Oleh:
IDRIS APANDI
Gerakan literasi saat ini sudah menjadi menjadi gerakan massal. Oleh karena itu, setiap kalangan harus ikut aktif berpartisipasi, termasuk kaum perempuan. Menurut Saya, perempuan memiliki peran yang sangat strategis. Semangat emansipasi telah mendorong kaum perempuan untuk memiliki kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki berkiprah pada berbagai bidang pembangunan.
Di Rumah tangga, perempuan sebagai seorang ibu bagi anak-anaknya, guru sekolah, aktivis, dan pemimpin pun banyak dari kalangan perempuan. Di rumah, seorang ibu dekat dengan anak-anaknya. Dia mendidik anak-anaknya. Dia adalah orang pertama memperkenalkan yang memperkanalkan huruf dan angka, mengajari membaca, menulis, dan mengaji.
Di sekolah, guru-guru banyak kaum perempuan. Apalagi di jenjang SD pada kelas rendah (I-III). Para siswa mendapatkan fondasi untuk membaca, menulis, dan berhitung. Selain itu, para aktivis Gerakan Literasi Sekolah (GLS) banyak didominasi oleh ibu-ibu guru. Mereka semangat untuk menyosialisasikan, menggerakkan, menumbuhkan, dan mengembangkan gerakan literasi di sekolah tempatnya bertugas.
Banyak juga penulis perempuan seperti Asma Nadia, Dewi “Dee” Lestari, Djenar Maesa Ayu yang sudah malang melintang dunia kepenulisan di Indonesia. Karya-karyanya sudah banyak dinikmati para pembacanya, utamanya para penyuka fiksi. Kepala Daerah, para kepala Dinas banyak yang menggawangi gerakan literasi ini. Di level internasional, ada penulis perempuan yang sangat terkenal, yaitu JK Rowling, sang penulis novel best seller Harry Potter.
Raden Ajeng Kartini, pada masa perjuangan kemerdekaan RI, menyuarakan isi hatinya melalui surat-surat yang dikirimnya kepada seorang temannya di negeri Belanda. Menurut Saya, ini adalah momentum penting peran seorang perempuan menggerakkan dunia literasi. RA Kartini kebetulan hidup dalam keluarga terpandang sehingga dia mendapatkan kesempatan untuk sekolah. Surat-suratnya tersebut berhasil melahirkan gerakan emansipasi, menempatkan perempuan Indonesia setara dengan kaum laki-laki.
Peran perempuan dalam literasi bukan hanya kaitannya dengan membaca dan menulis, tetapi juga dalam dimensi yang lain. Perempuan mengajari anaknya memasak, membuat kue, mencuci piring, pakaian, menjahit, dan sebagainya merupakan bagian daripada literasi.
Pengalaman Saya menjadi admin di grup WA Komunitas Pegiat Literasi Jabar (KPLJ), anggotanya 80% adalah kaum perempuan. Mereka sangat aktif dan semangat menulis, baik menulis artikel, puisi, maupun cerpen. Setiap hari ratusan chat terjadi dalam grup WA tersebut. Karya-karya mereka mengalir seperti air, bahkan begitu deras.
Saya sebagai admin merasa senang, karena grup tersebut menjadi sarana penyaluran minat dan hobi mereka menulis. Anggota grup ada yang memang sudah cukup mahir menulis, ada yang masih belajar menulis, dan ada yang baru memberanikan diri menulis.
Puisi demi puisi saling berbalasan, cerita demi cerita saling sambung dan saling melengkapi. Hanya satu kata yang dapat Saya katakan, luar biasa terhadap kaum perempuan yang ada grup tersebut. Mereka adalah perempuan-perempuan potensial dalam menulis dan menggerakkan menulis. “Virus” menulis telah merasuk ke dalam diri mereka. Dengan kata lain, mereka telah “kecanduan” menulis. Jika terlewatkan chat, maka akan merasa menyesal. Bahkan ada yang secara jujur mengakui “tersandera” oleh gup WA KPLJ. Jika tidak membuka grup WA KPLJ, serasa ada yang kurang, dan penasaran kalau tidak membaca semua chatnya, karena hampir dipastikan isinya begitu dinamis, berisi, dan bermanfaat. Hampir tidak ada copas dan Hoax di grup.