Guru adalah ujung tombak pembelajaran. Tugas guru mulia sekaligus berat karena di tangan gurulah dititipkan masa depan anak-anak bangsa. Untuk menghasilkan lulusan yang bermutu, maka diperlukan guru yang bermutu, dan masalah mutu guru masih menjadi pekerjaan rumah dalam membangun sistem pendidikan di Indonesia.
Mendikbud Muhadjir Effendi mengatakan bahwa walau guru sudah disertifikasi, banyak yang belum profesional, sementara anggaran Tunjangan Profesi Guru (TPG) terus membengkak. Saat ini anggaran TPG sebesar 72 Trilyun. Baru 61% guru yang telah disertifikasi, jika semua guru telah disertifikasi, jumlahnya bisa mencapai 110 Trilyun. (Kompas, 06/10/2016).
Muncul sebuah pertanyaan yang menggelitik, mengapa guru yang sudah disertifikasi dan menyandang guru profesional kok tidak kunjung meningkat profesionalismenya? Mutu lulusan sebagai hasil didikan guru banyak yang belum sesuai dengan harapan orang tua, masyarakat, dan dunia kerja.
Sedangkan guru di lembaga bimbingan belajar (bimbel) yang notabene tidak disertifikasi dan banyak bukan berlatar belakang pendidikan sukses mengantarkan anak asuhnya yang notabene juga anak asuh guru di sekolah meraih nilai Ujian Nasional (UN) yang tinggi atau mampu lolos ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Favorit.
Pertanyaan tersebut di atas seolah mengiring opini bahwa guru di sekolah tidak lebih baik dari guru bimbel. Menurut Saya, membandingkan antara guru sekolah dan guru bimbel hanya dilihat dari pencapaian hasil UN dan keberhasilan menembus PTN adalah hal kurang bijak dan kurang proporsional. Mengapa demikian? Setidaknya ada dua hal yang menjadi alasannya.
Pertama, dari sisi tupoksi, guru kelas memiliki tupoksi yang lebih kompleks dibandingkan dengan guru bimbel. Guru kelas harus mendidik dan mengajar anak menguasai kompetensi yang meliputi sejumlah sikap, pengetahuan, dan keterampilan, sedangkan guru bimbel hanya fokus mengajarkan soal-soal latihan pada pokok bahasan tertentu pada mata pelajaran tertentu atau mengajarkan trik-trik praktis kepada siswa dalam menguasai materi tertentu.
Kedua, dari sisi jumlah murid, murid yang diajari oleh guru sekolah jauh lebih banyak dibandingkan dengan guru bimbel. Seorang guru sekolah bisa mengajar ratusan siswa pada kelas dan jenjang yang berbeda, sedangkan guru bimbel hanya mengajar 5-10 orang siswa. Oleh karena itu, dari sisi pengelolaan kelas, tugas guru sekolah jauh lebih berat dibandingkan dengan guru bimbel.
Banyak siswa atau orang tua siswa yang memasukkan anaknya ke bimbel karena tidak puas terhadap layanan pendidikan di sekolah. Apalagi bagi orang tua yang berambisi anaknya meraih nilai UN tinggi atau masuk ke PTN, tentunya akan memasukkan anaknya ke bimbel, walau harus membayar mahal.
Di tengah kebutuhan orang tua terhadap layanan pendidikan bagi anaknya, maka pengelola bimbel pandai mengambil peluang tersebut. Oleh karena itu, bimbel menjamur di mana-mana dan banyak peminatnya. Dengan demikian, yang berlaku adalah prinsip permintaan dan penawaran.
Maraknya bimbel menjadi salah potret orang tua yang belum sepenuhnya puas terhadap layanan pendidikan yang berkualitas. Pertanyaannya adalah, apakah bimbel telah mengganggu tatanan sistem pendidikan nasional?
Hal tersebut pasti akan menjadi sebuah perdebatan yang alot antara orang yang pro dan kontra terhadap keberadaan bimbel. Secara tujuan, Saya yakin keberadaan bimbel bertujuan baik, yaitu menjadi mitra pemerintah, orang tua, dan masyarakat dalam mencerdaskan anak-anak bangsa, walau tidak dapat dipungkiri ada aroma bisnis di situ.
Keberadaan bimbel dianggap menjadi “saingan” sekolah. Bimbel ramai ketika menjelang UN. Dan sekolah pun ikut-ikutan menjadi bimbel dadakan dengan melaksanakan kegiatan pemantapan atau pengayaan dimana guru mata pelajaran yang di UN-kan mendrillsiswa-siswa peserta UN dengan soal-soal latihan.
Guru-guru sekolah ada juga yang mengajar di bimbel. Bisakah trik-trik mengajar efektif di bimbel diajarkan juga di kelas mereka? Seharusnya bisa, karena guru memiliki otonomi pedagogik walau situasi di sekolah relatif berbeda dengan di bimbel. Guru-guru bimbel memang dikenal kreatif dan mampu menciptakan suasana belajar yang menyenangkan bagi siswa.
Menurut Saya, guru sekolah dan guru bimbel tidak perlu dibandingkan secara head to head, karena sifatnya saling melengkapi. Walau demikian, peran sekolah tetap utama dan tidak dapat digantikan oleh bimbel, karena manusia bukan hanya dibentuk agar pintar secara intelektual, tetapi juga memiliki sikap yang baik, dan terampil, baik dalam konteks teknis, terampil mengelola emosi, dan memiliki keterampilan sosial.
Oleh: IDRIS APANDI
Penulis, Praktisi Pendidikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H