Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Penguatan Gerakan Literasi Pada Jenjang Sekolah Dasar

16 Maret 2017   18:49 Diperbarui: 4 April 2017   17:44 15020
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gerakan Literasi Sekolah (GLS) saat ini tengah dilakukan oleh pemerintah pada berbagai jenjang pendidikan, tidak terkecuali pada jenjang Sekolah Dasar (SD). SD merupakan awal dari pendidikan dasar 9 (sembilan) tahun, sehingga gerakan penumbuhan minat baca sangat strategis untuk dilakukan. Walau demikian, sebelum masuk SD, ada anak-anak yang telah cukup akrab dengan buku pada masa Pendidikan Usia Dini (PAUD).

Optimalisasi gerakan gerakan literasi pada jenjang SD perlu didukung dan dioptimalkan. Kegiatannya fokus pada penumbuhan dan pembiasaan membaca. Harapannya, ketika seorang siswa sudah terbiasa membaca sejak dini, maka pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi, bahkan setelah bekerja dan berkeluarga pun menjadi manusia yang hobi membaca. Dengan kata lain, pembiasaan membaca di SD akan menjadi fondasi pada seorang siswa. Ketika membaca telah menjadi hobi, maka hal tersebut akan dilakukan dengan penuh suka cita dan penuh cinta.

Pentingnya optimalisasi gerakan literasi pada jenjang SD didasarkan pada masih rendahnya literasi pada jenjang tersebut. Berdasarkan hasil test Indonesian National Assessment Programme (INAP), Tes yang mengambil sampel siswa kelas 4 di 34 provinsi menunjukkan bahwa Kemampuan literasi membaca, literasi sains, dan literasi matematika siswa masih sangat rendah.

Pada literasi membaca, siswa memperoleh skor rendah pada domain kognitif C3 (menginterpretasi dan mengintegrasikan ide dan informasi), yaitu 29.65, dan C4 (mengevaluasi konten, bahasa, dan elemen-elemen teks), yaitu 22.25. Siswa tampak kurang menguasai teks sastra yang dibuktikan dengan rendahnya skor membaca teks ini (27.65) dibandingkan dengan teks nonsastra (43.34).  Siswa kesulitan membaca teks panjang yang biasanya diberikan pada topik bacaan sastra dan teks terkait ranah C3 dan C4. Namun demikian, siswa mampu menjawab pertanyaan terkait lingkungan terdekatnya dengan baik. Siswa kesulitan menjawab pertanyaan yang menuntut penafsiran, kemampuan memparafrase teks bacaan, dan imajinasi (misalnya pertanyaan terkait perasaan tokoh cerita). Selain itu, pertanyaan mengandung istilah teknis juga sulit dipahami.

Pada literasi matematika, kemampuan penalaran matematika siswa rendah, terutama pada pemahaman konsep matematika, penerapan, dan penalaran matematika. Hal ini membuktikan bahwa pengajaran matematika masih belum bermakna dan kurang terkait dengan kehidupan sehari-hari siswa. Siswa juga kesulitan memahami representasi visual atau model dalam penjabaran konsepsi matematika.

Pada literasi sains, Siswa kesulitan memahami dan menginterpretasi gambar terkait konsepsi saintifik fisika dan ilmu hayat. Sama halnya dengan matematika, kemampuan siswa dalam penerapan dan penalaran saintifik masih lemah. Meskipun siswa menunjukkan pemahaman terhadap soal yang terkait dengan kehidupan sehari-harinya, siswa kurang memahami konsep secara bermakna dan masih terpaku pada penjelasan pada buku teks.

Berdasarkan kepada hal tersebut di atas, maka Pembelajaran literasi di SD diperlukan untuk meningkatkan pemahaman terhadap teks bacaan dalam semua mata pelajaran dan meningkatkan kemampuan berpikir tinggi siswa (Higher Order Thinking Skill/HOTS).

Gerakan literasi pada jenjang SD dihadapkan pada sejumlah tantangan. Pertama, masih terbatasnya perpustakaan. Dirjen Dikdasmen dalam kesempatan memberikan sambutan pada kegiatan Bimbingan Teknis (Bimtek) Tim Pengembangan Kurikulum 2013 SD di Hotel Allium Tangerang tanggal 14 Maret 2017 mengatakan bahwa masih ada 40% SD yang belum memiliki perpustakaan. Walaupun ada, perpustakaan kadang kurang representatif, seadanya, tidak ada ruangan khusus. Hanya menggunakan ruangan yang disekat, dihalangi oleh lemari buku.

Ada sekolah kalaupun memiliki ruang khusus perpustakaaan, tapi koleksinya bukunya terbatas, sudah lama tidak menambah koleksi buku baru, kurang terawat, berdebu, dan tidak memiliki petugas khusus. Bahkan kadang ada buku yang segelnya belum dibuka. Saya suka melihat, buku-buku bagus seperti ensiklopedia justru bukan berada di perpustakaan, tapi di ruang Kepala Sekolah. Hal ini tentunya mengurangi akses siswa untuk membaca buku. Koleksi buku-buku yang tidak ada penambahan, berdampak pada  rendahnya minat siswa untuk berkunjung ke perpustakaan.

Kedua, manajemen perpustakaan yang belum optimal.Sekolah-sekolah yang memiliki perpustakaan belum memiliki tenaga pustakawan yang khusus. Pengelolaan perpustakaan diserahkan kepada salah seorang guru atau tenaga administrasi, dan belum tentu pula memiliki dalam keilmuan mengelola perpustakaan. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya personil di sekolah sehingga memanfaatkan personil yang ada.

Ketiga, masih adanya anggapan bahwa urusan literasi hanya menjadi tanggung jawab guru bahasa.Anggapan ini muncul karena seolah-olah literasi adalah urusan baca dan tulis yang identik dengan pekerjaan guru bahasa, sedangkan guru yang lain, kurang memiliki kepedulian. Padahal, literasi bukan hanya berkaitan dengan aktivitas baca dan tulis saja (keberaksaraan), tetapi juga berkaitan dengan kemelekan (keberpahaman) pada berbagai aspek kehidupan seperti sains, teknologi, informasi, hukum, seni, budaya, kesehatan, ekonomi, lalu lintas, olah raga, agama, lingkungan, dan sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun