Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Penguatan Peran Organisasi Profesi Guru

24 November 2016   11:50 Diperbarui: 24 November 2016   12:08 1452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh:

IDRIS APANDI

Beberapa waktu yang lalu Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kemdikbud Sumarna Suryapranata, mengatakan bahwa organisasi profesi guru yang ada saat ini hanya baru sebatas perkumpulan guru karena belum memenuhi syarat sebagai sebuah organisasi guru. Menurut Surapranata, sebuah organisasi profesi guru tidak dapat dikatakan sebagai organisasi profesi jika belum memenuhi tiga syarat, yaitu profesional, memiliki jiwa korsa, dan tanggung jawab sosial. Dan pemimpinnya pun harus guru, bukan dosen, pejabat, atau politisi. (Koran Sindo, 22/11/2016).

Secara historis Organisasi guru telah ada sebelum kemerdekaan. Tahun 1912, para guru telah mendirikan Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB. Tahun 1932 PGHB berubah nama menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI). Dan pasca proklamasi kemerdekaan RI, tepatnya pada Kongres  Guru Indonesia tanggal 24-25 November 1945 yang diselenggarakan di Surakarta, para guru sepakat membentuk Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Siswa yang belajar di sekolah yang didirikan oleh PPLP-PGRI biasanya mendapatkan materi Perjuangan Sejarah Perjuangan Guru (PSPG) agar mereka tahu perjuangan PGRI dalam turut serta membangun dunia pendidikan di Indonesia.

Pada masa orde lama dan orde baru, organisasi guru satu-satunya yaPGRI. Di masa rezim yang otoriter, PGRI pun tidak lepas dari pengaruh kekuasaan. Guru-guru anggota PGRI harus mendukung Golongan Karya sebagai “partai” penguasa. Dengan demikian, PGRI harus “taat”pada penguasa dan kepengurusnya pun banyak dipegang oleh pejabat di lingkungan birokrasi, bahkan sampai saat ini. Akibatnya, PGRI seolah-olah organisasi guru yang tidak dapat dipisahkan dengan lingkaran birokrasi.

Pasca arus reformasi, bermunculan beragam organisasi profesi guru. Keberadaan organisasi profesi guru merupakan amanat Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 Guru dan Guru. Pada pasal 41 UUGD menyatakan (1) Guru membentuk organisasi profesi guru, (2) Organisasi profesi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi memajukan profesi, meningkatkan kompetensi, karier, wawasan kependidikan, perlindungan profesi, kesejahteraan, dan pengabdian kepada masyarakat. (3) Guru wajib menjadi organisasi profesi guru, (4) pembentukan organisasi profesi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan. (5) pemerintah dan/ atau pemerintah daerah dapat memfasilitasi organisasi profesi guru dalam pelaksanaan pembinaan dan pengembangan profesi guru.

Selama ini tidak dapat berbagai kegiatan telah dilaksanakan oleh organisasi profesi guru. Walau demikian, perannya memang masih perlu dioptimalkan. Oleh karena itu, ketika Dirjen GTK Sumarna Surapranata mengatakan bahwa organisasi profesi guru yang ada saat ini baru sebatas perkumpulan, maka hal ini menjadi momentum untuk menata ulang dan menguatkan peran organisasi profesi guru.

Organisasi profesi jangan hanya menjadi paguyuban, sebagai sarana silaturahmi kangen-kangenan, melaksanakan lomba-lomba, dan melaksanakan kegiatan pengembangan profesi, tetapi juga perlu diberikan wewenang untuk menilai kelayakan seorang calon guru sekaligus memberikan “SIM” mengajar bagi guru seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan organisasi advokat.

Berkaitan dengan dengan hal tersebut, maka perlu ada aturan yang tegas dan secara eksplisit yang memberikan kewenangan kepada organisasi profesi guru untuk memberikan sertifikat profesi kepada calon guru dan proses sertifikasi pun dilaksanakan sepenuhnya oleh organisasi profesi guru, bukan oleh LPTK seperti saat ini. Pendidikan pra jabatan bagi calon guru dan pendidikan dalam jabatan bagi guru yang telah mengajar, serta penilaian kinerjanya pun dilakukan oleh organisasi profesi guru. Agar hal tersebut dapat terwujud, Saya berpendapat bahwa UU Guru dan Dosen dan PP tentang Guru perlu direvisi untuk mengatur lebih jelas tentang peran organisasi profesi guru.

Organisasi profesi guru menggaransi calon-calon yang guru yang telah diberikan “SIM” tersebut bahwa mereka layak mengajar dan menegakkan kode etik profesi guru. Jika ada guru yang diduga melanggar kode etik, maka Dewan Kehormatan yang memprosesnya. Selama ini hal tersebut harus diakui belum dijalankan oleh organisasi profesi guru. Peranan organisasi profesi guru baru ramai dibahas ketika ada masalah yang menyangkut guru, peringatan hari guru, atau berkaitan dengan pentingnya peningkatan profesionalisme guru.

Penguatan peran organisasi profesi guru dibutuhkan dalam rangka mewujudkan organisasi profesi guru yang kredibel, mampu melaksanakan perannya dengan baik, dan keberadaannya secara nyata dirasakan manfaatnya oleh guru.

Penulis, Widyaiswara Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Barat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun