Oleh:
IDRIS APANDI
Tulisan ini terinspirasi dari buku Mengayuh Negeri dengan Cinta Cetakan V Tahun 2014 yang ditulis Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi yang akrab disapa Kang Dedi. Pada bukunya, Kang Dedi menyebutkan bahwa Beliau setiap Selasa dan Jumat senang berkeliling kota dengan mengayuh sepeda kumbang. Disamping menyehatkan, bersepeda juga dapat merasakan angin yang bersemilir menyentuh tubuh. Selain itu, sekaligus dapat mengamati kota dan bertemu dengan banyak orang. Dnegan demikian, seorang pemimpin dapat bersosialisasi dan berdialog dengan rakyatnya.
Bagi sebagian orang, fungsi sepeda hanya sebagai sarana transportasi. Tetapi bagi Kang Dedi, ada nilai-nilai filosofis yang dapat diambil dari sebuah sepeda kumbang dalam memimpin rakyat dan mengelola sebuah pemerintahan. Berikut adalah beberapa nilai yang Saya ambil dari pemikiran Kang Dedi tersebut. Pertama, mengayuh dengan penuh keseimbangan. Ketika mengayuh sepeda, maka harus mampu menguasai keseimbangannya agar tidak jatuh. Sepeda pun harus dikayuh agar dapat terus berjalan. Pada kayuhan awal biasanya agar berat dan agar sulit menjaga keseimbangan, tetapi setelah itu, kayuhan terasa lebih ringan dan lebih seimbang.
Intinya, diri harus dikendalikan agar seimbang, dan hidup adalah perjuangan. Orang yang belajar naik sepeda pasti gagaleongan¸pernah jatuh, dan bangun lagi sampai akhirnya bisa seimbang dan lancar mengendarainya. Begitupun dalam memimpin masyarakat yang beragam latar belakang dan beragam karakter, tentunya diperlukan seni dalam memimpin.
Supaya sepeda bisa seimbang dan bisa terus bergerak, maka sepeda harus terus dikayuh. Maka kehidupan pun demikian, harus terus bergerak, sesekali boleh berhenti untuk menyiapkan rencana berikutnya. Kehidupan yang bergerak adalah kehidupan yang dinamis, dan kehidupan yang dinamis akan dihadapkan pada tantangan dan persoalan yang harus diselesaikan. Mengayuh sepeda juga membutuhkan energi. Oleh karena itu, manusia harus kerja keras agar kehidupan ini dapat bergerak dan dapat bertahan ditengah semakin ketatnya dan kerasnya persaingan hidup.
Dalam konteks kepemimpinan, menurut Kang Dedi, mengayuh adalah menggerakkan negeri ke masa depan, melewati naik turunnya perjalanan kehidupan. Mengayuh negeri adalah menggerakkan seluruh warga dengan seluruh persoalannya agar sanggup menempuh jarak, menuju cita-cita, dan menghasilkan perubahan secara terus menerus. Mengayuh negeri adalah membawa negeri menuju cita-cita mulia dengan cara terus bekerja sama dengan seluruh unsur bangsa tanpa ada satu pun yang terlewat. (Dedi Mulyadi, 2009 : vii).
Kedua, stang dan pengendalian diri. Stang merupakan elemen penting sepeda. Stang dipegang dan dikendalikan oleh sang pengendara. Orang yang pertama kali belajar sepeda tentunya harus bisa memegang, mengendalikan, sekaligus “menaklukkan” stangnya. Awalnya susah dikendalikan, tetapi lama kelamaan bisa beradaptasi dan menjadi nyaman. Menurut Saya, dalam konteks kehidupan, stang diibaratkan sebagai ajaran agama yang menjadi pedoman hidup yang harus dipegang teguh agar tidak jatuh.
Pada stang terdapat rem, bel, dan lampu jalan. Peran rem sangat penting. Rem adalah alat untuk mengurangi kecepatan atau bahkan berhenti. Banyak kecelakaan terhadi akibat rem blong. Manusia pun banyak yang celaka karena tidak mengerem hawa nafsunya.
Bel adalah alat komunikasi. Digunakan untuk mengingatkan atau memberi tahu kita. Bel dibunyikan ketika ada yang menghalangi laju atau ketika berpapasan dengan orang lain. Dalam konteks kehidupan, bel adalah gambaran pentingnya manusia untuk berkomunikasi dengan orang lain, karena selain sebagai individu, manusia juga adalah makhluk sosial. Selain itu, bel ibarat karya sebagai bukti atau pengingat keberadaan seorang manusia.
Lampu jalan digunakan sebagai alat penerang dikala malam. Menurut Kang Dedi, lampu jalan adalah contoh yang tepat untuk cahaya hasil usaha sendiri. Lampu sepeda tidak menggunakan baterai, tidak juga aki. Lampu akan menyala ketika dinamonya dilekatkan dengan ban depan sepeda, dinamo berputar mengikuti gerak putar sepeda. Tentu saja ada beban yang semakin memberat, laju ban akan sedikit menghambat demi menghasilkan cahaya penerang jalan.
Pada lampu jalan kita belajar mengenai kearifan untuk menerangi kehidupan dari hasil upaya sendiri. Tidak ada hak kita untuk menyalahkan kehidupan ketika menunjukkan ketidakjelasan. Tugas kita adalah membuat hidup mendukung tujuan dengan upaya sendiri.
Ban bisa digunakan karena ada diisi angin, pentilnya atau bannya itu sendiri tidak bocor, velgnya bagus, jari-jarinya menyambungkan antara velg dengan poros untuk berputar. Berarti di sini adalah keharmonisan dan saling dukung antara elemen yang satu dengan yang lain.
Ibarat sepeda, pembangunan harus dikendalikan supaya tidak jatuh atau terjerumus. Harus penuh kehatian-hatian, harus pandai mengatur ritme atau kecepatan. Kapan jalan sepeda harus dikayuh dengan cepat dan kapan lambat. Perlu strategi mengendarainya di jalan yang garijlug alias jalan yang rusak dan jalan yang rusak.
Karena pembangunan sebagai sebuah sistem, maka keberhasilan pun adalah kontribusi semua pihak. Walau demikian, ada figur yang perannya sangat penting, yaitu sang pengendara sepeda atau pemimpin. Sang pengendaralah yang akan mengendalikan lajunya sepeda, dan dia bertanggung jawab membawa sepeda selamat sampai ke tempat tujuan.
Keempat, peran standar sepeda. Standar adalah alat yang digunakan untuk menjaga sepeda tetap berdiri ketika berhenti atau tidak digunakan. Menurut Dedi Mulyadi, keberadaan standar sangat dibutuhkan. Melalu standar ini, kita dapat mengukur kapan saatnya diam sambil bergerak dan kapan saatnya bergerak dengan kesiapan untuk berhenti di titik tertentu. Tanpa standar, sepeda akan cepat rusak.
Kelima, rasa cinta. Ketika mengayuh sepeda dengan cinta, maka beban yang berat akan terasa ringan. Walau keringat membasahi badan, energi terkuras, kecapaian, tetapi perjalanan begitu dinikmati. Mengapa demikian? Karena dilakukan dengan penuh cinta. Demi cinta, seseorang rela berkorban. Ketika cinta kepada sepeda kumbang, tentunya sepeda itu akan dirawat dan mengendarainya dengan hati-hati. Begitupun ketika sebuah bangsa cinta kepada negerinya, maka harus merawatnya dengan baik. Mari cermikan cinta dalam setiap aktivitas dan kegiatan kita.
Penulis, Praktisi Pendidikan, Pemerhati Masalah Sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H