GERAKAN LITERASI MENGALAMI STAGNASI?
Oleh:
IDRIS APANDI
(Widyaiswara LPMP Jawa Barat, Ketua Komunitas Pegiat Literasi Jabar/ KPLJ)
Gerakan Literasi Sekolah (GLS) diluncurkan seiring dengan diterbitkannya Permendikbud Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah melakukan kegiatan untuk membangun gerakan tersebut untuk meningkatkan minat baca masyarakat utamanya di kalangan sekolah.
Sosialisasi, Bimbingan Teknis (Bimtek), dan berbagai kegiatan lainnya dilakukan untuk menumbuhkan minat minat baca tersebut. Selain itu, pemerintah membuat semacam sekolah percontohan (pilot project) sebagai sekolah penggerak literasi. Hal tersebut pada dasarnya hal yang baik. Semangat guru penggerak literasi dan semangat siswa yang dibinanya patut diberi apresiasi. Walau demikian, semangat mereka perlu dipelihara, jangan dibiarkan sendiri, tetapi perlu didukung dan dibina, utamanya oleh pemerintah dan Kepala Sekolah.
Diakui atau tidak, saat ini GLS masih tahap euforia, penuh dengan seremonial, dan acara-acara formalitas. Salam literasi menggema disertai foto-foto selfie. Sebagai langkah awal tidak menjadi masalah. Biarlah hal itu berproses. Yang perlu dinantikan adalah kelanjutannya. Jangan sampai hingar bingar GLS hanya diawal, tetapi setelah itu mulai kehabisan energi dan akhirnya melempem. Hal tersebut bisa saja terjadi jika aktivitas membaca belum terinternalisasi dalam diri warga sekolah. Membaca masih harus dipaksa-paksa, harus dikondisikan, belum jadi kebutuhan bahkan kebiasaan.
Pengembangan GLS harus disesuaikan dengan jenjang pendidikan. Misalnya pada jumlah dan jenis buku yang wajib dibaca oleh siswa. Dan menurut Saya, jangan terlalu banyak tugas yang justru memberatkan siswa. Bagaimana siswa mau menyenangi aktivitas membaca kalau banyak tugas yang harus dikerjakannya? Misalnya membuat reviewini dan itu. Biarlah mereka mulai menyenangi dulu membaca, jangan diminta tagihan ini dan itu.
Jika demikian, mereka justru akan menganggap GLS sebagai beban, karena banyak tugas dari guru-guru mata pelajaran lain yang juga harus dikerjakan. Oleh karena itu, perlu dilakukan pendekatan secara persuasif dan motivatif agar para siswa mau membaca bukan atas perintah atau pengondisian, tetapi atas keinginannya sendiri. Walau demikian, hal tersebut bukan hal yang mudah, karena kegiatan membaca harus bersaing dengan godaan gadget yang sudah menjadi kebutuhan dan gaya hidup.
Dukungan pemerintah pun harus total dalam menyukseskan GLS. Bukan hanya sekedar melaksanakan kegiatan sosialisasi atau pelatihan, sementara pengadaan buku dan penyediaan sarana dan parasarana seperti perustakaan kurang diperhatikan. Jika buku-buku bacaan tidak ada yang baru, dikhawatirkan siswa merasa bosan. Oleh karena itu, perlu langkah-langkah konkrit untuk mengantisipasi hal tersebut. Misalnya penyediaan buku baru, baik dropping dari pemerintah maupun pengadaan menggunakan anggaran sekolah.
Agar GLS dapat diterima oleh semua pihak terkait, perlu juga dilakukan kepada berbagai pemangku kepentingan di luar warga sekolah seperti Komite Sekolah, orang tua, dan aparat pemerintah setempat. Ketika mendapat informasi yang jelas dan mudah dipahami, siapa tahu akan membantu kesuksesan GLS, misalnya dengan menyumbang buku ke sekolah atau dalam bentuk lainnya.