Oleh:
IDRIS APANDI
Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Guru dan Dosen menyebutkan bahwa Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Sebagai tenaga profesional, guru diwajibkan untuk meningkatkan profesionalismenya. Salah satu bentuknya adalah menulis Karya Tulis Ilmiah (KTI). KTI juga merupakan salah satu syarat kenaikan pangkat. Oleh karena itu, tidak pilihan lain, guru harus mulai belajar dan membiasakan menulis KTI.
Gayung pun bersambut. Pada awalnya, banyak guru yang keberatan dengan kewajiban menulis karena dinilai mempersulit dan menghambat peningkatan karir mereka. Tetapi, dalam perkembangannya, gairah dan semangat guru dala menulis KTI mulai bangkit dan cenderung makin semarak. Berbagai organisasi profesi guru menyelenggarkan pelatihan menulis, baik secara tatap muka maupun secara online.
Guru-guru yang pada awalnya minder, kurang percaya diri menulis, satu per satu mulai memperlihatkan karya-karyanya, menerbitkan buku, walau masih secara “keroyokan” berupa bunga rampai, dan menerbitkan secara self publishing alias mandiri. Tapi ada juga yang telah menerbitkan buku secara mandiri, bahkan sudah beredar secara nasional.
Walau ada pihak yang menganggap bahwa buku yang dicetak sendiri kurang bergengsi dibandingkan dengan buku yang diterbitkan oleh penerbit mayor, menurut Saya, yang penting substansinya, bukan siapa yang menerbitkannya. Kualitas buku self publishing belum tentu lebih rendah dari buku yang diterbitkan oleh penerbit mayor, atau sebaliknya.
Sebuah buku untuk bisa diterbitkan disebuah penerbit mayor, bukan hal yang mudah. Ada proses penelaahan dan pertimbangan bisnis yang dikedepankan oleh penerbit. Apakah naskah buku ini memiliki keunikan? Memiliki sesuatu ilmu atau informasi yang baru? apakah cara penyajiannya menarik? Siapa segmen pembaca yang menjadi sasarannya? apakah akan laku dijual? dan sebagainya. Oleh karena itu, prosesnya bisa berbulan-bulan. Dan kadang sang penulis harus kecewa karena naskah bukunya ditolak penerbit. Ada yang mencoba menerbitkannya ke penerbit yang lain, dan ada yang menerbitkannya sendiri.
Banyak jenis buku yang bisa ditulis oleh guru. Misalnya menulis buku referensi, buku mata pelajaran, buku suplemen, buku cerita, buku hasil penelitian, buku best practices,dan sebagainya. Intinya, tergantung kepada bidang mapel yang diampu, dan minatnya. Intinya, guru diharapkan dapat membangun dan mengembangkan budaya menulis.
Banyak pakar dan trainer mengatakan bahwa menulis itu mudah. Tujuannya agar memotivasi peserta pelatihan supaya menulis. Tapi dalam prakteknya, menulis itu sulit, apalagi kalau sudah dihadapkan pada sejumlah aturan yang kaku dan mengikat. Ide-ide sulit untuk berkembang. Oleh karena itu, pada tahap awal, guru jangan dikekang dengan berbagai aturan, tetapi berilah kebebasan untuk berekspresi, menuangkan ide, gagasan, dan pengalamannya, hingga suatu saat dia menemukan gaya atau karakter menulisnya itu sendiri. Harus banyak latihan dan melawan kemalasan. Selain itu, harus punya kepercayaan, siap mental menghadapi kritikan, dan hal yang menjadi syarat mutlak agar bisa menulis adalah harus banyak membaca.
Semangat guru untuk menulis buku perlu diapresiasi, karena sebelumnya banyak guru yang menganggap bahwa menulis buku adalah sebuah yang mustahil dilakukan, terlanjur memvonis diri bukan ahli, kurang memiliki kemampuan, dan takut dibully. Pada tahap pemula, jangan dulu bicara kualitas. Biarkan hal tersebut berproses. Bagi Saya, mau menulis saja sudah jadi hal luar biasa. Dia mau keluar dari zona nyaman, dan keluar dari belenggu ketakutan.