadi “Sekolah Ramah Literasi.”
Pembiasaan membaca 15 menit sebelum kegiatan pembelajaran merupakan langkah awal yang positif untuk membangun GLS. Selanjutnya bisa ditambah oleh guru melalui integrasi pada saat KBM. Penerapan pendekatan saintifik pada saat pembelajaran merupakan sarana yang efektif bagi guru untuk mengintegrasikan budaya literasi.
Melalui penerapan pendekatan saintifik, siswa diarahkan untuk mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, menalar, dan mengomunikasikan. Dalam prakteknya, siswa membaca, bertanya jawab, diskusi, mencari informasi, dan mempresentasikan laporannya, sejatinya hal tersebut adalah aktivitas literasi, karena literasi tidak hanya terbatas aktivitas membaca dan menulis, tetapi juga berbagai hal yang berkaitan untuk menambah ilmu, wawasan, dan pengetahuan seseorang dalam berbagai bidang.
Membangun sekolah ramah literasi dapat dilakukan melalui berbagai cara. Disamping melalui pembiasaan membaca selama 15 menit, juga melalui gerakan membaca yang lebih masif dan dilakukan secara bertahap. Walau demikian, perlu didukung dengan penyediaan buku, optimalisasi perpustakaan, majalah dinding (mading), pojok baca, dan sebagainya.
Penyediaan buku disamping mengharapkan adanya dropping dari pemerintah, juga sekolah dapat menyediakan melalui dana BOS, atau menyelenggarakan semacam gerakan menyumbang buku baik dari orang tua, alumni, maupun dari kalangan donatur lainnya. Atau ada strategi lain, misalnya dengan meminta siswa membaca buku-buku, majalah, koran bekas ke sekolah. Yang penting minat membaca semakin tumbuh di kalangan siswa.
Sekolah pun dapat membangun kemitraan dengan perpustakaan daerah dan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) sebagai sarana untuk berkunjung, meminjam buku, atau mungkin bisa mengagendakan agar perpustakaan keliling berkunjung ke sekolah. Dalam konteks literasi, sumber belajar sebenarnya bukan hanya buku, tetapi manusia dan lingkungan sekitar juga dapat menjadi sarana literasi.
Guru dapat mengajak siswa untuk mengobservasi lingkungan, mewawancarai tokoh atau sebaliknya mengundang tokoh ke sekolah dan menjadi “guru dadakan” kepada para siswa. Bagi sekolah-sekolah yang sudah didukung fasilitas IT yang memadai, bisa melengkapi lingkungan sekolah dengan Wi-Fi yang dapat diakses untuk menunjang kegiatan berliterasi.
Dari sisi budaya sekolah, untuk membangun sekolah ramah literasi diperlukan adanya semangat pembelajar dari semua warga sekolah (kepala sekolah, guru, dan tenaga kependidikan), sehingga akan terbentuk sekolah sebagai organisasi pembelajar. Karakter warga sekolah sebagai pembelajar adalah haus akan ilmu, wawasan, dan pengalaman baru. Dengan demikian, mereka akan menjadi manusia yang menghargai ilmu pengetahuan.
Salah satu upaya membangun sekolah ramah literasi adalah menyediakan alamat atau laman perpustakaan atau sumber informasi yang dapat dikunjungi oleh siswa, poster-poster untuk membangkitkan minat membaca, lomba-lomba, pameran, atau kegiatan lain yang membuat GLS semakin marak.
Suasana sekolah ramah literasi dari mulai pintu gerbang sampai dengan bagian belakang sekolah mencerminkan sebagai lingkungan kondusif terhadap budaya literasi. Ada berbagai informasi, slogan-slogan, kata-kata mutiara, yang menempel di dinding sekolah. Nama-nama pohon atau bunga yang ada di sekolah diberi nama latin, disertai nama Indonesia atau menggunakan bahasa asing untuk menambah pengetahuan siswa. Apalagi kalau di taman dan disudut-sudut sekolah ada tempat yang nyaman untuk membaca. Hal tersebut akan membuat setiap warga sekolah dan pengunjung akan merasa betah.
Membangun sekolah ramah literasi tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh komitmen, kerja keras, kesungguhan, dan kerjasama semua pihak, termasuk dukungan dana karena pembangunan apapun tidak dapat berjalan secara optimal tanpa dukungan dana. Oleh karena itu, disamping sekolah harus menganggarkan biaya, juga sekolah harus pintar mencari donatur, membangun kemitraan dengan berbagai pihak agar sekolah ramah literasi dapat terwujud.