Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jadikan Guru Sebagai Aktor, Bukan Administrator

25 November 2016   16:10 Diperbarui: 25 November 2016   16:24 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Guru merupakan ujung tombak dalam pembelajaran. Adalah benar orang dapat belajar secara otodidak alias tanpa guru, membaca buku, berselancar, dan mengunduh dari internet, tapi belajar tanpa guru cukup beresiko. Tidak ada pihak yang memverifikasi kebenaran ilmu yang dipelajari, mengoreksi jika ada yang salah, dan melengkapi, serta menguatkan ilmu yang dipelajarinya. Akibatnya, bisa saja ilmu yang dipelajarinya tidak utuh, atau salah jalan. Orang bisa menjadi sesat dan juga menyesatkan jika belajar tanpa guru.

Saat ini guru dituntut harus profesional, meningkatkan kompetensi, dan selalu memperbaharui informasi agar tidak jadi guru kudet alias kurang update. Tidak dapat dipungkiri bahwa tantangan yang dihadapi oleh guru saat ini cukup tinggi. Selain mendidik dan mengajar siswa-siswanya, guru juga wajib menyusun administrasi pembelajaran yang kadang jenis dan formatnya ribet dan terlalu banyak. Belum lagi perubahan-perubahan regulasi pendidikan membuat guru seperti diombang-ambing dan berada dalam ketidakpastian. Misalnya, baru juga selesai membuat satu RPP, ehdatang lagi aturan baru tentang penyusunan RPP, sehingga RPP yang baru saja selesai harus dibongkar lagi.

Pada awal dilaksanakannya kurikulum 2013, guru direpotken dengan format-format penilaian, khususnya pada aspek sikap. Semua guru diwajibkan menilai aspek sikap siswa. Instrumen yang digunakan antara lain; lembar observasi, jurnal, penilaian diri, penilaian teman sejawat, dan penilaian dari orang tua. Lembar penilaian sikap tersebut selanjutnya harus diolah, direkap, dan dibuat deskripsinya oleh guru. Hal ini memberatkan guru. Guru jadi lebih sibuk mengurusi administrasi daripada mengajar.

Menyikapi hal tersebut, maka dalam kurikulum 2013 hasil revisi, dihasilkan keputusan bahwa tidak setiap guru wajib menilai aspek sikap. Penilaian sikap diserahkan kepada guru pendidikan agama dan guru PPKn. Walau demikian, guru yang lain boleh menyampaikan laporan tentang sikap siswa kepada guru dua mapel tersebut. Lembar penilaiannya pun lebih disederhanakan, yaitu lebih diutamakan menggunakan lembar observasi.

KBM yang terlalu administratif membuat guru terbelenggu dengan aturan-aturan, tidak berani melakukan inovasi, memberikan sentuhan kreativitas, bersikap out of the box atau memunculkan ide-ide baru. Ide-ide nyeleneh guru kadang dianggap sebagai sebuah keanehan, tidak sama dengan yang lain. Padahal ide-idenya mampu menciptakan pembelajaran yang lebih hidup dan lebih menyenangkan.

Pada saat supervisi, ketika format RPP yang dibuat guru tidak sama atau sepaham dengan pola pikir Kepala Sekolah atau pengawas, maka dianggap salah. Walau demikian, kalau memang keliru, Kepala Sekolah atau pengawas berhak mengoreksi sekaligus membinanya, dan guru pun harus bersedia menerimanya.

Kegiatan-kegiatan diklat kurikulum 2013 kadang lebih disibukkan dengan format-format dan Lembar Kerja. Kadang muncul perdebatan yang membuang banyak waktu. Bahkan antarpemateri pun terjadi perbedaan pendapat dan peserta dibingungkan mana yang harus dijadikan acuan.

Saya sepakat guru memang perlu membuat RPP sebagai pedoman yang akan dilaksanakan pada saat mengajar. Walau demikian, bentuknya jangan terlalu kaku dan terlalu administratif. RPP untuk satu kali pertemuan bisa mencapai puluhan lembar. Kalau untuk sekian kali pertemuan, berapa ratus lembar kertas yang dihabiskan? Hal tersebut tentunya dirasakan kurang efektif dan efisien.

RPP pun bersifat dinamis, dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Mengajar adalah seni, tidak bersifat mekanistis. Pihak ang dihadapi oleh guru bukanlah benda mati atau robot, tetapi anak-anak manusia yang memiliki beragam kerakter dan latar belakang. Pada saat KBM, tidak tertutup kemungkinan guru melakukan inovasi yang secara administratif tidak tercantum pada RPP.

Guru adalah pihak yang paling tahu kondisi murid-muridnya. Oleh karena itu, perlu diberikan otonomi dalam mendesain skenario pembelajaran. Kedaulatan pedagogik guru harus ditegakkan. Guru adalah penulis skenario pembelajaran terbaik bagi siswa-siswanya. Biarkanlah suasana pembelajaran berjalan secara menyenangkan dan menantang, dan biarkanlah guru dan siswa nyaman dengan pembelajaran yang dilakukan, bahkan kalau perlu guru meminta siswa memberikan saran pembelajaran seperti apa yang diharapkan oleh mereka.

Mari jadikan guru sebagai aktor, bukan sebagai administrator. Ibarat seorang komposer, biarkanlah guru merangkai nada dan syair lagu yang indah yang akan dimainkan oleh seluruh pemain musik. Selamat Hari Guru Nasional Tahun 2016.

Penulis, Widyaiswara Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Barat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun