Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Integritas dan Filosofi Istana Pasir

28 Januari 2017   02:19 Diperbarui: 28 Januari 2017   03:06 655
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Patrialis Akbar dan Akil Mochtar (pikiran-rakyat.com)

Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar terjerat Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di sebuah hotel di Jakarta, 26 Januari 2017. Bersamanya juga diamankan beberapa orang. Patrialis ditangkap KPK atas dugaan suap atas putusan uji materi UU No. 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Atas kasus yang menjeratnya tersebut, kini, MK telah menonaktifkan Patrialis Akbar.

Patrialis Akbar merupakan hakim MK kedua yang ditangkap setelah kasus yang menimpa ketua MK Akil Mochtar ditangkap KPK tahun 2013 berkaitan dengan suap gugatan Pilkada Kabupaten Gunung Mas Kalimantan Tengah. Hal ini tentunya memprihatinkan, memalukan, sekaligus memilukan, karena MK adalah benteng terakhir dalam penegakkan hukum di Indonesia.

Hakim-hakim MK dipilih melalui proses yang panjang dan ketat, bahkan bisa dikatakan bahwa hakim-hakim MK adalah manusia setengah dewa. Hakim yang bukan sebagai penegak hukum, tapi juga berjiwa negarawan. Sosok manusia yang telah lepas dari kepentingan dunia, yang dipikirkannya hanya kepentingan bangsa dan negara.

Hakim-hakim MK telah digaji besar dan mendapatkan aneka fasilitas. Hal itu bertujuan agar mereka bisa fokus bekerja, tidak tergiur korupsi dan suap. Tapi apa hendak dikata. Gaji yang besar dan berbagai fasilitas yang diterima tidak membuatnya terhindar dari suap. Sebelum kasus Patrialis Akbar, pejabat tinggi negara yang terkena OTT KPK adalah mantan ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman atas dugaan suap kasus gula impor tahun 2016. Berikutnya, 20 Januari 2017 mantan Direktur utama Garuda Indonesia Emirsyah Satar ditetapkan menjadi tersangka atas dugaan menerima suap dari Rolls-Royce pada pengadaan mesin pesawat Garuda.

Miris memang. Seiring dengan banyaknya politisi, pejabat, dan aparat penegak hukum yang terjerat kasus korupsi dan suap, rakyat semakin kehilangan kepercayaan kepada lembaga politik, BUMN, dan institusi penegak hukum. Tindakan main hakim sendiri kadang menjadi alasan pembenaran yang dilakukan atas kekecewaan tersebut.

Integritas

Dari berbagai kasus korupsi dan suap yang menimpa pejabat, politisi, dan aparat penegak hukum, ada satu kata kunci yang patut menjadi perhatian, yaitu integritas. Integritas adalah adanya kesesuaian antara apa yang diucapkan dengan yang dilakukan. Saat ini, integritas makin mahal, karena melakukannya tidak semudah mengatakannya. Banyak pejabat, politisi, dan aparat penegak hukum yang integritasnya tergerus oleh keserakahan, kemilau harta, tahta, dan wanita.

Banyak diantara mereka yang tertangkap KPK justru adalah sosok-sosok yang mengampanyekan antikorupsi, dan mendukung hukuman maksimal bahkan hukuman mati untuk koruptor. Dan kini, mereka sendiri yang terkena kasus korupsi. Apakah mereka akan bersedia menerima hukuman maksimal sebagaimana yang pernah mereka katakan? Atau nyali mereka mendadak ciut?

Dalam penegakkan hukum, asas praduga tidak bersalah memang perlu dijunjung tinggi, tetapi KPK tidak sembarangan menangkap seseorang. Biasanya melalui sebuah investigasi awal hingga memiliki bukti yang kuat, baru seseorang ditangkap atau ditetapkan sebagai tersangka.

Istana Pasir

Ketika seseorang terjerat kasus hukum, maka integritasnya pun runtuh. Ibarat sebuah istana pasir yang telah dengan susah payah dibangun, hancur dalam sekali deburan ombak. Butuh waktu lama untuk membangunnya kembali. Runtuhnya integritas berdampak terhadap hilangnya kepercayaan.

Sebuah pribahasa mengatakan “sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tidak percaya.” Artinya, sekali orang berbohong atau berbuat jahat, maka orang tidak takkan percaya selamanya.” Ketika seseorang telah selesai menjalani hukuman penjara, hukuman sosial masih dan terus berlangsung. Walau yang bersangkutan telah menebus kesalahannya dan telah bertaubat, status “mantan napi koruptor” tetap melekat dalam dirinya.

Integritas dan filosofi istana pasir hendaknya menjadi pelajaran bagi semua pihak, utamanya bagi pejabat, politisi, dan aparat penegak hukum. Integritas yang terlihat kuat dapat menjadi sangat rapuh ketika terpesona oleh kemilau atau iming-iming harta, tahta, dan wanita. Integritas, hal yang sulit untuk dibangun, tetapi yang lebih sulit bahkan sangat sulit adalah mempertahankannya, karena tidak tahu kapan seseorang akan tergelincir dan terjerembab dalam kubangan kehinaan. Dibutuhkan hati dan tekad yang sangat kuat, ingat sumpah jabatan, serta terus meminta perlindungan pada dzat yang Maha Kuasa agar tetap teguh memegang integritas.

Penulis, Pemerhati Masalah Sosial. - Oleh: IDRIS APANDI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun