Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Profesionalisme Guru Tak Kunjung Meningkat?

9 Oktober 2016   16:02 Diperbarui: 9 Oktober 2016   16:39 778
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendikbud Muhadjir Effendi mengatakan bahwa walau guru sudah disertifikasi, banyak yang belum profesional, sementara anggaran Tunjangan Profesi Guru (TPG) terus membengkak. Saat ini anggaran TPG sebesar 72 Trilyun. Baru 61% guru yang telah disertifikasi, jika semua guru telah disertifikasi, jumlahnya bisa mencapai 110 Trilyun. (Kompas, 06/10/2016).

Dari pernyataan Mendikbud tersebut tersirat bahwa beban negara dalam membayar TPG sudah berat dan akan semakin berat jika seluruh guru sudah disertifikasi. Survei Bank Dunia tahun 2011 pun menyatakan bahwa sertifikasi guru tidak mengubah cara guru mengajar. Program sertifikasi guru yang diharapkan mampu meningkatkan kinerja guru, ternyata baru sebatas mampu meningkatkan kesejahteraan guru. Apakah guru tidak boleh sejahtera? Jawabannya, tentunya boleh bahkan harus sejahtera agar fokus dalam bekerja.

Ada satu pertanyaan yang mengemuka, mengapa guru yang telah disertifikasi tidak kunjung profesional? bukankah mereka pada saat mengikuti Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG) telah dididik dan dilatih untuk menjadi guru profesional? Dan yang lulus PLPG mendapatkan sertifikat pendidik. Ada pula pihak yang meragukan apakah PLPG yang hanya selama 90 JP mampu ujug-ujug meningkatkan profesionalisme guru.

Sertifikat pendidik adalah bukti legal bahwa pemegangnya adalah seorang guru profesional. Menurut Saya, lembaga yang mengeluarkan sertifikat tersebut juga memiliki tanggung jawab moral untuk menjamin bahwa guru yang memiliki sertifikat pendidik tersebut memang profesional. Ketika relaitanya guru yang telah disertifikasi tersebut ternyata tidak profesional, maka LPTK pun harus ikut bertanggung jawab secara moral.

Dalam Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 disebutkan bahwa guru profesional memiliki empat kompetensi, yaitu; (1) kompetensi pedagogik, (2) kompetensi kepribadian, (3) kompetensi sosial, dan (4) kompetensi profesional. Oleh karena, konsekuensi seorang guru adalah menguasai empat kompetensi tersebut.

Pembenahan

Ketika profesionalisme guru tidak kunjung meningkat, perlu dilakukan evaluasi dimana akar permasalahannya. Menurut Saya, perlu diadakan beberapa langkah konkrit untuk memperbaiki mutu guru. Pertama,dirikan kembali sekolah calon guru, seperti Sekolah Pendidikan Guru (SPG), Sekolah Guru Olah Raga (SGO), dan PGA (Pendidikan Guru Agama). Lulusan dari SPG/SGO/PGA diwajibkan melanjutkan ke Lembaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan (LPTK). Kedua,Pembenahan Kurikulum LPTK untuk menyiapkan calon-calon guru yang benar-benar profesional sehingga ketika mereka lulus, selain mengantongi ijazah sarjana, juga mengantongi sertifikat pendidik, lalu adakan program magang bagi calon guru selama satu tahun, sehingga benar-benar siap bekerja sebagai guru.

Ketiga,perlu adanya seleksi yang ketat untuk calon guru. Hanya lulusan terbaik yang diangkat menjadi guru seperti halnya di negara Finlandia dan Korea Selatan. Hal ini untuk menjamin bahwa guru yang diangkat adalah guru yang mutunya terjamin mengingat beratnya tugas seorang guru.

Keempat,pembinaan terhadap guru yang telah diangkat. Bentuknya melalui forum-forum ilmiah baik yang dilaksanakan oleh pemerintah, lembaga diklat, organisasi profesi guru, musyawarah guru, kelompok kerja guru, LSM, dan penilaian kinerja guru yang dilakukan secara objektif dan akuntabel.

Kelima,penegakkan kode etik guru sebagai panduan sekaligus kompas bagi guru dalam melaksanakan tugasnya. Selama ini kode etik, kadang hanya menjadi hiasan saja, tanpa disosialisasikan kepada guru.  Atau sudah disosialiasikan, tetapi kurang dijiwai oleh guru. Kasus pelanggaran yang dilakukan oleh guru selama ini langsung diadukan ke aparat hukum, tanpa adanya semacam persidangan pelanggaran kode etik oleh organisasi profesi guru. Peran organisasi profesi guru pun perlu dioptimalkan dalam penegakaan kode etik seperti halnya Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

Keenam,guru perlu menanamkan kepada dirinya jiwa atau semangat profesionalisme dalam dirinya. Di pundak guru ada tanggung jawab intelektual dan tanggung jawab moral untuk mencerdaskan anak-anak bangsa sebagai amanat dari pembukaan Undang-undang Dasar 1945, karena sebanyak apapun sebagus apapun regulasi yang mengatur tentang guru, semasif dan sebanyak apapun program dan anggaran yang digelontorkan untuk pelatihan dalam rangka meningkatkan profesionalisme guru, akan tidak banyak berdampak.

Di tengah sorotan terhadap profesionalisme guru yang tidak kunjung meningkat pasca sertifikasi bukan berarti profesi guru makin disudutkan, kerena walau pun bagaimana mereka telah banyak berjasa dalam mencerdaskan anak-anak bangsa. Yang penting adalah adanya sinergi pemerintah, guru, dan stakeholder lainnya dalam meningkatkan mutu guru.

Para guru pun perlu senantiasa melakukan refleksi dan evaluasi teradap tugas yag diembannya. Dibalik kepercayaan dan tunjangan yang diperolehnya, ada tanggung jawab yang besar. Dan Saya yakin, pada dasarnya dalam diri guru sudah tertanam tanggung jawab tersebut, tinggal terus dipelihara dan terus ditingkatkan. Dan jika merasa ada kekurangan, ditindaklanjuti dengan melakukan perbaikan berkelanjutan. Mari menjadi guru pembelajar sepanjang hayat dalam rangka memberikan layanan pendidikan terbaik kepada para peserta didik.

Penulis, Praktisi Pendidikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun