Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Guru Profesional, Bukan Guru Abal-abal

25 November 2016   23:36 Diperbarui: 25 November 2016   23:45 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hingar bingar peringatan Hari Guru Nasional (HGN) tahun 2016 sangat luar biasa. Tanggal 25 November guru berpesta merayakan ulang tahun profesinya. Berbagai acara pun dilaksanakan. Mulai dari upacara, lomba-lomba, pentas seni, seminar, dan sebagainya. Ucapan selamat pun membanjiri media sosial. Tidak ketinggalan foto-foto selfie guru-guru setelah mengikuti upacara ikut bertebaran.

Pada peringatan HGN tahun ini, ada slogan yang diharapkan mampu memotivasi sekaligus membakar semangat guru, yaitu “Aku bangga menjadi guru profesional.” Memang harapannya demikian. Guru-guru di Indonesia menjadi guru-guru yang profesional dalam menjalankan tugasnya di tengah yang semakin berat.

Pendidikan menjadi kunci kemajuan sebuah bangsa, dan guru yang menjadi aktor utamanya. Sungguh berat tanggung jawab yang dibebankan ke pundak guru. Walau demikian, guru-guru yang dari awal nuraninya terpanggil menjadi guru akan mencintai pekerjaannya, dan melaksanakannya dengan penuh dedikasi. Jiwa guru akan tetap melekat walau telah pensiun.

Baginya, mengajar dan mendidik siswa adalah sebuah perjuangan juga sekaligus “rekreasi” yang menyenangkan. Dengan demikian, dia akan enjoydalam melaksanakan tugas walau hambatan dan tantangan menghadang. Ada guru yang harus menempuh jarak puluhan kilometer menuju sekolah, melewati lautan, sungai, hutan, jalan yang becek, dan tidak memperdulikan ancaman terhadap keselamatan dirinya.

Guru terpaksa menjadi “doktor” alias mondok di kantor karena jauhnya jarak antara rumah dan sekolah tempatnya bertugas. Hal itu dilakukan dengan cinta. Cinta terhadap pekerjaan dan cinta terhadap anak-anak didiknya. Alangkah bahagianya ketika suatu saat sang guru mendengar anak didiknya telah sukses. Kerja kerasnya selama mendidiknya terbayar sudah.

Harus diakui bahwa profesionalisme guru masih menjadi tantangan dalam tata kelola guru di Indonesia. Mewujudkan guru profesional adalah amanat undang-undang Guru dan Dosen. Berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan profesionalisme guru, mulai dari sertifikasi, pemberian beasiswa, pemberian block grantuntuk pengembangan profesi, lomba-lomba, dan sebagainya.

Walau ada kritik terhadap belum meningkatnya profesionalisme guru pascasertifikasi, hal ini bukan berarti tidak ada guru yang berupaya untuk meningkatkan profesionalismenya. Saya yakin di lapangan banyak guru yang telah bekerja keras memberikan yang terbaik kepada anak-anak didiknya. Walau demikian, tidak dapat dipungkiri pula masih ada guru-guru yang mengikuti sertifikasi hanya fokus kepada urusan kesejahteraan saja. Pola pikir tersebut sedikit demi sedikit harus diubah.

Bagi guru, profesionalisme adalah tuntutan, dan kesejahteraan adalah hak yang wajar untuk dinikmati. Bahkan guru harus sejahtera agar dapat fokus melaksanakan tugas. Pengertian sejahtera bisa ditinjau dari dua sudut pandang, yaitu dari sudut pandang fisik, maupun sudut pandang psikologis. Dari sudut pandang fisik, sejahtera diartikan tercukupinya kebutuhan sandang, pangan, papan, dan kesehatan. Sedangkan dari sisi psikologis, sejahtera dapat diartikan sebagai kondisi mental yang sehat, hati yang merasa tentram, dan lingkungan yang kondusif bagi guru untuk melaksanakan tugas, dan utamanya bersyukur terhadap apa yang telah dimiliki atau didapatkan.

Undang-undang Guru dan Dosen pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa guru harus memiliki empat kompetensi, yaitu (1) kompetensi pedagodik, (2) kompetensi kepribadian, (3) kompetensi sosial, dan (4) kompetensi profesional.  Dengan demikian, maka tiap-tiap guru perlu mencapai indikator-indikator empat kompetensi tersebut.

Guru profesional memiliki penguasaan yang baik terhadap bahan ajar yang disampaikannya, menguasai teknik menyampaikan materi kepada peserta didik, mampu mengelola kelas dengan baik, memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dengan peserta didik, dan tentunya memiliki kepribadian yang matang.

Guru profesional bersedia menjadi insan pembelajar, selalu semangat untuk belajar, ilmu dan pengalaman terus dikejar, penampilannya selalu segar, sikapnya tidak pernah gusar, dan tidak berkata-kata kasar. Guru profesional, ilmunya selalu baru, kehadirannya selalu ditunggu, kalau mengajar tidak terburu-buru, ketiadaannya membuat murid rekan sejawat lesu, kepergiannya disertai haru, nasihatnya diburu, percaya diri tidak pernah ragu, perkataan, sikap, dan perbuatannya pantas ditiru.

Guru profesional, bukan guru abal-abal, yang suka mengajar dengan asal, Kekurangannya suka disangkal, dan kehadirannya menjadi sesal. Guru profesional, kehadirannya dinanti, wajahnya selalu berseri, penjelasannya mudah dipahami, dan terus meningkatkan kompetensi. Majulah guru-guru di Indonesia pembangun insan cendekia.

Oleh:

IDRIS APANDI

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun