Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nak, Kamu Rangking Berapa?

22 Desember 2016   15:54 Diperbarui: 22 Desember 2016   16:11 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada akhir Desember, kegiatan belajar pada semester pertama telah selesai. Setelah sekitar lima bulan siswa mengikuti kegiatan belajar, lalu mengikuti Ujian Akhir Semester (UAS), dan dibagi buku raport. Buku raport berisi nilai dan gambaran capaian kompetensi seorang siswa dalam satu semester.

Proses mengolah nilai sampai menjadi nilai raport cukup memakan waktu. Guru harus mengolah nilai ulangan harian, nilai-nilai tugas, nilai UTS, dan nilai UAS. Walau pengolahnnya dapat menggunakan aplikasi tertentu sepertti MS Excell, tetapi nilai-nilai tersebut harus ditulis ke buku raport. Wali kelas harus “mengurung diri”, begadang berhari-hari, dan kelelahan mengisi buku raport, karena buku raport kurikulum 2013 saat ini bukan hanya berisi nilai-nilai saja, tetapi juga gambaran capaian kompetensi siswa pada tiap mapel dan harus menyimpulkan gambaran secara umum prestasi siswa dalam satu semester.

Pembagian raport adalah saat yang ditunggu-tunggu oleh siswa dan orang tua. Wali kelas pun merasa “merdeka”, karena kalau sudah dibagi raport, mereka bisa liburan. Menjelang pembagian raport, sekolah mengundang orang tua untuk mengambil raport anaknya. Selain itu, kedatangan orang tua ke sekolah juga dimanfaatkan pihak sekolah untuk menyampaikan perkembangan belajar anaknya sekaligus mengomunikasikan program-program sekolah agar tercipta kesepahaman antara pihak sekolah dengan orang tua.

Setiap orang tua pasti menginginkan prestasi anaknya baik, meningkat, bahkan menjadi juara di sekolah. Oleh karena itu, pertanyaan yang sering muncul pada saat pembagian raport adalah “nak, kamu rangking berapa?” karena bagi orang tua, prestasi anak kadang dinilai dari berderetnya angka-angka dan rangking di buku raport. Untuk memotivasi anaknya, ada orang tua ada yang berjanji kalau nilai raportnya bagus, akan diberi hadiah. 

Dan jika nilai raport anaknya tidak sesuai harapan, maka orang tua biasanya memarahinya. Bahkan ada anak yang tidak mau orang tuanya datang ke sekolah karena khawatir orang tuanya tersebut tahu nilainya rendah, dan kelakuan buruknya di sekolah diketahui.

Urusan rangking memang telah membudaya sejak zaman dulu. Prestasi seorang siswa dinilai berdasarkan rangking. Jadi kalau siswa mendapat rangking sepuluh besar  dinilai sebagai siswa-siswa berprestasi, dan sebaliknya jika prestasinya berada pada sepuluh paling akhir, maka dianggap sebagai siswa kelas bawah, prestasinya rendah, bahkan dianggap kurang berguna.

Sang anak pun merasa rendah diri, kurang percaya diri, minder diantara teman-temannya atau anggota-anggota keluarga yang lain, apalagi kalau guru atau orang tua membanding-bandingkannya dengan yang lain. Akibatnya dia memilih menyendiri, karena merasa sebagai manusia yang kurang berguna, dan terbuang dari lingkungannya. Atau sebaliknya, menjadi anak yang memberontak karena merasa tidak dihargai.

Kecerdasan Majemuk

Psikolog Amerika, Howard Gardner menyampaikan bahwa manusia memiliki kecerdasan majemuk. Ada delapan kecerdasan yang dimiliki; yaitu (1) kecerdasan matematika-logika, (2) kecerdasan bahasa, (3) kecerdasan musikal, (4) kecerdasan visual-spasial, (5) kecerdasan kinetstetik, (6) kecerdasan interpersonal, (7) kecerdasan intraprsonal, dan (8) kecerdasan naturalis.

Berdasarkan kepada teori tersebut di atas, maka pada dasarnya setiap anak adalah cerdas, tinggal orang tua dan guru mampu mengidentiifkasi kecerdasan yang dimiliki oleh anak. Mungkin saja seorang anak lemah pada mata pelajaran tertentu, tapi dia kuat pada mata pelajaran lain. Mungkin saja anak terlihat anak nakal atau sulit diatur, tetapi dibalik kenakalannya tersebut ada potensi terpendam yang perlu dikembangkan. Intinya, setiap anak adalah unik.

Mengapresiasi

Dibalik bagaimanapun prestasi yang dicapai oleh anak-anak kita, dibalik berarapapun nilai yang didapatkan oleh mereka, mari kita mengapresiasi kerja keras yang telah dilakukannya. Jika prestasinya bagus, maka orang tua mengapresiasinya dalam bentuk  pujian atau memberi hadiah, dan tetap rendah hati. Dan jika prestasi memang masih rendah, maka orang tua tetap mengapresasi capaiannya, sambil memberikan motivasi, menguatkan mental, serta memberikan optimisme kepadanya bahwa dengan upaya yang lebih keras dan selalu berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa suatu saat prestasinya akan meningkat.

Penulis, Widyaiswara Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Barat.

Oleh:

IDRIS APANDI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun