*AKSI 411, 212, DAN 1212 SEBUAH KOMUNIKASI SIMBOLIK UMAT ISLAM*
Oleh: IDRIS APANDI
Akhir tahun 2016 bisa dikatakan sebagai momentum kebangkitan dan persatuan umat Islam. Hal ini dipicu oleh pernyataan Gubernur DKI non aktif, Basuki Thahaja Purnama atau Ahok tentang QS Al Maidah ayat 51 pada saat kunjungan ke Kepulauan Seribu bulan oktober silam. Umat Islam merasa dinistakan, dan "Rasa keberagamaannya" umat tersentuh. Jangankan kalangam pesantren, kalangan yang sehari-hari hidupnya jadi preman pun ikut menyuarakan aksi bela Islam.
Bak bola salju, aksi ini terus menggelinding. Umat Islam yang dimotori oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF-MUI) melakukan Aksi Bela Islam. Setelah melakukan aksi unjuk rasa di gedung Balai Kota, lalu melakukam aksi tanggal 4 November 2016 yang berpusat di mesjid Istiqlal dan Bundaran Bank Indonesia. Jutaanumat Islam tumpah ruah ke jalan menyuarakan agar Ahok segera ditahan atas tuduhan penistaan Al Quran. Sayang, aksi ini sempat ricuh disusupi oleh provokator yang notabene bukan peserta aksi.
Tanggal 2 Desember 2016, umat Islam melakukan aksi yang lebih besar. Aksi ini dipusatkan di Monas. Sekitar tujuh jutaan umat Islam dari berbagai daerah tumpah ruang, menyemut, dan memutihkan kawasan monas dan sekitarnya. Ini jadi rekor shalat Jumat dengan jamaah terbanyak di dunia.
Aksi ini sebelumnya agak "dipersulit" oleh aparat kepolisian dengan adanya larangan PO Bus menyewakan armadanya mengangkut pengunjuk rasa ke Jakarta. Walau akhirnya larangan tersebut dicabut. Aksi ini diwarnai juga aksi heroik dan nekat dari sekelompok santri dari Ciamis. Mereka melakukan jalan kaki dari Ciamis ke Jakarta. Aksi 212 bukan hanya menggemparkan Indonesia, tapi dunia. Beberapa media asing lhususnya di belahan timur tengah menjadikan aksi 212 sebagai headline.
Pasca aksi 212, umat Islam yang dikomandoi GNPF-MUI terus bergerak, dan bahkan semakin luas serta mendapatkan sambutan luar biasa dari umat Islam di berbagai daerah. Mereka melaksanakan aksi 1212, yaitu gerakan shalat subuh berjamaah. Walau pun kegiatan tersebut tidak dikaitkan dengan kasus Ahok, tapi semangatnya dibakar oleh kasusnya. Suara-suara agar Ahok dihukum tetap ada. Di negara Islam seperti Turki, acara shalat subuh berjamaah memang sangat luar biasa. Acara tersebir bahkan dipimpin langsung oleh presiden Erdogan.
Dalam konteks komunikasi, Saya melihat bahwa hal ini sebagai sebuah bentuk komunikasi simbolik umat Islam kepada pemerintah, umat agama lain di Indonesia, bahkan dunia. Indonesia adalah negara yang umat Islamnya paling banyak di dunia. Pesannya adalah, jangan sesekali mengusik umat Islam, karena hal itu ibarat membangunkan harimau yang sedang tidur, apalagi isu-isu SARA sangat sensitif. Umat Islam yang kadang suka gontok-gontokkan pun, ketika agamanya dihina mau merapatkan barisan melawan penistaan.
Walau demikian, umat Islam adalah umat yang cinta damai. Aksi unjuk ras dilakukan tidak secara anarkis. Aksi berjalan sangat tertib, dan tidak ada sampai satupun. Monas rapi dan bersih. Hal tersebut semakin mengundang simpati dari umat Islam lainnya. Hal itu dilakukan sebagai sebuah jihad untuk membela Islam. Hanya fanatisme yang sangat tinggi terhadap agama yang bisa menggerakkan jutaan umat Islam. Tidak ada iming-iminh materi, apalagi bermental "pasukan nasi bungkus" alias demo bayaran.
Umat Islam mencintai toleransi, tetapi lebih mencintai agamanya. Ketika banyak aktivis HAM menyuarakan kebebasan HAM yang justru menyakiti perasaan umat Islam, maka umat Islam akan bergerak membela agamanya. Habib Rizieq mengatakan bahwa agama Islam anti penistaan, bukan hanya terhadap agama Islam, tetapi juga agama-agama lainnya. Intinya harus saling menghormati antarpemeluk agama.
Momentum 411, 212, dan 1212, serta sekarang dalam suasana memperingati Maulid Nabi Muhammad Saw. menjadi momentum untuk semakin merekatkan tali ukhuwah islamiyah (persaudaraan sesama muslim) dan ukhuwah wathaniyah (persaudaraan antar umat beragama di NKRI), apalagi saat ini bangsa Indonesia dihadapkan pada bangkitnya kembali ideologi komunis dimana simbol-simbolnya sudah bermunculan di beberapa daerah.
Umat Islam memiliki sejarah kelam terhadap kekejaman PKI, karena banyak umat Islam yang dibantai. Tapi saat ini ada pihak-pihak yang ingin memutarbalikkan fakta sejarah. Ada beberapa pegiat HAM yang mengajukan pengadilan kasus G-30 S/PKI tahun 1965, dan menuntut pemerintah untuk meminta maaf kepada korban pelanggaran HAM pasca pemberatasan G-30 S/PKI. Pelaku pelanggaran HAM diposisikan sebagai korban. Ini adalah logika yang diputarbalikkan.
Umat Islam juga dihadapkan pada tantangan menyusupnya kelompok Islam garis keras seperti ISIS. Aksi Bela Islam 411 dan 212 pun dikhawatirkan disusupi aktivis ISIS, tapi kekhawatiran tersebut tidak terbukti. Dan beberapa hari yang lalu, Densus 88 menangkap tiga orang teroris yang disinyalir sebagai anggota ISIS yang akan melakukan bom bunuh diri. Bahkan calon "pengantinnya" adalah seorang perempuan.
Aksi 411, 212, dan 1212 juga menjadi simbol komunikasi kepada pemerintah agar memperhatikan aspirasi umat Islam sebagai umat agama mayoritas di Indonesia. Jangan membuat kebijakan yang mengusik hati umat Islam, yang akan membuat suasana menjadi kurang kondusif. Sesuai dengan hal yang disampaikan oleh Presiden Jokowi, bahwa umat mayoritas menyayangi yang minoritas, dan umat minoritas menghormati umat mayoritas. Dengan demikian, agar terjalin toleransi dan harmoni dalam kehidupan beragama di Indonesia.
*Penulis, Pemerhati Masalah Sosial.*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H